Jika malam tiba, akar gantung beringin itu mirip rambut yang tergerai. Geraknya teratur tertiup angin dari selatan. Temaram lampu membuatnya semakin terlihat indah sekaligus menyeramkan. Meski demikian, diam-diam sering kuhabiskan bermenit-menit terpaku di jendela kamar untuk menikmati pemandangan itu.
Kadangkala, aku terusik dengan berbagai pikiran. Bagaimana jika seekor raksasa atau monster berdiam di belik di bawah naungan beringin itu. Jika pikiran itu mulai hinggap di kepalaku, aku lekas menutup daun jendela.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentu saja ikan-ikan lele itu istimewa." Aku mencoba mengatakan yang masuk akal ketika anak-anak perempuan coba menakuti kami. Alih-alih mengiyakan, aku dan teman-temanku justru tertawa. "Mereka hidup di sumur yang jernih. Lele yang lain hidup di kolam penuh lumpur."
"Hus! Tapi memang kemarin Wak Mus bentol-bentol setelah makan ikan lele dari belik," seloroh Prayoga, temanku.
"Mungkin punya alergi."
"Wak Mus adalah orang tahan banting. Jika bukan sembarang lele, mana mungkin ia sampai bentol-bentol?"
Tanpa sadar, aku mengangguk. Memang, Wak Mus adalah pemburu amatiran di desaku. Daging biawak, ular, bajing, atau landak sekali pun pernah mengisi perutnya. Nyatanya, baru lele dari beliklah yang membuat kulitnya bentol-bentol.
Tetapi, cerita itu lekas tergilas oleh berita yang tak kalah mengejutkan. Pohon beringin itu akan ditebang. Belik akan ditimbun. Akan ada pelebaran lapangan bola. Setahuku, orang desa tak pernah punya keinginan untuk melebarkan lapangan. Setelah kutanya Kakek, keinginan itu muncul dari para pemuka desa baru yang merasa desa terlalu primitif dengan keberadaan pohon beringin dan belik itu.
"Wong cilik tidak punya kuasa. Apalagi cuma masalah pohon," kata Kakek ketika kutanyakan. Meskipun jelas kulihat setitik kekecewaan di matanya.
Kulihat Kakek termangu di atas kursinya. Matanya sembap menatap beringin itu roboh setelah raungan gergaji terdengar memekak telinga. Dari pinggir lapangan, anak-anak menyaksikannya dalam diam. Pemandangan itu bukan hal biasa. Meskipun setiap kali ada penebangan pohon dengan mesin mereka bersorak, kali ini mereka hanya terpaku di hamparan rumput di pinggir lapangan. Beberapa ekor lele terlihat melesat dari belik ketika sebongkah dahan besar tercebur ke sana.
Ketika berbalik memandang Kakek, aku teringat ketika aku kecil. Dulu, Kakek pernah mengambil air belik itu untuk mengobati bopeng di ketiakku. Ia mencampurkan air itu dengan air rebusan daun johar. Setelah seminggu aku harus mandi dengan air rebusan johar, bopeng itu perlahan mengering dan lenyap.
"Kek, jika benar ada yang menunggu pohon itu, apa mereka yang menebang beringin itu tidak takut?" tanyaku berusaha menebus rasa penasaran. "Wak Mus sudah bentol-bentol begitu. Apa mereka kurang bukti?"
Lintingan tembakau diisap Kakek dalam-dalam. Suara keletik tembakau terbakar terdengar akrab di telinga.
"Tidak, kalau benar mereka ingin melebarkan lapangan, bukan untuk hal lain."
"Apa kamu tak pernah merasakan jika pohon dan belik itu ada yang menunggu?"
Aku lantas teringat cerita anak-anak perempuan tempo hari. Jika benar ada raksasa atau monster yang berdiam di belik itu, mereka pasti akan menyerang orang-orang yang mengadakan pelebaran. Terbayang pula ketika aku dan kawan-kawanku menceburkan Prayoga ke belik saat ia kalah bermain gundu. Ngeri benar jika tiba-tiba tubuh Prayoga ditarik tangan raksasa ke dalam belik yang airnya jernih dan begitu tenang itu.
"Memang siapa penunggunya, Kek?" pertanyaan itu seperti ringan terucap dari mulutku, meski degup jantungku tak bisa berdamai dengan perkataanku sendiri.
"Benar kamu tak tahu?" tangan Kakek yang keriput mengelus kepalaku.
"Ia yang menciptakan angin hingga akar-akar beringin itu semampai bergerak. Yang juga mencipta air belik yang setiap hari kamu minum sehabis angon."
"Maksud Kakek?"
"Apa kurang jelas kakekmu ini menerangkan?"
Dari pohon beringin yang tumbang, pandangan Kakek beralih ke arahku.
"Semua milik Tuhan, Le." Kamu atau siapa pun, mesti izin atas segala sesuatu yang Ia punya. Termasuk lele di belik itu. Kita manusia juga berkeharusan menjaga hubungan baik dengan alam."
Aku mulai mencerna jawaban Kakek. Samar-samar kupahami juga mengapa Wak Mus bentol-bentol setelah memakan lele. "Sifat rakus manusia terkadang bisa membuat lupa segalanya," Kakek melanjutkan.
***
Dari balik jendela, aku memandang mobil tangki yang berhenti di dekat lapangan bola. Orang-orang desa berdatangan. Dengan ember, gentong plastik, atau apa pun, mereka antre menadah selang air dari tangki. Air itu bantuan dari pemerintah, setelah kekeringan melanda desa kami.
Pertengahan bulan sepuluh, seharusnya para petani sudah mulai menyemai benih padi. Tetapi, bulan sepuluh hampir rampung, dan hujan baru sekali datang. Itu pun belum mampu menutup retakan tanah sawah yang menganga akibat panas kemarau yang menggila.
Biasanya, Kakek sudah menyiapkan bajaknya. Sapi sudah diberinya ramuan penguat tenaga. Mata bajak akan ditajamkannya agar mampu mengeruk tanah penuh seluruh. Tetapi, deretan orang desa di luar sana, di tempat dulunya berdiri pohon beringin, membuat aku semakin nelangsa.
"Apa kamu tak tahu aturan? Antre sana!" teriak seorang pemuda pada anak kecil yang menenteng ember hitam.
Anak itu semakin terseok ke barisan belakang setelah segerombol ibu-ibu merangsek dalam antrean. Terjadi adu mulut. Beberapa ember yang sudah terisi air tumpah akibat polah orang-orang yang berebut di depan. Barisan itu serupa ular ganas yang kehausan. Anak kecil tadi menangis, dengan ember yang ia ayun-ayunkan.
Aku tak mampu lagi melihat lebih lama. Memandang bajak Kakek yang tergantung penuh sarang laba-laba saja sudah membuat hatiku merana. Sialan! Untuk pertama kali aku merasa bersyukur Kakek telah tiada hingga ia tak perlu menyaksikan pemandangan memilukan ini. Dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, di bekas belik yang dulu berada di bawah rimbun beringin itu, orang-orang desa menjelma monster yang kehausan.
Gemolong, Oktober 2019
Latif Nur Janah lahir 1990. Menulis fiksi dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)











































