Rasa Cinta yang Tetap Sama

Cerita Pendek

Rasa Cinta yang Tetap Sama

Rekha Aqsoliafitrosah - detikHot
Minggu, 02 Feb 2020 11:45 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: M. Fakhry Arrizal/detikcom
Jakarta -

Seperti anak dari para regent yang lain, aku juga ingin sekolah. Kutenggelamkan wajahku dalam buku bersampul ungu yang aku genggam. Masih terbayang dalam ingatanku bagaimana mereka, para bedebah yang tidak tahu terima kasih itu, mengobrak-abrik rumah setiap penduduk yang tidak mau tunduk. Andaikan Tuhan memberiku keistimewaan seperti si Pitung dan pahlawan lainnya, mungkin sekarang sudah kutebas satu persatu kepala mereka, kuusir dari tanah Surabaya.

"Tuan Pieter memberitahuku bahwa ia sering melihatmu mengikuti sekolah secara diam-diam. Benarkah itu, Nduk?" Kata-kata Ayah membuyarkan lamunanku.

Sontak kututup buku curian dari toko buku di tengah kota itu. Akhir-akhir ini ayah selalu pulang malam dengan wajah yang kusut. Sepertinya Tuan Kertoredjoso --ayah Sari yang garang itu-- tahu dan melapor bahwa putrinya sering bolos sekolah, digantikan oleh seorang anak dari tukang sepatu. Kuanggukkan kepalaku dengan lemah, tidak ada satu pun bangkai yang dapat tetap terpendam malam ini.

Rotterdam, 15 Juli 1785

Aku takkan pernah melupakan setiap jasa dari Tuan Pieter, seorang Belanda totok yang menjabat sebagai kepala sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Surabaya. Padanya, aku bekerja sebagai penerjemah pribadi saat dirinya ingin berkeliling dan menyapa warga, hingga menerjemahkan surat-surat keluhan berbahasa Jawa tanpa nama yang sering kali datang ke kantornya. Lebih dari sekadar uang, aku mendapat imbalan berupa pinjaman buku-buku berbahasa Belanda miliknya.

Baginya, aku tidak pernah menambahkan bumbu-bumbu penyedap ke dalam teks, tidak seperti para penerjemah resmi pemerintah yang gila harta. Dan atas rekomendasi darinya pula, saat ini aku telah menapakkan kaki di kota terbesar ketiga di negeri para penjajah, setelah Den Haag dan Amsterdam. Tidak seperti suasana hatiku yang sedang mendung, mataharinya begitu terik siang ini.

Kami bangun jalan raya agar transportasi mereka menjadi mudah, kami bangun rel dan stasiun agar mempersingkat waktu mereka untuk sampai ke tempat tujuan, kami menaungi setiap petani dan kerajaan kecil agar perekonomian mereka dapat terarah, kami kenalkan alfabet agar mereka bisa berinteraksi dengan masyarakat luar,serta kami bangun bank dan mengenalkan pentingnya mata uang agar mereka, para pribumi tersebut, dapat mudah mengelola modal.

Dusta yang dikatakan oleh sebuah usaha dagang pada negeri dan bangsanya sendiri. Hampir seluruh warga, bahkan kerajaan Belanda pun tidak mengetahui perihal kekejaman yang dilakukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Yang mereka tahu, VOC-lah penyumbang dana terbesar bagi kemakmuran negeri kincir angin dengan Hindia Belanda sebagai negeri primitif yang perlu dimodernisasikan. Aku menyeringai, tanpa Hindia, Belanda bukan apa-apa.

Rotterdam, 17 Juni 1786

Tanpa sengaja aku melihat seorang pria berlari kecil sembari melambaikan tangan ke arahku. Ia menggunakan sebuah tuxedo warna abu-abu yang sangat pas untuk badannya yang kekar. Aku dapat melihat dengan jelas kedua lesung pipinya dari kejauhan. Ia mengeluarkan sesuatu yang telah berhenti kucari sejak tiga hari yang lalu, dari dalam saku jasnya. Buku harianku!

Dengan sigap aku merampas dan memasukkan buku itu ke dalam tasku. Dia hanya tersenyum simpul melihat sikapku lalu mengulurkan tangan kanannya.

"Halo, Ash, Aswien Willemsen" Sapanya ragu sambil tersenyum dalam bahasa Belanda. "Sugeng sonten," kali ini ia menggunakan bahasa Jawa untuk mendapatkan tanggapan dariku.

