Laki-Laki yang Mencari Ujung Dunia

Cerita Pendek

Laki-Laki yang Mencari Ujung Dunia

A.R. Rizal - detikHot
Minggu, 24 Nov 2019 11:45 WIB
Ilustrasi: Denny Pratama Putra/detikcom
Jakarta - Bagindo percaya bumi itu datar. Tak penting apa yang mempengaruhi Bagindo dengan kepercayaannya itu. Laki-laki yang memutuskan menganggur itu bertekad membuktikan keyakinannya. Ia hendak mencari ujung dunia.

Berjalanlah Bagindo ke arah matahari tenggelam. Ujung dunia pastilah di tempat matahari tenggelam. Benda bercahaya itu terperosok ke dalam lubang besar atau tergelincir di tebing tinggi. Kemudian memantul di sisi dunia yang lain. Jadilah pagi. Bagindo bisa saja berjalan ke matahari terbit. Namun, ia sudah membuat keputusan. Arahnya pasti.

Di tengah perjalanan, lelah kakinya. Laki-laki itu berhenti di sebuah kedai kopi. "Kopi hitam seteng," pesannya kepada pemilik kedai yang adalah seorang perempuan muda berkain sarung dengan pantat menyembul seperti puncak Merapi dan Singgalang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Lelah sekali ajo tampaknya. Habis berjalan jauh?" Perempuan pemilik kedai menyapa.

Bagindo terkejut. Bagaimana mungkin pemilik kedai itu tahu kalau ia orang Pariaman. "Aku berjalan dari rumah. Eh, bagaimana kau tahu kampung halamanku?"

Perempuan pemilik kedai tersenyum. "Ini Pariaman. Pariaman itu luas. Di sini setiap laki-laki dipanggil ajo."

Bagindo tahu apa yang dikatakan perempuan itu. Tak perlu ia menjelaskan lebih rinci. "Padahal, aku sudah berjalan lima hari lima malam." Bagindo mengeluh di hadapan perempuan pemilik kedai.

"Mau kubuatkan telor separoh masak? Itu mujarab mengembalikan tenaga. Kalau tenaga kembali, pikiran menjadi lurus. Tampak jelas jalan yang dipijak."

"Hah, bagus itu. Sekalian saja buatkan aku teh talua."

Bagindo melahap teh talua, kopi setengah, dan beberapa goreng ubi. Karena kekenyangan, kentutnya berlaput-laput. Bagindo bergegas meninggalkan kedai kopi. Ia hendak melanjutkan perjalanan.

"Sudah saja? Kemana sanak ini terburu-buru?" Seorang laki-laki tanggung yang duduk menyerumput kopi jantan menyapa Bagindo.

"Aku mencari ujung dunia." Bagindo menjawab spontan.

Laki-laki tanggung menatap bingung. Ia melihat ke arah perempuan pemilik kedai. Dua manusia berlainan jenis itu saling bertatapan. "Hei, jangan menatapku seperti itu. Nanti orang-orang tahu belangmu." Perempuan pemilik kedai menampik tatapan laki-laki tanggung.

"Orang aneh, ujung dunia yang dicarinya." Laki-laki tanggung geleng-geleng kepala. "Satu lagi korban cebong dan kampret."

"Hus! Jangan pernah menyebut kata-kata itu." Perempuan pemilik kedai membelalakkan mata.

Laki-laki tanggung tersorong lidah. Ia buru-buru menarik ucapan. Mulutnya disembunyikan di bawah kaki meja.

***

Sampailah Bagindo di sebuah parak kerambil. Sejumlah laki-laki sedang memanen kelapa. Kelapa dikumpulkan di sebuah pondok beratap rumbia. Sebelum dibawa ke kota, kepala-kelapa tua di-sulo agar nilai jualnya bertambah.

"Boleh aku mengunjurkan kaki barang sebentar di pondok ini?" Bagindo berbasa-basi kepada laki-laki di pondok rumbia.

"Silakan. Sanak bisa mengunjur di mana saja. Rebahan pun boleh." Seorang laki-laki yang menjulurkan bulu-bulu lebat di dadanya membalas basa-basi Bagindo.

Bagindo duduk di dekat tiang. Ia bersandar di tiang itu. Sambil mengipas-ngipaskan sebelah tangannya ke wajah, Bagindo memperhatikan sekelilingnya. "Banyak sekali kelapa yang kalian turunkan." Bagindo melihat tumpukan kelapa menggunung di sebelah pondok rumbia.

"Ini kelapa orang. Kami hanya tukang yang diupah." Laki-laki berbulu lebat di dada membalas perkataan Bagindo.

"Upah yang kalian dapat tentu tak sedikit. Sama saja. Kalian seberuntung pemilik kebun kelapa ini."

Laki-laki berbulu lebat di dada tersenyum sumringah. Ia senang dengan pujian Bagindo. "Sanak pasti haus. Tak keberatan kan dengan air kelapa muda?"

Bagindo mengangguk. "Itu nikmat sekali. Menyegarkan."

Laki-laki berbulu lebat di dada bangkit dari tempatnya duduk. "Hoi, Kutar! Suruh berukmu menurunkan beberapa buah kelap muda." Laki-laki berbulu lebat di dada memberi perintah kepada laki-laki yang lebih muda.

