Perempuan tua itu memandang Salu Saddang dari teras rumah panggungnya. Ia berjibaku dengan memori yang hinggap pada riak sungai yang mengalir tak putus-putus dari bendungan hingga hilir sungai di Toraja. Matanya menyiratkan kedukaan yang cukup dalam. Seharusnya aku tidak melepasnya pergi, begitulah kalimat yang terus merongrong pikirannya.
Ia masih ingat ketika kaki-kaki kecil itu menuruni tangga rumah panggungnya, kemudian berbalik melemparkan senyum perpisahan sebelum akhirnya ditelan sedan hitam. Ia ingin meneriakinya kembali, tapi yang tinggal hanya mulut yang membeku. Ia ingin mengejarnya, tapi kaki dan tangannya telah membatu.
Mungkin baru seperempat jalan sedan itu berbelok ketika di persimpangan kampung, perempuan tua itu sudah meminta tolong tetanggannya menelepon. "Hati-hati, to pea! Telepon Amma kalau sudah sampai!"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu terus. Perempuan tua itu tidak henti-hentinya bertanya pada tetangganya, sudah ada telepon atau belum. Sejam berlalu. Ia bertanya lagi, sampai-sampai tetangganya harus menyimpan sabar banyak-banyak.
"Tenang, Puang. Nanti kami beri kabar kalau dia sudah menelepon."
Namun, perempuan tua itu tetap saja keras hati. Setiap seperempat waktu berlalu, ia akan tetap bertanya, sudah ada telepon atau belum.
***
"Lulus SMP saya mau ke Barru, Ma"
"Kenapa harus Barru? Di Pinrang juga bisa."
"Kata Ustad, kalau mau belajar agama, bagusnya ke Barru."
Perempuan tua itu menghentikan percakapannya dengan anak terakhirnya itu. Sebab jika melanjutkan, mungkin ia tidak akan sanggup menahan air yang hendak tumpah di matanya.
Tapi, anak laki-laki itu tetap saja mendesak. "Kata Ustad, bumi sudah tua, Ma. Kalau mau hidup yang bahagia, lebih baik belajar agama."
Perempuan tua itu pura-pura tidak mendengar. Tangannya tetap sibuk melipat baju dan celana.
"Ada tempat di Barru yang sistem belajar agamanya bagus, Ma. Itu kata Ustad."
"Itu kata ustadmu, tapi ini kata Amma. Belajar agama di Pinrang saja, atau lanjut di SMA yang di Tuppu saja. Nanti belajar agama di ustadmu." Perempuan tua itu kalah. Ia tidak sanggup menahan gejolak di dadanya, juga air di matanya. Ia pun berdiri dan menuju ke teras rumah panggung, lalu mematung di sana sembari memandang riak Salu Saddang yang aliran sungainya seolah-olah berpindah ke garis muka perempuan tua itu.
Bersama angin, teringat kembali ia melepas ketiga laki-laki dalam hidupnya. Sepuluh tahun silam, ia melepas anak pertamanya berangkat ke Gontor. Awalnya ia menolak. Namun, anak pertamanya itu lebih keras keinginannya.
"Saya ingin hafal 30 juz di sana, Ma."
"Kenapa harus di sana?"
"Di sana tempatnya bagus, Ma. Kalau di sini susah."
Saking kuat keinginan anak pertamanya, perempuan tua itu mencair. Ia setuju dengan pertimbangan hal baik harus didukung dengan baik. Bisa jadi anak pertamanya itu yang akan memudahkan langkahnya nanti di siratal mustakim. Anak pertamanya pun berangkat ke Gontor, dan benar-benar menghafal 30 juz, tetapi ia tidak kembali. Ia menetap dan enggan pulang. Sampai sekarang. Hanya beberapa kali berkabar. Terakhir, ia bilang kalau sudah jadi imam masjid di sana.
Perempuan tua itu bangga, tapi ia tidak bisa menyembunyikan rindunya.
Dua tahun kemudian, anak keduanya juga ia lepas berangkat belajar agama. Bukan di Gontor ikut kakaknya, melainkan di Mesir. Anak keduanya mendapatkan beasiswa di sana. Perempuan tua itu bingung harus menolak, sementara yang dilakukan anaknya merupakan kebanggaan.
Pun ia lepas juga dengan perasaan begitu bangga, tapi ia tetap tidak bisa menyembunyikan rindunya. Apalagi, anak keduanya itu juga enggan pulang. Saat ini, anak keduanya itu malah ikut relawan untuk warga Palestina, Syiria, dan korban perang Timur Tengah lainnya.
Empat tahun berlalu, lagi-lagi perempuan tua itu harus melepaskan lelaki dalam hidupnya. Suaminya. Bukan seperti ia melepas kedua anaknya berangkat belajar agama, ia mesti melepas suaminya pergi untuk selamanya.
Hari itu sore sudah merangkak di antara kegelapan. Suaminya belum kembali dari memberi minum sapi-sapi. Hal yang tak biasa memang sebab suaminya pasti sudah muncul sejak sore bahkan belum habis separuh.
Perempuan tua itu bertanya-tanya pada Pak Kamise yang kadang pergi bersama suaminya memberi minum sapi-sapi. "Sedang mandi di Salu Saddang tadi pas saya tinggal." Jawaban itulah yang ia terima.
Malam telah datang, suaminya masih belum pulang. Perempuan tua itu semakin dirundung risau berlebihan. Ia putuskan ke rumah Pak Dusun, meminta tolong mencari suaminya. Bersama warga desa dan Pak Dusun, mereka menelusuri Salu Saddang. Nihil. Laki-laki bertubuh jenjang itu masih tidak terlihat, selain sapi-sapi yang ditinggal di tepi sungai.
Malam melarut, pencarian masih berlangsung, tapi suaminya tetap saja belum muncul. Barulah ketika esok bertandang, seorang warga mendatangi rumah panggung perempuan tua itu, lantas memberikan kabar, tubuh suaminya yang sudah tidak bernyawa ditemukan di sungai tetangga desa.
Perempuan tua itu histeris. Ada kecamuk di kepalanya, ada sesak di dadanya, ada bongkahan di matanya. Kalimat terakhir yang disampaikan suaminya pun berputar-putar di kepalanya. "Bawalah anak kita belajar sejauh yang dia mampu, agar kelak ilmunya akan seperti Salu Saddang yang mengalir tidak putus-putus."
Selama proses pemakaman, ia berkali-kali jatuh pingsan.
***
Hujan menderas dan anaknya belum berkabar. Perasaan perempuan tua itu makin bergelombang. Seharusnya aku tidak membiarkannya pergi. Kalimat itulah yang terus-terusan ia ulang seperti air yang mengalir tak putus-putus di Salu Saddang.
Perempuan tua itu masih ingat betul bagaimana ia mencak-mencak karena anak terakhirnya nekat turun ke Salu Saddang. Padahal ia sudah berkali-berkali menanamkan kalimat di dalam kepala anaknya, "Jangan sekali-kali mandi di Salu Saddang!"
Akhirnya Aco, teman yang biasa bermain dengan anaknya tiba-tiba berlari ke rumah panggungnya sambil berteriak-teriak, "O, Puang, hanyut'i Sukri!"
Perempuan tua yang sedang mencuci pakaian kotornya di pinggir sumur belakang rumah itu sekonyong-konyong melempar pakaian yang digenggamnya, lantas berlari terhuyung-huyung menghampiri Aco. "Kenapa bisa, to pea?" tanyanya, tetapi ia bahkan tidak membutuhkan jawaban dari mulut Aco. Ia segera menuju ke bantaran Salu Saddang.
Sampai di sana, perempuan tua itu mendapati anak terakhirnya yang sedang duduk menggigil, seluruh badannya menggetar, telapak kaki dan tangannya serta bibirnya mengerut dikelilingi beberapa warga yang lain. Untung saja, ia cepat mendapat pertolongan. Namun tetap saja, perempuan tua itu risaunya enggan menghilang.
"O, Tu mane, Amma sudah bilang, jangan sekali-kali mandi di Salu Saddang! Mau buat jantung Amma sekalian berhenti berdetak?"
Mulut anaknya itu hanya terus menggelatuk. Ia pun berlari ke perempuan tua itu untuk mendapatkan pelukan. Perempuan tua itu sudah ingin marah besar, tetapi tubuh anaknya yang melipat di dadanya seakan menyentuh hatinya.
"Kenapa mandi di Salu Saddang?" Perempuan tua itu bertanya saat malam ketika makanan sudah terhidang. "Mau meninggal kayak abba-mu?"
Anak itu menyelesaikan nasi yang menggumpal di mulutnya kemudian berkata. "Kalau Amma masih melarang ke Barru, Sukri bakal tetap mandi di sana."
Perempuan tua itu menggebrak meja. Hampir-hampir semua benda di atas meja melompat dari tempatnya. Tangannya bergetar. Ia menghela napas. Detik berikutnya, ia berucap lagi. "Kamu belum siap, to pea!"
"Maksud Amma?"
"Pokoknya kamu belum siap. Kamu tetap harus tinggal bareng Amma di Pinrang." Perempuan tua itu menunduk. Ia memandangi nasi dan lauknya tinggal sepinggir.
"Amma egois." Anak itu berdiri sementara air matanya terjatuh, meninggalkan makanannya yang masih tersisa, lalu masuk ke kamar. Ia menyelesaikan air matanya di sana.
Semalaman, perempuan tua itu memikirkan kata-kata anak terakhirnya. Apa benar ia egois? Apa benar ia hanya mementingkan dirinya yang tidak boleh hidup sendirian? Hingga malam ditutup pagi. Dengan hati bergetar, ia menyampaikan perihal yang membuat ia tidak bisa tertidur pada anaknya. "Kalau kamu ingin ke Barru, Amma tidak akan melarang lagi."
Dan anaknya betul-betul berangkat ke Barru. Naik sedan. Tadi pagi. Sampai sekarang, risaunya tak kunjung berkesudahan.
"Puang Maharani, ada telepon dari anakmu!" teriak tetanggannya yang mengalihkan pandangannya dari Salu Saddang. Ia pun bergegas ke sana, menerima telepon, beberapa detik, air matanya malah terjatuh. Ia menutup telepon itu dan orang-orang memandangnya dengan penuh pertanyaan.
"Bersama Salu Saddang, abba-nya sudah mengirimnya ke Barru!" ujarnya.
Keterangan
salu: sungai Saddang
abba: ayah
amma: ibu
to pea: anak
tu mane: laki-laki
puang: sapaan untuk orang tua
Justang Zealotous guru Bahasa Indonesia di Pinrang, anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Bone. Buku kumpulan cerpennya berjudul Makkunrai (UNSA Press, 2019)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)