Sepasang Tangan di Jendela

Cerita Pendek

Sepasang Tangan di Jendela

Dody Wardy Manalu - detikHot
Minggu, 12 Jan 2020 10:23 WIB
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - "Bangun! Tandai milik kita biar jangan diambil orang!"

Opung berteriak dari dapur. Tiur keluar kamar sambil mengucek mata. Ia berjalan ke samping rumah mengambil ember berisi potongan ranting. Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, tugas Tiur mengumpulkan kotoran kerbau yang bertebaran di jalan. Kotoran kerbau menjadi rebutan warga pengganti pupuk kimia yang harganya selangit.

Tiur mencelupkan rating pada tumpukan kotoran kerbau. Warga tak akan mengambil kotoran telah bertanda meski belum dikumpulkan. Tiur lanjutkan langkah menuju pinggiran muara. Lima batang pohon kemiri tumbuh di sana. Lumayan banyak buah kemiri yang jatuh hari ini. Opung akan menjual buah kemiri itu ke pasar. Tiur balik untuk mengumpul kotoran kerbau miliknya. Namun kotoran kerbau telah ia tandai hilang. Pandangannya mengarah ke ujung jalan. Seorang pemuda seumurannya memundak ember berjalan tergesa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Apa kamu yang ambil kotoran kerbau telah bertanda?"

Pemuda itu tidak menoleh. Malah percepat langkah. Ia tidak tahu hukum adat di kampung Mojong. Orang kedapatan mencuri akan dihukum dengan upacara penggaraman. Ia harus membagikan satu bungkus garam pada setiap warga. Akhirnya, terjadilah aksi kejar antara pemuda pencuri kotoran kerbau dengan gadis pembawa buah kemiri.

Pemuda itu berlari melintasi jembatan kayu yang diikatkan pada tali tambang. Jembatan bergoyang ketika pemuda itu berada di atas. Tiur memilih mundur. Tak ingin jatuh hanya karena berebut kotoran kerbau.

"Berhenti! Kalau tidak, aku goyang jembatan ini hingga kamu jatuh."

Akhirnya ia berhenti. Tiur penasaran bagaimana raut wajah pemuda itu.

"Kembalikan kotoran kerbauku."

Pemuda itu berdiri dengan posisi membelakangi Tiur. Barangkali tengah berpikir kalimat apa akan ia ucapkan untuk minta maaf. Tiba-tiba ia berlari. Tiur menggoyang tali jembatan sekuat tenaga. Pemuda itu kehilangan keseimbangan dan jatuh. Untung jembatan tidak tinggi dan arus sungai tidak sedang deras. Ia meraung kesakitan. Kotoran kerbau tumpah menutupi wajahnya.

***

"Kamu menjatuhkan orang dari jembatan hanya karena kotoran kerbau. Bagaimana kalau ia tidak tahu berenang. Bagaimana kalau ia patah tulang. Bagaimana kalau ia datang menuntutmu?"

Opung marah. Tiur menyesal menceritakan pemuda pencuri kotoran kerbau itu. Sudah empat hari opung menggantikan Tiur mengambil kotoran kerbau. Opung menghukum dirinya dengan tidak mengizinkan ikut ke ladang.

Tiur habiskan petang berdiri di mulut jendela kamar. Rumah opung bertingkat mirip rumah di kota. Kamar Tiur berada di lantai dua. Hanya saja, rumah itu menyatu dengan rumah milik Opung Retta, tetangga sebelah.

Beberapa hari ini, setiap petang Tiur melihat sepasang tangan keluar dari jendela rumah Opung Retta. Jendelanya berjerejak sehingga pemilik tangan itu tidak bisa menyembulkan kepala. Melihat tangannya saja, Tiur sudah senang luar biasa. Kulitnya putih dan halus. Jemarinya panjang dengan kuku bersih dipotong pendek. Di lengan kirinya melingkar jam tangan. Menerka, pemilik tangan itu adalah seorang pemuda. Pasti ia cucu Opung Retta dari kota.