Laki-laki muda mengentakkan tali yang menjulur di batang kelapa. Brum, brum, brum! Sebentar kemudian terdengar buah kelapa berjatuhan. Dari suaranya, jelaslah itu kelapa muda. Beruk punya laki-laki muda sudah terlatih membedakan kelapa. Mana kelapa tua, muda, mana mumbang, beruk itu tahu betul.

Laki-laki berbulu lebat di dada memotong ujung buah kelapa dengan parang tajam. Bagindo meminum air kelapa muda itu dengan lahap. Satu buah, dua buah, Bagindo tak bisa berhenti melahap kelapa muda itu. Entah berapa kelapa muda dilahapnya, Bagindo tak tahu persis. Perut terisi membuat matanya berat. Laki-laki itu terlelap di pondok rumbia.

"Kurang ajar! Tukang sulo itu meninggalkanku begitu saja." Bagindo mengumpat dalam hati. Ia menyalahkan laki-laki berbulu lebat di dada. Kesalahannya menyuguhkan kelapa muda. Hal itu membuat Bagindo terlena. Perjalannya mencari ujung dunia menjadi terhambat.

Di masa Gunung Merapi sebesar telur itik, raja-raja yang mencari daerah kuasa baru berhenti di tepi hutan. Seorang prajurit memetikkan kelapa muda yang didapatnya dari hutan. Begitu nikmat air kelapa muda. Raja-raja sampai terlena. Hati mereka akhirnya terpaut pada semak-semak di tepi hutan. Semak dibabat, dijadikan taratak.

Lama-kelamaan, taratak menjadi jorong, jorong menjadi kampung, kampung menjadi nagari dan koto. Bagindo tak ingin tertambat di kebun kelapa. Ada perjalanan panjang tak berujung yang harus ditempuhnya.

***

Bagindo meninggalkan kebun kelapa. Ia mengambil jalan menurun. Di ujung jalan tampak hamparan sawah. Bagindo berjumpa dengan dua laki-laki yang sedang membersihkan tali bandar.

"Benarkah jalan ini menuju ke bukit itu?" Bagindo bertanya sambil menunjuk ke arah langit.

Kedua laki-laki di tepi bandar mengangguk. "Sanak hendak ke bukit itu?" Laki-laki yang lebih berumur balik bertanya.

"Tak ada jalan di bukit itu." Laki-laki seorang lagi menampik pertanyaan laki-laki berumur.

"Tidak. Bukit itu bukan tujuanku. Aku hanya lewat."

"Tak bisa lewat di sana." Laki-laki yang seorang mengulangi kata-kata yang tersimpan di benaknya.

"Hendak ke mana sanak sebenarnya?" Laki-laki berumur kembali bertanya.

"Aku hendak ke ujung dunia."

Laki-laki seorang tertawa dalam hati. "Tak ada yang namanya ujung dunia."

Bagindo menatap dengan mata memerah. Ia marah besar. "Aku yakin ada ujung dunia. Seperti kehidupan, ada akhirnya."

"Itu keyakinan yang gila." Laki-laki seorang tak berhenti tertawa dalam hati.

Bagindo membuang muka. Ia bergegas berjalan. Meninggalkan dua laki-laki di tepi bandar begitu saja.

"Tak perlu kau menertawakan keyakinan orang. Kau bertanam padi karena yakin mendapatkan hasilnya. Kau punya keyakinan sendiri. Urus saja keyakinanmu itu." Laki-laki berumur tampak kesal dengan laki-laki di sebelahnya.

***

Seorang bocah laki-laki berlarian di atas pematang dengan napas terengah-engah. "Ada orang jatuh, ada orang jatuh!" Bocah itu berteriak kepada dua laki-laki di tepi bandar.

"Siapa yang jatuh? Di mana dia terjatuh?" Laki-laki berumur bertanya kepada bocah laki-laki.

"Tidak tahu." Bocah laki-laki memperbaiki tarikan napasnya. "Seorang laki-laki dewasa. Ia terjatuh di tebing bukit."

"Pasti wassalam itu." Laki-laki di sebelah laki-laki berumur berguman dalam hati. Gumamannya terdengar jelas.

"Tak perlu sinis dengan kematian orang. Kau seperti takkan mati saja." Laki-laki berumur membalas gumaman laki-laki di sebelahnya.

"Mati karena keyakinan yang bodoh itu adalah kebodohan besar."

Laki-laki berumur menyunggingkan senyuman nyinyir ke arah laki-laki di sebelahnya. "Kalau kau mati, orang-orang takkan peduli lagi dengan keyakinan dan kebodohanmu."

Laki-laki berumur keluar dari tali bandar. Ia menyambar tangan bocah laki-laki. Bocah itu dibawa ke tebing bukit. Laki-laki berumur yakin, yang mati terjatuh di tebing bukit adalah laki-laki yang tadi bertanya kepadanya. Ia akan membuktikan keyakinannya itu.

Padang, November 2019

A.R. Rizal lahir di Padang, Sumatera Barat. Novel-novelnya yang sudah terbit berjudul Marasi, Perempuan Batih, dan Nilam: Jodoh yang Dijemput

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com



(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads