Kacu Manten

Cerita Pendek

Kacu Manten

Niwi Krismawati - detikHot
Sabtu, 14 Des 2019 10:50 WIB
Ilustrasi: Denny Pratama Putra/detikcom
Jakarta - Sejak kematian suaminya 100 hari lalu, polah tingkahnya membingungkan. Kadang Li Ing teriak sendiri seperti orang gila. Ada saat Li Ing melamun seharian, lalu duduk di kursi merah dimana suaminya meninggal tanpa sebab. Setelahnya dia pindah ke belakang menuju sumur, lalu bergumam sendiri. Kalau dia menghilang itu berarti dia keluar rumah, menyusur jalan entah mau ke mana.

Pernah suatu kali, Lee ponakannya dibuat belingsatan karena jam enam pagi Li Ing tak ada di kamar. Baru saja Lee hendak mengomel, terdengar suara perempuan dari depan gang menyebut namanya kasar, mencaci maki lalu menuduh Lee tak becus merawat Li Ing. Perempuan depan gang itu adalah kakak ipar Li Ing yang selalu saja mencari perkara. Kalau Lee membalas serapahan perempuan itu, ujungnya dia yang akan kena semprot Li Ing.

Sejak Lee pindah dan mengurus warung makan sederhana milik Li Ing, ada saja kejanggalan dan kejadian aneh. Contohnya saja, saat seorang pembeli sedang minum es teh tiba-tiba mencium aroma kapur barus orang yang sudah mati. Lalu, saat tengah malam Lee mendengar suara gaduh seperti sekumpulan orang yang sedang mengobrol di halaman belakang. Setelah dia tengok, sepi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lain lagi dengan cerita suami Lee yang melihat kelebatan orang tinggi hitam di depan kamar Li Ing. Belum anaknya yang selalu ketakutan menunjuk-nunjuk sesuatu di kamar mandi. Suatu siang Li Ing kesakitan, kepala dan perutnya serasa ditusuki jarum. Menjelang maghrib kedua mata Li Ing melotot, mengigau, memanggil nama-nama orang yang sudah meninggal. Berkali dia bilang kepada Lee kalau dia akan pergi jauh naik pesawat, pokoknya Lee tak akan dia ajak.

Esoknya Li Ing akan kembali bugar, tak seperti orang sakit. Dia bahkan tak percaya saat Lee menceritakan igauannya. Li Ing hanya sakit di waktu-waktu tertentu.

Siang itu Li Ing membuat ulah kembali. Dia mengadu pada kakak iparnya, mengatakan bahwa Lee tak becus merawat dirinya. Kontan saja Lee naik pitam. Li Ing bilang, dia ingin dirawat di rumah sakit, dan Lee terkesan tak peduli. Cukup sudah kesabaran Lee menghadapi pola tingkahnya yang selalu membuat kesal. Kali ini dia benar-benar butuh bantuan Lani, anak semata wayang Li Ing yang terkenal judes dan angkuh. Li Ing paling takut pada Lani.

***

"Rumah itu harus dibersihkan, ada kematian tak wajar, ada seseorang yang ingin mencelakakan Li Ing," suatu hari Lee kedatangan paranormal di warungnya.

Benar saja, setiap menjelang maghrib, Li Ing berubah jadi laki-laki. Suaranya besar, dia tertawa saat yang lain panik. Dia teriak-teriak ingin mati. Semua saudara yang menunggui ditantang. Matanya melotot, lalu memegang kepala kesakitan. Li Ing harus dibebaskan. Lee tak bisa tinggal diam; mamanya meminta mencari obat untuk kesembuhan adiknya itu. Bagaimanapun mamanya utang budi. Karena warung ini dirinya bisa memperpanjang nyawa.

Lee kaget, hasil ronsen sungguh di luar nalar. Ada banyak jarum bersemayam di tubuh Li Ing. Jimy, suami Lani bahkan pernah dibuat takut waktu menjaga di rumah sakit. Li Ing menyanyi.

"Jimy tak kuajak, aku mau pergi, aku mau jalan-jalan, aku mau naik pesawat, jauh-jauh sekali."

Lee tersenyum miris. "Lee, di tumpukan baju, dalam lemari ada dompet berisi jimat, kau buang saja. Aku pengen sembuh. Sekali lagi hati-hati, jangan terlalu berani, nanti nasibmu seperti aku."

***

Kalau Li Ing tak menikah lagi, Lani pasti tak akan sebenci ini pada mamanya. Baginya, ayahnya hanya Darmanto. Jelas sekali, waktu pernikahan keduanya itu, banyak sekali yang menentang.

Mereka bilang Li Ing itu peranakan Cina, dan suami keduanya itu lelaki Jawa tulen, dengan selisih umur 12 tahun. Li Ing janda anak satu, sedang suaminya itu jejaka tulen. Banyak bertolak belakang. Li Ing tak mau tahu. Menikah sendiri tanpa satu pun keluarga besar juga anaknya menghadiri.

Lee membuka lemari. Dia melihat tumpukan baju berantakan. Segepok uang dia pepetkan paling pojok. Uang titipan. Uang panas. Lee melihat dompet biru lusuh kecil, dengan resleting yang sudah jebol. Sebuah buntalan berwarna putih keras. Sebuah rajah yang dibebat pada kain hitam. Satu lagi buntelan lusuh diikat kuat. Lee yakin dalamnya sebuah batu.

"Larung saja, bawa sial. Kamu cari lagi, Lee. Ing memang sukanya aneh-aneh, aku yakin masih banyak yang belum dia sebutkan."

Lee menurut. Mamanya benar. Sejak kapan perempuan tua itu suka berburu dukun? Dulu tak begitu. Lee belum menemukan keris. Hanya dia kaget saat merogoh laci duit warung menemukan sebuah gaman, katanya wesi kuning. Kalau dikumpulkan jimatnya lebih dari sepuluh. Belum yang lain. Lee hanya bergumam lirih. Dia memang marah melihat Li Ing bermain setan. Tetapi, Lee tahu Li Ing melakukannya karena kepepet.

***

"Lan, dalam seminggu ini, sudah sepuluh kali orang datang menagih utang mamamu. Kalau uang warung yang tak seberapa itu kubayarkan, bisa habis modal. Kau kan banyak duit, bayar saja utang mamamu. Kasihan, warung tak seramai dulu."

"Kau pikir aku gudang duit! Itu urusan mama, bukan urusanku. Kau bicarakan saja dengannya nanti."

Lee mengurut kepala. Berdebat dengan Lani hanya akan membuat asam lambungnya naik. Belum lagi dia harus berhadapan dengan tukang kredit, yang selama ini hanya dia beri harapan palsu.

Perempuan tua itu sungguh membuat repot. Kecintaannya akan utang seperti sebuah hobi. Setiap ada tawaran dia sahut, perkara membayar selalu nanti-nanti.

Hidup memang tak mudah. Li Ing harus membesarkan usaha seorang diri. Dia tak pandai berspekulasi. Hanya pandai mencari dukun untuk melancarkan aksi mencari pinjaman. Suami Li Ing pengangguran sampai detik ajal menjemput, tak ada peninggalan yang bisa membuat lega. Rumah yang dijadikan warung ini pun jadi rumah sengketa. Semua Li Ing yang membangun, merenovasi. Semua barang-barang ini miliknya; duitnya, keringatnya, tetapi tetap saja dia dibenci dan ingin disingkirkan.

Lani lebih gila lagi. Dia gila duit. Baginya persaudaraan pun bisa dia beli. Tiap hari hanya cari duit. Dia lebih suka menumpuk duit, lalu mengipas-ngipas rekening tabungan, memotret sejumlah nominal angka, meng-upload sebagai status Whatsapp. Lani kikir; pelitnya luar biasa. Bahkan pada mamanya sendiri pun tega.

Lee terkejut mendengar tangis anaknya kesakitan. Dia berlari menuju kamar Li Ing. Anaknya itu terpeleset. Tanpa sengaja dia melihat ke dalam kolong. Sebuah guci kecil. Lee meraih hati-hati. Jimat lagi. Batu-batu akik berwarna; hijau, merah, hitam, putih, juga keris kecil berwarna kuning karatan. Lee bisa gila. Seluruh rumah ini isinya setan semua. Pantas saja, awal menginjakkan kaki di rumah ini anaknya selalu ketakutan.

Sudah satu kresek hitam. Kata-kata larung terus bergema. Dia akan membuang barang pembawa sial ini. Dia akan mencari sungai yang arusnya menyatu dengan laut, karena itulah syarat utama agar sial tak kembali lagi. Lee benar-benar tak habis pikir, berapa banyak utang yang ditanggung perempuan tua itu.

Kalau sudah begitu, Lee hanya bisa menggerutu. Kalau jimat-jimat ini seampuh kata-kata dukun, tentu saja para penagih itu tak serewel sekarang. Nyatanya utang tetaplah utang. Mereka tak akan jemu menagih.

Mana ada utang digratiskan. Setan pun ada perjanjiannya. Li Ing pasti sering lupa memberi sesajen atau sejenisnya, makanya jimatnya tak lagi ampuh. Dia memang suka lupa diri kalau sudah dapat hutangan.

***

"Memang berapa jumlah utangmu? Aku lelah tiap hari ditagih utang."

"Banyak Lee, kalau ditotal ada enam puluh juta," katanya santai tak berdosa.

Lee melotot. Lani memilih keluar ruangan. "Jangan utang lagi, pemasukan saja tak sampai jutaan tiap hari. Bagaimana harus membayarnya?"

"Kau sudah larung semua jimatku?"

"Belum sempat."

"Kalau kau kesal dengan mereka, di dalam lemari pakaian om kamu ada bungkusan kresek hitam. Pakai saja itu untuk membungkam mereka. Aku jamin kau tak akan kewalahan menghadapi para penagih utang itu."

Lee menatap dalam. "Apa?"

"Kacu manten. Di dalamnya ada dadu merah. Setiap kali penagih datang, kau masukkan dadu dalam kacu, kau ikat kuat-kuat, kau gembol saja, saat kau bicara mereka akan menurut," senyumnya polos.

Lee tak menanggapi. Perempuan tua itu benar-benar mengaduk emosi. Ada saat dia ingin tertawa, marah, kesal, sedih, menangis, lalu kembali lagi tak tega. Lee pamit pulang. Dia juga memasukkan kacu manten itu dalam daftar yang akan dia larung.

***

Badan Lee sakit semua. Sepanjang sore hingga malam hari dia beranikan diri mengobrak-abrik lemari pakaian milik suami Li Ing. Dia telusuri setiap pojok ruangan, laci, bahkan mungkin jika ada tempat rahasia. Lee berburu jimat. Dia sudah enek tiap hari harus menabur garam guna menetralisir energi negatif. Bayangkan saja, semua ruangan beraroma laut. Kemarin saja anaknya yang balita mengendus lantai, mengambil butiran garam sambil meringis menjilat-jilat.

Lee tak ingin menunda waktu. Sudah ada satu kresek hitam berisi jimat, dan satu bungkus lagi puluhan kacu manten. Dari mana Li Ing mendapat semua itu? Setahu Lee tak banyak orang menggunakan kacu sebagai suvenir pernikahan di zaman sekarang. Kecuali kematian.

Lee terkejut mendengar ribut-ribut. Hah! Penagih utang lagi. Kali ini ngotot, membuat mamanya kewalahan. Lee menghitung lembaran uang. Jelas saja tak cukup. Semua kebutuhan menipis. Kalau dibayarkan, Lee tak akan bisa belanja. Sungguh hatinya benar-benar kesal. Dia tak berutang, tetapi hidupnya serasa dikejar setan.

Entah kenapa, kedua matanya bertumpu pada kacu manten. Nuraninya mulai bertentangan. Lee kasihan, mamanya harus menghadapi kekasaran mereka. Tetapi, di satu sisi Lee tak mau bersekutu dengan mempercayai hal-hal begituan.

Lee melangkah keluar. Dengan lembut dia mengajak bicara. Menjelaskan bahwa Li Ing belum pulang. Lee tak mau berbohong. Dia berkisah tentang keadaan Li Ing sebenarnya. Ajaib. Lelaki berwajah sangar itu manggut-manggut memaklumi. Dia berpamit diri. Mamanya tak percaya. Minggu kemarin lelaki itu bahkan ribut dengan Lee.

Lee merogoh kantong daster. Sebuah buntalan kacu manten dia tunjuk kepada mamanya. Lee berubah pikiran. Khusus untuk kacu manten, dia akan larung setelah Li Ing pulang. Bagaimanapun dia harus punya jimat untuk mengusir para penagih hutang itu. Lee tersenyum membayangkan bagaimana wajah Li Ing jika mendengar ceritanya.

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com



(mmu/mmu)

Hide Ads