Among Tikus

Cerita Pendek

Among Tikus

Gansar Dewantara - detikHot
Minggu, 01 Des 2019 10:46 WIB
Ilustrasi : M Fakhry Arrizal/detikcom
Jakarta - Sosok itu perawakannya gede, tegap dan gelap, antara wujud dan bayangan.Tetapi jelas tertangkap kedua mataku, kepalanya lonjong, mukanya tirus serta cangkeme monyong. Belakangan aku menyebutnya "among tikus".

Tadi habis jamaah Isya aku sengaja ke sawah, seperti biasa, saban batang padi mulai menguning, aku berjalan memutar mengelilingi sawah sambil membaca aurad (bacaan wirid) yang diajarkan bapak, serta membawa tongkat cangkran untuk mengusir tikus-tikus dan juga berjaga jika ada ular. Saat langkah kakiku baru seperempat putaran dari luas sawah, aku dikejutkan dengan datangnya ribuan tikus yang merangsek - maju bagai serdadu Tartar yang menyerbu membasmi dengan kejam.

Namun, sesampai di pertigaan galengan gede antara sawahku, sawahnya Kaji Muji dan sawahnya Pak Kades, tikus-tikus itu berhenti. Sekejap kemudian, sosok itu seperti melayang, tepatnya sosok itu berjalan di atas rimbunan padi, lalu mengatur ribuan tikus untuk beraksi sesuai komandonya. Hanya hitungan menit, rimbunan padi di ketiga sawah tersebut runtuh semua, tanpa sisa satu pun yang masih tegak hidup. Sementara aku terpaku gemetaran ketika sosok among tikus itu tepat di hadapanku.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Cerita itu tertutur lesu dari suara resahnya Munir kepada istrinya saat malam merambat pada waktu dini hari. Munir juga menyampaikan kalau jaring-jaring yang membentang di ruas pinggiran sawah tak menjadi penghalang bagi tikus-tikus itu. Tikus-tikus tetap giras beraksi tanpa ampun.

"Kok Pakne tidak menusuk sosok Among tikus dengan tongkat cangkerang itu?" komentar istri Munir berebut dengan dentingan sendok pada cangkir.

"Menusuk udelmu itu! Aku sampai di rumah sudah untung."

"Kok begitu?"

"Iya, aku didekati sosok itu saja sudah lunglai."

Munir menerima suluran cangkir kopi panas dari istrinya.

"Sudah aku siapkan air rebusan pandan dan sedikit garam di ember gede. Pakne mandi dulu, biar fres dan tidak trauma."

Munir angkat kaki mengguyur sekujur tubuhnya dengan rata.

***

Sawah milik Munir berada di desa Wedung, desa kelahirannya, tepat berada di seberang kampungnya, hanya dibatasi sungai kecil.

Sawah-sawah di desa Wedung luasnya hampir sama dengan sawah-sawah di daerah yang berada di peta Pantura, bukan bentuk sawah undakan seperti yang berada di daerah pegunungan.

"Lantas apa rencana Pakne selanjutnya?"

"Aku segera menyampaikan peristiwa ini ke Pak Kades."

"Bukan itu maksudku, tapi bagaimana untuk mengganti kerugian total?"

"Hemmm...." mata Munir melirik sinis ke istrinya, embusan berat terdengar kuat dari napas Munir, "suami lagi kalut juga lemes orak ngayem-ngayemi, malah suruh mikir ganti rugi," sambung Munir ketus.

Tanpa sepatah kata, istri Munir ngeloyor kembali ke kamar, rebahan - siap menata mimpi di malam yang akan pergi.

Peristiwa ganjil dan perkataan istrinya membuat Munir tak bisa memejamkan mata, hingga pagi menjelang siang, waktu itu angin mendung semilir menerobos ventilasi rumah Munir, ia baru saja berpamitan kepada istrinya untuk bertemu pak Kades dan Kaji Muji, juga ke koperasi untuk kasbon bibit padi unggul.

