Tidak seperti minggu pertama yang keberadaannya di pantai dianggap ganjil oleh orang-orang, kini keberadaan Nur sama halnya dengan senja yang selalu turun sore hari. Begitu lumrah. Kini tak ada lagi lontaran pertanyaan kepada dirinya kecuali hanya sekadar sapaan belaka.
Tapi diam-diam, beberapa orang mulai menganggapnya perempuan sinting.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Empat bulan yang lalu, kala fajar bersemayam di lembaran langit, Parmin berangkat berlayar sendirian tanpa ditemani kawannya, Narto. Biasanya Parmin selalu mengajak Narto ketika hendak melaut, karena dia butuh bantuan untuk menarik kembali pukat yang telah dibentangkannya sore kemarin. Nur, istrinya, mengantarnya ke pesisir dengan membawakan bekal nasi dan ikan asin yang disusun rapi di dalam rantang. Sebelum Parmin melarungkan diri bersama kapal, Nur mencium tangan suaminya sembari merapal doa. Karena seperti nasib, laut tak bisa ditebak baik-buruknya.
Sore hari Nur sudah menunggu Parmin di bibir pantai. Burung-burung camar berterbangan meliuk-liuk di atas ombak mencari ikan-ikan kecil. Sesekali mereka menukik ke dalam air kemudian kembali terbang dengan ikan terjepit di antara paruh mereka. Perahu-perahu nelayan mulai mendekati pantai. Beberapa sudah ada yang bersandar terpasang jangkar. Namun, sampai langit merah disapu kegelapan, perahu Parmin tak kunjung menepi. Nur gelisah. Ia kemudian bertanya kepada beberapa nelayan, apakah melihat Parmin atau tidak. Tapi mereka semua menggeleng kepala.
Seorang nelayan bercerita kepada Nur kalau di tengah laut lepas tadi tiba-tiba terjadi cuaca buruk. Langit gelap. Ombak yang tadinya hanya beriak tiba-tiba mengganas. Sebelum terjadi badai, para nelayan merapat ke Pulau Gerumbul, sebuah pulau kecil yang biasa digunakan nelayan untuk beristirahat atau sandaran darurat ketika cuaca buruk.
Seorang nelayan yang baru saja menyandarkan kapal di tepian berkata kalau saat cuaca buruk itu Parmin masih menarik pukatnya dari laut. Saat diajak untuk merapat ke Pulau Gerumbul, Parmin menyuruh nelayan itu duluan.
"Saat itu aku melihat Parmin masih menarik pukatnya. Ketika kuajak untuk merapat malah dia menyuruhku duluan. Aku kira sebentar lagi pukatnya selesai dan segera menyusul. Tapi di gerumbul aku tidak melihatnya sama sekali."
Nur semakin cemas. Pikirannya mulai kacau membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi kepada suaminya.
Ketika adzan maghrib berkumandang dari surau, Nur akhirnya memutuskan untuk pulang dan menunggu Parmin di rumah. Namun, hingga malam semakin jelaga dan berganti fajar, suaminya itu tak kunjung tiba juga. Sorenya, Nur menunggu lagi di bibir pantai, tapi Parmin dan perahunya tetap tidak bersandar. Dan begitu seterusnya. Nur tetap bertahan menunggu suaminya. Namun, yang ia dapati hanyalah burung-burung camar yang kelaparan dan senja yang dilahap mimpi.
***
"Untuk apa kau tiap sore menunggu suamimu itu, Nur? Apa kau tidak dengar kabar kalau orang-orang mulai menganggapmu gila? Sadarlah! Parmin sudah mati dimakan laut. Lagi pula usiamu masih muda. Wajahmu masih cantik. Lebih baik segera kau menikah lagi dan beri aku cucu. Kemarin Pak Tolib menemuiku hendak meminangmu."
Karena Parmin tak kunjung pulang, ibu Nur membujuknya untuk menikah lagi. Perempuan tua itu ingin Nur menikah dengan Pak Tolib, seorang saudagar beristri tiga dan punya banyak kapal.
"Aku akan tetap menunggu Kang Parmin. Aku yakin dia akan pulang."
"Sampai kapan kau akan menunggu? Sampai kamu jadi janda tua?! Sadar, Nur! Sampai air laut menjadi tawar, Parmin tidak akan pulang. Dia sudah mati. Lebih baik kau terima tawaran Pak Tolib. Dia kaya. Hidupmu akan kecukupan. Kau akan jadi nyonya besar di rumahnya."
"Aku tidak akan murtad dari cinta Kang Parmin, Mak."
"Cinta!" Ibu Nur mendengus. "Jangan percaya dengan cinta, Nur! Aku dan bapakmu dulu hanya dijodohkan oleh orang tua masing-masing, tapi nyatanya sampai tua kita senang-senang saja menikah. Sampai bapakmu meninggal," wanita tua itu mulai meninggi suaranya.
"Aku akan tetap menunggu Kang Parmin dan tidak akan menikah dengan lelaki tua yang suka mengoleksi istri itu!" Nur menolak mentah-mentah permintaan ibunya.
"Ah, sudahlah! Terserah kau saja. Jangan menyesal jika hidupmu tak keruan nanti!"
Tiap malam, Nur selalu meratap di tempat tidurnya yang lusuh. Ia merindukan tangan Parmin. Tangan yang dulu selalu merengkuh tubuhnya dan mengusir gigil yang bersemayam di kulitnya. Semakin membayangkan dekapan Parmin, Nur semakin tersiksa. Beberapa kali ia hanya bisa mengeluarkan desahan panjang.
***
Pertama kali bertemu dengan Parmin, Nur dan ibunya sedang membantu mengangkat jerigen-jerigen berisi ikan dari perahu bapaknya. Saat itu ia melihat pemuda yang asing di matanya sedang menyandarkan perahu. Pemuda itu berkulit coklat. Wajahnya cukup tampan dengan kumis tipis di bawah hidungnya. Rambutnya ikal. Badannya cukup kekar. Otot tangannya mengejang saat mengangkat jerigen-jerigen ikan dari badan perahu. Dari bapaknya, Nur tahu nama pemuda itu Parmin. Dari bapaknya pula Nur tahu kalau Parmin anak buah baru Pak Samijan, seorang bos kapal saingan Pak Tolib.
Karena sering bertemu, Nur dan Parmin menjadi akrab. Dan di suatu sore, ketika para nelayan sudah selesai mengemasi ikan-ikannya dari perahu, Parmin mengajak Nur duduk di perahu milik juragannya. Di sana, dengan sebuah batu karang yang berwarna-warni yang ia temukan saat menyelam di laut, Parmin meminang Nur.
Ibu Nur terang-terangan menolak saat Parmin mengutarakan pinangannya di rumah Nur. Perempuan tua itu tidak ingin anaknya menikah dengan lelaki yang pekerjaannya hanya anak buah kapal. Maklum, Nur memiliki paras lumayan. Dan bagi para orangtua di pesisir desa itu, anak perempuan yang rupawan adalah barang dagangan yang bagus. Hanya para juragan yang boleh meminang mereka meski dijadikan istri madu. Meski begitu, pernikahan itu akhirnya berjalan juga karena Nur mengancam rela menjadi perawan tua jika tidak menikah dengan Parmin.
***
Suatu sore sepulang dari panti, Nur sadar bahwa menunggu Parmin berarti menunggu ketidakpastian. Ia akhirnya menyerah kepada dirinya sendiri. Perempuan memang butuh pengayom. Ia butuh lelaki yang memberikan sandang, pangan, dan papan. Ia juga butuh lelaki yang selalu ada di samping tidurnya untuk memenuhi gairah batinnya. Kini ia menerima kenyataan bahwa Parmin sudah lebur bersama garam di lautan. Dengan memikirkan keadaan ibunya yang sudah sangat tua dan keadaan ekonomi keluarganya --upah sebagai pemilah dan penjemur ikan asin tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga-- Nur akhirnya menelan kata-katanya sendiri dan menerima tawaran dari Pak Tolib.
Ibu Nur kegirangan saat mendengar anak satu-satunya itu menerima pinangan Pak Tolib.
"Sudahlah, Nur. Parmin sudah bahagia bersama penghuni lautan. Ikhlaskan dan doakan agar ia tenang di alam barunya. Menikah dengan Pak Tolib akan membuat hidupmu kecukupan. Kau lihat ketiga istri Pak Tolib kan? Mereka sejahtera hidupnya setelah dibawa ke rumah gedong itu. Kau akan bahagia seperti mereka. Tidak perlu bekerja memilah ikan atau menjemur ikan asin lagi. Kau cukup diam saja di rumah. Berdandan dan melayani Pak Tolib. Dan hidup ibu pun akan enak juga."
"Jika dia ingin menikahiku, tunggulah tujuh hari lagi hingga selesai masa iddah-ku. Karena Kang Parmin sudah meninggal, maka aku harus menunggu empat bulan sepuluh hari lagi untuk menikah dengan laki-laki lain."
"Baiklah, akan kusampaikan kesediaanmu kepada Pak Tolib. Tentu dia akan senang mendengar kabar ini."
Nur menggigit kuat bibirnya. Tangannya kuat meremas tapis yang ia kenakan. Lalu air matanya membuncah.
Delapan belas hari setelah Nur mengatakan kebersediaannya menikah --sudah sempurna masa iddah Nur, empat bulan sepuluh hari-- upacara perkawinan Nur dan Pak Tolib pun dihelat. Acara perkawinan itu diadakan pada malam hari dan dihadiri seluruh warga desa di pesisir pantai. Joged, seni tari khas pesisir, dihadirkan untuk memeriahkan resminya Nur menjadi istri keempat Pak Tolib. Suara gamelan memenuhi rumah gedong juragan kapal itu. Terkadang samar-samar suaranya sampai ke telinga laut, beradu dengan debur ombak dan gemuruh angin pantai.
Malam itu, ketika semua orang sedang bersuka-cita menikmati jamuan Pak Tolib, sebuah perahu dengan lampu menggantung di tiang pancang bersandar di bibir pantai. Dari badan perahu seorang lelaki keluar dan dengan susah payah berjalan melawan riuh gulung ombak. Di punggungnya semampai pukat yang sudah tak keruan bentuknya. Lelaki berambut ikal dan memiliki kumis tipis melintang di bawah hidung itu berjalan menjauhi pantai. Ia berhenti ketika lamat-lamat telinganya menangkap bunyi gamelan. Sejenak kemudian ia kembali melangkah. Ia terus berjalan menapaki jalanan berpasir hingga tubuhnya lenyap di sebuah tikungan.
Tidak salah lagi, itu adalah Parmin.
Rosyid H. Dimas mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, lahir di Rembang pada Juli 1996. Pada 2018 terpilih sebagai salah satu penulis emerging Ubud Writers and Readers Festival. Buku perdananya berjudul Menanam Warisan (CommaBooks KPG, 2019)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)