Pria itu meminta maaf karena telah membaca buku harian yang ia temukan saat berolahraga di sekitar pelabuhan minggu lalu. Kuhargai niat dan usahanya untuk mengembalikan buku itu dan segera kuambil beberapa keping koin padanya sebagai ucapan terima kasih. Pria itu mengangkat alisnya dan terlihat tersinggung, rupanya setiap sore ia rajin menyisiri tiap sisi pelabuhan untuk menemukan seorang gadis Jawa yang tengah kehilangan buku catatannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aku mengangguk atas ajakannya untuk makan bersama malam ini. Kami berlari lari kecil dan berhenti di sebuah restoran di pinggir laut.

Ia memulai pembicaraan. Aswien bertanya-tanya tentang nusantara. Ia adalah satu dari sekian juta rakyat Belanda yang dibohongi oleh dongeng picisan ala VOC. Rupanya siswa baru di akademi militer Belanda yang berusia 19 tahun itu sangat tertarik dengan negeriku. Setelah pertemuan malam itu, setiap sore ia selalu datang untuk berjalan-jalan denganku di sekitar pelabuhan Rotterdam.

Musim dingin, musim semi, musim gugur, dan berbagai musim kami berdua lewati bersama. Tiap minggu, kami kunjungi panti asuhan yang berbeda, memberi hadiah dan kebahagiaan pada anak-anak tanpa ibu dan ayah. Lebih dari sebuah berkah, Aswien adalah segalanya.

Hingga pada suatu malam dengan bulan sabit yang tertutup awan, Aswien mengenakan tuxedo abu-abu yang sama saat pertama kali kami bertemu. Tatapan matanya kali ini sangat serius. Ia menyampaikan maksudnya untuk melamarku. Kugenggam tangannya sangat erat. Dengan berat hati kutolak cincin platina pemberiannya. Cintanya pada negerinya tentu lebih besar daripada cintanya terhadap kekasihnya, begitu pula denganku. Matanya mulai berkaca-kaca.

Ini adalah pertama kali aku melihatnya menangis. Ia pergi dan aku hanya dapat diam seribu bahasa. Aku dapat melihat dengan jelas bagaimana punggungnya menghilang ditelan gelapnya malam.

Berada bersamanya hanya akan membuatku lupa misi utamaku pergi ke Belanda, lupa akan kesengsaraan yang dialami rakyat miskin di nusantara. Berpikir untuk mengangkut semua keluargaku ke Rotterdam, menikah dengan Aswien, memiliki anak cucu yang banyak dan hidup bahagia selamanya hanyalah sebuah khayalan yang harus segera disingkirkan.

Surabaya, 17 Januari 1815

ADVERTISEMENT

Setelah sekian lama berunding dengan pihak Belanda, sekolah rakyat pun berhasil dibuka, meskipun pada kenyataannya kehidupan kami masih tetap sengsara. Di sisi lain, warga kampung sedang sibuk mengadakan pesta hari kelahiranku yang tepat jatuh pada hari ini, sebagai wujud terima kasih atas perjuanganku membangun sekah tersebut. Aku sering menolak ketika dipuji sebagai pahlawan yang telah kembali dari Belanda.

Ketika acara dimulai, datanglah puluhan tentara Belanda lengkap dengan senjatanya ke halaman rumahku, menodongkan senapannya ke arahku. Kemudian, keluarlah sesosok pria di balik barisan tentara itu. Melalui seragam yang ia dikenakan, bisa dipastikan pangkatnya lebih tinggi dari Jenderal yang ada di Rotterdam. Aku dijebloskan ke dalam sel tahanan berukuran tidak lebih besar dari kasur orang dewasa atas tuduhan menjadi pemberontak pemerintahan Hindia Belanda.

Malam berikutnya pria itu mengundangku untuk bertemu di ruang kerjanya. Kami bertemu dalam diam. Diletakkan sebuah model pistol terbaru olehnya di atas meja. Segera kugunakan pistol tersebut untuk kabur dan ia tidak melawan sedikit pun saat dirinya kujadikan sandera. Lorong demi lorong kami lalui bersama, aku memeluknya dengan erat dari belakang. Tidak ada satu pun tentara Belanda yang berani melawan mengingat betapa pentingnya nyawa pria yang sekarang berada dalam dekapanku.

Hingga sampailah kami berdua ke gerbang pintu masuk utama penjara. Semua tentara menodongkan senjatanya ke arahku. Aswien menyuruh mereka untuk segera membuang senjatanya ke tanah. Satu dua detik kemudian mereka membuang senjatanya sesuai dengan perintah.

"Tembak saja, lalu lari, dan jangan pernah menoleh ke belakang. "Aswien berbisik dengan volume suara yang sangat rendah.

Sebagai seorang tentara Belanda, dia hanya memiliki dua pilihan: berhasil melaksanakan tugas atau mati dengan cara yang terhormat. Tetapi sebagai seorang yang pria, aku dapat mengetahui bahwa ia hanya ingin melihat perempuan yang dicintainya dapat hidup dengan bahagia. Kupejamkan mataku, jika aku menembak di bagian perut maka kemungkinan besar dia akan sembuh.

Kami berdua bisa selamat. Tapi, ia tetap saja akan diperintahkan untuk mencari keberadaanku. Lalu, apakah aku harus menembak kepalanya saja agar ia dapat mati tanpa merasakan sakit sedikit pun? Tidak, itu terlalu sadis. Aku sangat mencintainya, aku tidak tega. Aswien mengambil alih peganganku, mengarahkan pistol itu menuju dadanya. Ia menuntunku untuk menarik pelatuknya.

Meleset, peluru itu tidak mengenai jantungnya. Aswien terjatuh, pandangan matanya terlihat sangat sayu. Kulihat lesung pipinya membuat sebuah garis senyuman yang menawan. Aku mengusap pipinya. Dahi kami berdua saling menempel. Tidak kuhiraukan perintahnya untuk segera pergi dari sini.

"Kekasihku, pergilah! Aswien akan selalu hidup dalam hatimu."

"Nee! Aku ingin bersamamu!" Aku berteriak sambil memeluk tubuhnya.

"Cepatlah, lari!" cairan bening mulai tumpah dari kedua matanya. Aku hanya menggelengkan kepala sambil mengeratkan dekapanku padanya.

DOR!

Beberapa saat kemudian aku merasakan sesuatu yang panas menembus punggungku berkali-kali. Aku telah ditembak oleh para tentara Belanda yang telah memungut kembali senjata mereka. Aswien mengusap punggungku perlahan, tidak sakit, ada aku di sini. Aku dapat merasakan detak jantungnya yang kian melemah, kemudian lenyap entah ke mana.

Kekasihku kini telah tiada. Aku semakin terisak. Rasa pedih di dalam hatiku jutaan kali lebih menyakitkan dari pada puluhan luka tembak pada punggungku. Berbagai macam pertanyaan muncul dalam benakku. Apakah kami berdua masih akan disebut pahlawan bagi negeri kami masing-masing? Atau setelah ini, akankah kami dicap sebagai seorang penghianat bagi rakyat kami sendiri? Apakah jasad kami akan dikuburkan bersebelahan ataukah malah akan dipisahkan sejauh mungkin?

Bagiku, kami telah melakukan tugas dan kewajiban kami masing-masing dengan penuh kesungguhan. Masa bodoh jika setelah ini kami akan dilabeli sebagai penghianat negara. Yang kuinginkan saat ini hanyalah dapat memeluk dan menghabiskan detik-detik terakhirku bersama dengan seorang pria yang kucintai, seorang pria yang sangat mencintaiku, dan juga seorang pria yang sangat aku rindukan kehadirannya. Rasa cintaku pada Surabaya, pada Nusantara, serta rasa cinta Aswien pada kerajaan Belanda masih akan tetap sama.

Pandanganku mulai memudar, aku semakin mengeratkan pelukanku pada tubuh Aswien. Tugas kami pada tanah kelahiran kami telah selesai malam ini. Lepas sudah semua beban, status, gelar, dan juga jabatan yang telah kami miliki. Kami bukan lagi seorang perempuan dari Nusantara maupun seorang jenderal dari negeri Belanda. Kami hanya sepasang manusia yang ditakdirkan bertemu tapi tidak untuk hidup bersama di dunia yang fana.

Kenangan tentang keinginan Aswien pada musim Tulip mekar tiba-tiba muncul. Dari dulu ia bersikeras untuk menyatukan negara kami, tanpa ada peperangan, tanpa ada lagi yang namanya negeri jajahan. Kupejamkan mataku, aku memeluk tubuhnya yang dingin dan kaku. Setelah ini aku akan memberitahunya bahwa perjuangannya tidak gagal sedikit pun.




(mmu/mmu)

Hide Ads