Tapi nahas, di perempatan jalan kampung menuju balai desa ia sudah diteriaki kerumunan warga yang hendak kerumahnya.

"Perusaaaak!"

"Itu dia perusak sawah!" ada juga yang berteriak. "Hajaaaaar! Seret saja Pak!"

Munir celingukan tak paham saat beberapa orang meringkus tangannya. Berulang-ulang Munir menanyakan apa sebab diperlakukan seperti ini, apa kesalahan yang ia perbuat, tapi tetap saja Munir digelandang sampai ke balai desa - dihadapkan kepada pak Kades dan Tetua desa (Pemangku Adat dan Kiai Sepuh).

"Ini perusaknya Pak!"

Munir di-jongkong-kan (didorong ke depan) sampai kepalanya terbentur meja panjang di ruang pertemuan balai desa, "Dug."

"Heh! Apa salahku?" teriak Munir sambil mengelus-elus kepalanya, "Pak Kades, apa maksud semua ini?" sambungnya kesal.

Orang-orang itu langsung menyahutnya.

"Alaah, pura-pura bodoh!"

Munir bangkit melepas baju dan menjinjing sarung, melingkar seperti ikat pinggang, secepat kedipan mata tubuh sedang nan kekar itu menarik kerah kemeja salah satu orang yang asal koar tadi.

"Aku bisa memecah kepalamu dengan tangan kosong!" bentak 'segoro macan' Munir membuat gidik orang di hadapannya.

"Sudah...! Sudah diam semua!"

Lerai pak Kades dengan hentakan tangan menggedor meja.

"Saya yang menyuruh mereka untuk memanggil Kang Munir, hanya untuk memanggil, bukan menyeret? Sekali lagi saya tegaskan, saya memanggil Kang Munir untuk klarifikasi soal perusakan tanaman padi di sawah saya dan sawahnya Kang Kaji Muji, dan kata Lik Karjo, olah Kang Munir, benar begitu?"

Paparan dari pak Kades membuat merah muka Munir, apalagi pak Kades menyebut nama Karjo, orang yang memusuhi sejak kalah dalam pemilihan ketua kelompok petani.

"Jawab Munir, kok malah diam!" kejar Kaji Muji beringas.

"Tak bisa berkelitkan? Sudahlah ngaku saja!" susul celoteh Karjo.

Munir menahan amarah terhadap Karjo, menggemertak giginya, mengepal telapak tangannya, dada kekar milik Munir bergerak naik-turun. Kiai Sepuh tanggap, ia menghampiri Munir lalu mengajaknya duduk.

"Jawab apa adanya yang kau alami semalam," saran Kiai. Munir mengangguk sendiko dhawuh.

"Apa yang dituduhkan kepadaku tak ada bukti dan itu tak benar, Pak Kades!" tegas Munir.

Lelaki gempal, berambut keriting yang selalu bertopi laken ala koboi Texas itu akrab disapa Juragan Karjo, kukuh menolak jawaban dari Munir, Karjo bersumpah-sumpah melihat Munir menerjang, berjalan di area tanaman padi sawahnya Kaji Muji dan pak Kades.

"Apakah ada yang melihat selain sampean, Lik Karjo?" protes pak Kades.

"Emmm...ada, anu. Si...anu."

Karjo kelabakan, tangannya mencubit-cubit paha kawannya yang duduk di sisi kanan dan kiri. Namun tak satu pun kawan itu yang punya nyali tunjuk jari, mengakui melihat Munir yang merusak sawah-sawah, meski dusta.

Karjo makin geram, ia memang punya rasa iri hati terhadap Munir. Selain Alat bajak tradisionalnya nganggur, ia juga kalah dalam pemilihan ketua kelompok tani 'Unggul Sejahtera' desa. Apalagi sawah Munir kerap sukses panennya daripada sawah miliknya.

"Aku memang menerjang tanaman padi di sawahnya Pak Kades dan sawahnya Kang Kaji Muji, tetapi setelah ribuan tikus-tikus itu dengan rakus dan keji merusak batang-batang padi. Termasuk sawahku juga rusak. Sumpah, Pak!" tegas Munir kesekian kali.

"Nah! Ya toh Pak, dia yang mengobrak-abrik tanaman padi di sawahnya Bapak dan sawahnya Kang Kaji Muji!" sahut Karjo emosi.

"Sumpah, bukan aku! Aku masih normal waras, Pak!" intonasi suara Munir meninggi.

Tetua desa meminta Munir untuk menceritakan perihal ribuan tikus perusak. Akhirnya Munir pun mengisahkan peristiwa yang semalam ia alami dengan suara nge-bass khasnya. Namun, terlebih dahulu Munir mengungkapkan niat dirinya ingin menyampaikan hal tersebut kepada Pak Kades dan Kang Kaji Muji, serta ingin mendiskusikan. Apakah ada alat modern penangkal tikus-tikus perusak sawah? Tetapi nahas, di tengah jalan ia diperlakukan Karjo dan kawanannya seperti maling kelas teri yang ketangkap basah.

Anehnya, mereka semua yang ada di balai desa tak ada satu pun yang berkoar apalagi membantah setelah mendengar kronologi peristiwa dari Munir. Apalagi Pemangku adat dan Kiai Sepuh juga mensahihkan peristiwa itu, menurut kedua orang yang dituakan itu, waktu silam mereka juga pernah mengalami kejadian serupa.

"Saya percaya apa yang diungkapkan Kang Munir, dulu saya juga pernah mengalami peristiwa serupa, tikus-tikus itu datang adakalanya sebagai penyakit juga bisa didatangkan oleh seseorang yang mumpuni untuk merusak tanaman padi."

Suara wibawa dari Tetua adat menjadi maklumat kericuhan dan gugurnya dakwaan. Sebelum bubar, pak Kades meminta maaf kepada Munir. Sementara Karjo ngeloyor.

***

Tiga bulan berikutnya, tanaman padi di sawah milik Munir sudah warna kuning, dalam hitungan hari padi-padi itu siap dipanen. Munir mendapatkan cara jitu untuk mengatasi tikus-tikus perusak padi. Seharian Munir mencoba alat penangkal tikus dengan beberapa tikus yang ia dapatkan dari jebakan gede berbentuk kurungan yang ia pasangkan di berbagai sudut rumahnya, dan hasil alat penangkal tikus itu sungguh mengagumkan.

Kali ini pasti tikus-tikus itu takkan berani mendekat sawahku. Batin Munir setelah sukses uji alat penangkal tikus.

"Pakne yakin dengan cara demikian aman?" kritik istrinya ragu.

"Sangat yakin, dan sudah aku uji coba dengan beberapa tikus, ini lihat!" balas Munir sambil memperlihatkan hasil alat penangkal tikus jitu kepada istrinya.

Sementara istrinya berulang-ulang menarik napas khawatir, serta menyarankan kalau bisa jangan dengan cara seperti yang ia perlihatkan.

Usai jamaah Magrib, Munir berjalan ke sawah miliknya yang kebetulan sedikit tergenang air habis hujan tadi sore, ia sempat tertegun sebentar, bimbang, berpikir antara jadi dipasang alat penangkal tikus itu atau tidak. Akhirnya ia bergerak memutuskan untuk memasang alat penangkal tikus tersebut.

Pagi harinya penduduk desa Wedung gempar atas penemuan mayatnya Karjo yang gosong-kaku tergeletak di pinggiran sawahnya Munir. Tiga jam selanjutnya di kantor Polsek (Kepolisian Sektor) Munir mengaku telah memasang perangkap tikus dengan kawat kabel listrik bertegangan tinggi.

Demak, 16 November 2019

Gansar Dewantara alumnus Ponpes Raudlatus Salikin, Wedung, Demak; penggiat literasi pena santri Demak

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com


(mmu/mmu)

Hide Ads