Hujan turun petang ini. Tiur kembali berdiri di mulut jendela. Matanya tidak lepas dari sepasang tangan tengah terjulur keluar. Tangan itu menengadah menampung air hujan.

"Apa kamu menyimpan rasa bersalah juga pada seseorang, sehingga berdiri di mulut jendela setiap petang?"

Pemilik sepasang tangan itu bicara untuk pertama kali. Tiur menyembulkan kepala keluar jendela, memastikan bila pemuda itu bicara padanya. Namun, hanya sepasang tangan berkulit putih tampak olehnya.

"Aku bertanya pada orang sedang berdiri di mulut jendela rumah sebelah."

Mata Tiur mendelik. Heran, ia tak pernah menampakkan diri, mengapa pemuda itu tahu keberadaan dirinya.

"Aku mencium aroma sabun mandi menguar dari tubuhmu setiap petang," ujar pemuda itu. Penciumannya sangat tajam melebihi anjing pelacak.

"Aku berdiri di sini karena merasa bersalah juga. Aku menjatuhkan seseorang dari jembatan."

Tiur menceritakan kejadian aneh itu pada orang tak dikenal. Terdengar suara tawa dari kamar sebelah.

"Pasti ada alasan mengapa kamu menjatuhkannya."

"Dia mencuri kotoran kerbau milikku."

"Jadi mengapa masih merasa bersalah? Ia pantas menerima itu."

"Tapi yang aku lakukan itu bisa mencelakakan dirinya."

Pemuda tidak ia kenal wajahnya itu kembali tadahkan tangan menampung air hujan.

"Aku sudah cerita tentang rasa bersalahku. Sekarang giliranmu."

Tangan pemuda itu berhenti bergerak. Air dalam telapak ditumpahkan. Ia menarik tangan dari mulut jendela. Tiur cukup lama menunggu jawabannya. Tidak ada suara. Barangkali ia sudah pergi.

"Boleh menjawabnya besok petang?"

Ternyata pemuda itu masih di sana.

"Apa bedanya sekarang dengan besok?"

"Anggap saja sebagai alasan menungguku di situ besok petang."

Pemuda itu tidak tahu alasan Tiur mengapa mengintipnya dari jendela setiap petang. Tiur iri pada sepasang tangan putihnya. Pasti ia memakai hand body mahal yang hanya dijual di kota-kota.

"Apa hanya kebetulan, kamu berdiri di mulut jendela setiap petang?"

Tiur menjadi penasaran pada pemilik tangan halus itu.

"Karena warung mie ayam di seberang jalan hanya buka waktu petang."

Pandangan Tiur beralih pada warung mie ayam depan rumah. Apa hubungan warung itu dengan pemuda ini. Berharap ia melanjutkan perkataannya. Namun tidak ada lagi suara. Ia meninggalkan jendela tanpa pamit.

***

Pemuda itu belum juga menjulurkan tangan keluar jendela. Kaki Tiur sudah pegal menunggu. Warung mie ayam seberang jalan sudah buka setengah jam lalu.

"Maaf, membuatmu lama menunggu."

Terdengar suara dari kamar sebelah seiring tangan terjulur keluar jendela.

"Sudah siap mendengar ceritaku?" ujarnya.

"Aku sudah siap dari setengah jam lalu."

"Kadang pemikiran orang dewasa lebih sulit dipahami. Enam tahun lalu kedua oran tuaku bercerai. Ibu membenciku karena memilih tinggal bersama ayah. Ibu tidak mau bertemu denganku. Memilih tinggal bersama ayah karena tak ingin merepotkan ibu. Aku tidak bisa sekolah tinggi bila tinggal bersama ibu. Aku tahu bagaimana keuangan ibu. Biarlah ayah menyekolahkan aku hingga sarjana. Kelak, bila sudah berhasil, aku akan kembali pada ibu. Namun ibu tidak mau dengar penjelasanku."

Susah payah ia menyelesaikan kalimatnya. Yang ia rasakan hampir sama dengan yang Tiur rasakan. Tinggal bersama opung karena menolak hidup satu rumah dengan ayah tirinya. Bedanya, sang ibu menikah lagi karena suaminya meninggal.

"Semua ibu di dunia ini punya seribu pintu maaf. Ketika masih tinggal bersama ibuku, kami sering bertengkar karena banyak hal. Terkadang, kami tidak tahu bagaimana awalnya kami bisa bertengkar. Namun ibuku selalu saja memaafkan aku. Ia membuat jus mentimun sebagai tanda perdamaian."

Tiur berharap pemuda itu mengerti yang ia katakan.

"Opung-ku bisa menjaga rahasia. Ia tak akan memberi tahu ibuku tentang kedatanganku. Apa ibuku akan mengusirku bila tiba-tiba muncul di hadapannya?"

Tiur menangkap keraguan pada nada suaranya.

"Aku sudah bilang, semua ibu di dunia ini sama."

***

Opung menyuruh Tiur membeli semangkok mie ayam. Mereka tidak masak lauk untuk makan malam. Opung sangat suka kuah mie ayam dicampur pada nasi. Kembali mengingat awal perkenalan dengan pemuda pemilik tangan halus itu. Ah, sepertinya bukan suatu perkenalan. Tiur tidak mengenal wajahnya. Bahkan namanya ia tidak tahu.

Setiap beli mie ayam, Tante Hanna, pemilik warung selalu beri Tiur bonus satu bungkus kerupuk sambal. Tiur memasuki warung agar pesanannya cepat dibuat. Namun langkahnya terhenti. Matanya tertuju pada meja paling sudut. Tante Hanna duduk di sana sembari mengusap kepala seorang pemuda sedang makan mie ayam. Pemuda itu makan sambil menangis. Tiur mendekat. Pada tangan halusnya melingkar sebuah jam tangan. Bukahkah ia yang julurkan tangan dari jendela setiap petang?

"Pasti mau beli mie ayam buat opung-mu, bukan?" ujar Tante Hanna begitu menyadari kehadiran Tiur. Pemuda itu ikut menolehkan wajah.

"Kamu gadis penghuni kamar sebelah ya?" ujar pemuda itu sembari menghapus air mata. Ia beranjak dari kursi menghampiri Tiur. Langkahnya sedikit pincang. Kaki kanannya diperban.

"Dari mana tahu aku penghuni kamar sebelah?"

"Aroma sabun mandi yang menguar dari tubuhmu."

Tiur mendongakkan kepala menatap wajah di hadapannya. Tante Hanna meninggalkan mereka, membiarkan Tiur sendirian dilanda gugup.

"Terima kasih untuk nasihatnya. Berkatmu, aku jadi percaya bahwa semua ibu di dunia ini punya seribu pintu maaf," ujarnya.

"Kaki kamu kenapa?" tanya Tiur asal. Tidak tahu harus berkata apa lagi.

"Aku jatuh dari jembatan. Opung-ku menyuruhku ambil kotoran kerbau untuk pupuk. Aku tidak tahu kalau kotoran kerbau yang dicucuki ranting sudah ada pemiliknya. Mau tahu siapa gadis yang menjatuhkan aku dari jembatan?"

Seketika wajah Tiur pucat pasi.

"Namaku Demian. Besok pagi, aku akan menemanimu mengambil kotoran kerbau dan kemiri," bisiknya sambil menggenggam tangan Tiur. Genggaman itu terasa hangat.

Wajah Tiur berubah menjadi merah dadu.

Dody Wardy Manalu lahir di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Menghabiskan masa remaja di Sibolga. Awal 2015 mulai serius menulis. Beberapa karya fiksinya dimuat di sejumlah media

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads