Daun-daunan dan rumputan basah oleh embun yang merendah mendekap lembah. Di atas padang lapang itu kita kerap berlarian. Berburu kunang-kunang yang mulai memijarkan cahayanya. Juga memetik bunga-bunga beragam warna, kemudian menghanyutkannya di alir batang air yang berkecipak di sepanjang lembah. Engkau akan menari-nari bertelanjang kaki, mengikuti irama ketipak kincir air yang berputar ditimpa arus sungai nan mengalir jernih. Sejernih telaga di matamu.
Kau ingat, Hana? Saat orang-orang tengah sibuk di ladang, kita diam-diam menyelinap ke dalam pondok yang dulunya adalah tempat penggilingan kopi ini. Mabuk menghirup harum biji kopi yang sedang ditumbuk alu-alu besar, digerakkan oleh kincir air yang tak henti berputar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Engkau bercerita tentang ayah dan ibumu yang ikut memetik kopi bila tiba musim panen. Mereka juga menanam dan merawat pohon di atas bukit itu. Di pedalaman rimba. Tempat pohon-pohon berlumut dan hutan berkabut senantiasa menyimpan musim hujan yang manis. Semanis lendir biji kopi paling ranum, sebelum dikeringkan terik matahari. Kita kerap mengulumnya seperti permen, sebagai bagian dari keriangan musim petik yang indah.
"Kelak engkau dan aku juga akan menanam kopi, merawat pohon-pohon sebagai sepasang peladang, bukan?" ujarmu suatu kali.
Rumahmu jauh di atas bukit. Tidak berdinding juga beratap seperti rumah orang-orang kota. Atap rumahmu adalah teduh pohonan. Pilar-pilarnya adalah pohon-pohon purba. Berdinding tebing berparit lembah. Tanahnya menumbuhkan bermacam umbi-umbian, sayur-mayur, kopi, kulitmanis, aneka rempah.
"Segala yang tumbuh menjadikan tanah ladang kami lebih harum dari sekadar aroma kopi yang menguar di tungku itu," ujarmu suatu kali, ketika kita tengah duduk bersimpuh di bilik dapur pondok kecil ini, di antara tumpukan kayu bakar.
Engkau kisahkan padaku, tiap kali senja turun ke lembah, pucuk-pucuk pohonan berlinang cahaya merah tembaga. Seperti hiasan kuluk yang bergemerincing di kepala anak dara. Harum aneka bunga menyeruak di udara. Menebarkan aroma magis. Seperti mantra yang dikirim lewat angin. Menyesap ke hangat darahmu. Menenangkan denyut ubunmu yang lelah usai bergumul humus sepanjang siang. Katamu, itulah saat di mana gerbang antara dunia kita dengan dunia para penduduk alam kayangan saling terhubung. Gerbang menuju negeri makhluk sakral tak kasat mata. Penjaga rimba raya.
"Jika engkau menemukan tempat yang senantiasa terlihat bersih, tiada dedaunan jatuh di tanah, juga terlihat beragam bunga tumbuh mekar dengan keindahan yang tak pernah engkau lihat sebelumnya, maka janganlah engkau coba memetiknya. Bisa jadi itu adalah taman milik penduduk negeri kayangan. Engkau tak boleh memetiknya, atau engkau akan dibawa ke kampung mereka untuk kemudian terlupa jalan pulang!" engkau memperingatkan aku.
Aku meninggalkan pondok ini, kemudian melangkah menuju setapak tanah yang di sisi kiri-kanannya merimbun tumbuhan semak. Nyaris menutupi jalan ini. Seakan mempertegas, jalur ini sudah lama tak dilewati. Aku berjalan dengan langkah pelan, sambil menyibak belukar yang merambat itu dengan hati-hati.
Aku terus menyusuri setapak yang mulai mendaki. Di puncak bukit sana, dahan-dahan cemara melambai-lambai. Seperti memanggil diriku. Riang bermandikan cahaya jingga. Tarian rumputan menyambut senjakala. Pemandangan menakjubkan di hadapanku terpampang seperti lukisan maha indah. Seakan dedaunan yang bergoyang di pucuk reranting itu adalah helaian-helaian emas paling kilau. Langit di atas kepalaku bermahkota wewarna. Perlahan, cahaya terus menyusut ke batas cakrawala.
Sebentar lagi, warna-warna itu bakal memudar dilumat pekat malam. Aku tidak peduli bakal sekelam apa warna malam di tengah rimba begini. Kenangan tentangmu yang menyala di kepala, menjadi cahaya yang terus menuntun langkahku. Aku terus saja berjalan. Berharap bisa menemukan jejak-jejak tersisa dari masa lampau. Sebelum pusaran waktu mengelupas paksa kenangan itu dari ingatanku.
Angin gunung yang lembut melewatiku. Membawa harum bunga, entah dari taman yang mana. Aku menyesapnya dalam-dalam. Mengalir dalam nadi. Sampai ke puncak kepala. Menentramkan denyut ubun. Hingga kurasakan langkahku kian ringan. Meskipun setapak ini makin menanjak menuju puncak. Kemudian tiba ke jalur yang cukup landai. Pertanda bahwa tak lama lagi aku bakal memasuki kawasan hutan larangan. Tempat pohon-pohon purba berusia ratusan tahun berderet kokoh. Bagai barisan para gergasi penjaga rimba.
Tumbuhan semak perdu mencuatkan bebunga aneka warna. Menjalari tebing-tebing. Merambati batang kayu tua berlumut. Demikian semestinya yang kutemui. Namun pada kenyataannya, yang kutemukan hanya tunggul-tunggul kayu. Ilalang mencuat bagai deduri, dan gemeretak ranting kering yang terpijak. Hutan yang tak kukenali, meski masih kutemukan beberapa batang kopi dengan buah yang membusuk di tanah. Bulir-bulir kopi yang jatuh sendiri menemui takdirnya yang sunyi.
***
Hana, aku kenang engkau sebagai gadis manis dengan tungkai-tungkai lincah. Senyum yang menebar aroma kopi. Rambutmu ilalang menari ditiup angin gunung. Jemarimu dahan-dahan tempat daun-daun merimbun teduh. Matamu sepasang cahaya kunang-kunang. Memancarkan kehangatan tanpa nyala api. Pelita malamku yang buta. Mendiangi gigil jiwa. Mengingat kisah-kisah yang pernah engkau ceritakan kepadaku, kepalaku seperti menemukan pintu pelarian menuju padang lengang dalam diri. Tempat diriku bebas menjadi setangkai ilalang yang dikitari cahaya kunang-kunang. Riang menari bersama angin gunung. Bergemerisik seperti bisik napasmu.
Kenapa baru sekarang aku menyadari, betapa aku mencintai hutan ini? Betapa aku mencintaimu. Dadaku memberat disesaki sesal, kenapa dulu aku harus pergi?
Masih kuingat ketika orang-orang dari kota itu menghadang kaum peladang di rimba ini. Dengan banyak dalih yang tak dapat dimengerti orang-orang ladang yang tak bersekolah. Aku yang terpaksa mengikuti ayah dan ibuku kembali ke desa agar terhindar dari masalah. Sementara engkau dan kaummu memilih bertahan. Menyusuri rimba. Meneruskan tradisi leluhurmu. Di padang kunang-kunang itu, tempat terakhir kali kita bertemu. Seperti ada cahaya yang padam dalam diriku.
Ingin sekali kuberitahukan kepadamu, hari-hariku di desa tidaklah menyenangkan. Aku mesti bersekolah. Kemudian berangkat ke kota untuk menyambung hidup, sepeninggalan ayah dan ibuku. Dan engkau, entah telah sampai di rimba yang mana. Musim terus berganti, dan sampailah pada musim kemarau nan panjang. Angin gersang menerbangkan debu jalanan. Udara yang kuhirup membawa bau pohon-pohon sekarat. Matahari bersinar garang. Dan tangan-tangan serakah menebar celaka di hutan-hutan.
***
Alangkah malangnya diriku. Kembali ke tempat ini hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Namun, setelah sampai di sini, rasanya aku tak ingin kembali ke kota lagi. Pengembaraanku pada larut senja ini, seperti perjalanan menuju masa lalu. Masih adakah waktu untuk memperbaiki? Oih!
Setapak di hadapanku perlahan terbungkus halimun. Memangkas jarak pandang. Embun berguguran membikin gigil belulang. Angin berkesiur mengempas dedaunan. Di antara keriuhan itu, seperti kudengar sesuara. Entah gumaman siapa. Terngiang kisah-kisahmu di kepalaku.
"Saat engkau telah dipilih menjadi tamu di kerajaan kayangan, tungkai-tungkaimu akan dihela ke sebuah setapak yang bahkan tak pernah engkau bayangkan sebelumnya. Engkau tak akan menyadarinya, sampai matamu dibuat takjub menyaksikan kemegahan dan kilauan cahaya indah yang mengerdip dari tiang-tiang istananya. Ribuan kunang-kunang beterbangan di halamannya. Di atas hamparan taman bunga beragam warna. Dan yang pasti, tak akan engkau dengar jerit tangis di sana. Kehidupan semata-mata bahagia. Bukankah itu indah?"
***
Malam menjulurkan jubah kelamnya. Kabut perlahan tersibak. Aku melangkah di antara bayang reranting yang menari di tanah ladang, ditimpa cahaya perak rembulan. Bintang-bintang di atasku membentang, bagai selendang bertabur intan. Kerlip lampu kota di bawah sana, mengisyaratkan kehampaan. Padang ilalang di sekelilingku memancarkan cahaya kunang-kunang. Cahaya itu melayang kemudian lenyap di antara rimbunan semak.
Tak lama kemudian, muncul beberapa cahaya kecil dari balik rumpun ilalang. Berkedipan menyayat kelam. Bertebaran di atas tanah ladang. Membubung ke dahan-dahan surian. Semakin beranak-pinak cahaya itu di mataku. Aku terpaku. Seakan kaki-kakiku telah mengurat ke tanah. Dingin malam dan embun yang gugur ke tanah membaluri tubuhku yang ilalang. Sejak kapan aku menjelma menjadi ilalang?
Di hadapanku, ribuan kunang-kunang terbang membawa pijar kesunyian. Bergantian menghinggapi tangkai-tangkai tubuhku. Kemudian terbang menuju ketiadaan. Kecuali sepasang kunang-kunang yang terus mengitariku.
Di antara pekat malam, seperti kusaksikan siluet tubuhmu. Tangkai-tangkai rumputan yang menari diterpa angin, menjelma menjadi helaian rambutmu. Tergerai menutupi wajah yang menunduk itu. Hana, engkaukah itu? Perlahan, engkau mengangkat wajahmu. Sepasang kunang-kunang yang menghinggapi tubuh ilalangku, memburu masuk ke ruang matamu. Menjadi binar. Memancarkan cahaya teduh. Memijari lorong-lorong gelap di jiwaku.
Mata jiwaku menyala. Seketika aku melihat gerbang sebuah kerajaan terbuka. Ribuan kunang-kunang menyala di tiang-tiang istana. Seperti kerlip cahaya lelampu. Menerangi jalan menuju singgasana. Engkau telah duduk diam saja di sana. Di sebelahmu, singgasana kosong belaka. Benarkah engkau tengah menantiku untuk duduk bersanding denganmu di situ?
Dengan sekuat daya kukayuh tungkaiku menujumu. Tubuhku yang ilalang bergemerisik diterpa angin kering musim kemarau. Aku merentangkan tangan-tanganku yang ilalang ke arahmu. Engkau tetap diam di situ. Aku dengar gemuruh yang entah datang dari mana. Binar di matamu, pijar sepasang kunang-kunang itu, berubah menjadi nyala api. Aku saksikan sepasang kunang-kunang terbakar sayapnya. Napasku memburu. Terdengar seperti suara gemeretak ranting yang terbakar.
Aku melihat ribuan pijar kunang-kunang menjelma menjadi bunga api yang memercik di udara. Jatuh ke tiap-tiap tangkai ilalang. Melahap dahan-dahan. Mengubah pepohonan menjadi legam arang. Juga melumat tubuhmu. Aku menjerit menyaksikan tubuhmu menjelma menjadi abu.
Andai saja bisa kuhujankan airmataku, aku akan menangis hingga padam api yang membakar tubuhmu. Andai saja aku berhasil mencapai gerbang negeri kayangan itu, andai saja aku bisa bersanding denganmu di singgasana itu. Maka, aku tak akan pernah keluar lagi dari tempat ini. Tak akan pernah kubiarkan engkau pergi. Selamanya. Selamanya.
***
Kini, ingatanku serasa tak mampu lagi menampung segala kenangan tentang hari itu, Hana! Kepalaku serasa akan meledak oleh kegaduhan yang memburu masuk ke dalam rongganya. Suara mesin dan alat berat yang meraung-raung saat mengeruk perut bukit. Roda-roda raksasa yang melindas lahan bekas ladang-ladang kopi. Bekas hutan dan padang ilalang yang terbakar. Dan aku terperangkap dalam sebuah ruang, sibuk mengurusi kertas-kertas sertifikat.
Tanah-tanah yang dulunya diwarisi dan dijaga turun temurun itu, kini mesti diberi status yang jelas oleh negara. Status yang tertulis di kertas. Mereka mengukur tanah-tanah ladang itu, membuatkan sertifikat, kemudian meminta para peladang itu menjualnya kepada mereka. Jalan-jalan besar akan dibangun. Jalan yang membelah rimba, rimba yang menyimpan kisah kasih kita yang tak sampai. Mungkin juga akan sampai pada halaman rumah berdinding pelupuh tempat abu tubuhmu berkubur.
Tidakkah engkau ingin kembali ke sana, Hana? Tidakkah engkau ingin menolongku?
Sungai Penuh, 2019
Yeni Purnama Sari kelahiran Kota Kopi Sungai Penuh, Jambi. Alumni UIN Imam Bonjol Padang. Pernah bergiat di LPM Suara Kampus, Teater Imambonjol, dan Mantagi Akustik. Berdomisili di Padang, Sumatera Barat
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)