Aku hanya berpikir, seperti apakah kiranya perkawinan dalam pikiran ayah? Apakah perkawinan itu seperti sebuah perjalanan yang jika telah dianggap usai dapat melanjutkan pada perjalanan yang baru?
Terpaksa aku akan bercerita padamu tentang perkawinan-perkawinan ayah. Sepanjang hidupku ini, telah enam kali ayah menikah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan lahirlah aku, anak pertama mereka. Perkawinan mereka bertambah bungah dengan hadirku, anak perempuan mereka.
Aku mirip ibu; cantik dan langsat. Dengan tahi lalat khas di pipi kiri. Sebenarnya ayah bukan laki-laki yang tampan kalau dari raut wajah. Tapi ayah memiliki tubuh yang tinggi dan tegap. Seperti menjanjikan kehangatan dalam peluknya. Mungkin itu yang membuat beberapa perempuan menyenangi ayah.
Ayah bukanlah laki-laki playboy atau peserong. Selama menjadi suami ibuku, ayah tidak pernah satu kali pun terlibat permainan dengan perempuan mana pun. Ayah bersetia pada ibu. justru ibulah yang bosan pada ayah.
"Ayahmu itu tidak pernah serius mengerjakan sesuatu, kalau ia suka seni, kenapa tidak ditekuni dengan serius sehingga bisa profesional? Jika ayahmu berkarya dengan sungguh-sungguh, dengan sendirinya ayahmu akan mendapat pengakuan bahwa ia memang seniman, bukan laki-laki kaya yang tidak tahu menghargai waktunya."
Itu pertama kali kudengar ibu membicarakan kekurangan ayah.
Keluarga kami memang keluarga kaya. Perusahaan rokok yang dimiliki kakek, orangtua ayah, tidak perlu dikhawatirkan sebagai sumber rezeki yang terus mengalirkan uang. Tapi sebagai putra kedua kakek, mungkin ayah yang paling tidak berbakat mengurus perusahaan tersebut. Karena itulah ayah tidak pernah dipasrahi urusan perusahaan. Sebab, selain urusan tidak akan selesai dengan tuntas dan beres, kakek memang sudah paham bahwa putera keduanya berjiwa bebas dan tidak bisa diatur oleh siapapun kecuali oleh dirinya sendiri.
Pada mulanya ibu tak keberatan dengan keadaan itu. Toh belanja tak pernah kurang. Ibu bisa membeli apapun yang dibutuhkan dan diinginkan. Tapi kemudian ibu yang risau dengan sikap ayah yang menurut bahasa ibu, ayah tidak memiliki orientasi yang jelas dalam hidup. Dan ibu mencemaskan aku, masa depanku nanti akan seperti apa jika sudah tidak ada kakek dan perusahaan tidak lagi menjadi sumber mata air kehidupan keluarga.
Ibu bertemu dengan laki-laki itu. Dan aku tidak ingin menceritakan bagaimana ibu bertengkar dengan ayah tentang laki-laki itu. Laki-laki yang menurut ibu tidak sekaya ayah, tapi memiliki visi yang jelas dalam hidup. Laki-laki yang merintis perusahaan dari nol dan sekalipun perusahaan rental mobil itu kini sudah mapan, laki-laki itu tetap tidak berpangku tangan menunggu hasil pekerjaan anak buahnya.
Kemudian ibu meminta cerai pada ayah. Dan menikah dengan laki-laki itu. Mereka tinggal di kota yang berbeda dengan kami. Aku memilih ikut ayah karena tidak yakin untuk hidup bersama orang asing yang tak kukenal, ayah tiriku.
Ayah menduda hingga aku kelas dua SMP. Tanpa merasa perlu bertanya pendapatku, ayah menikahi seorang perempuan muda yang lebih muda dari ibuku. Aku punya ibu tiri yang teramat muda. Perempuan manja yang tahunya hanya berbelanja, bersenang-senang menikmati fasilitas, bepergian ke tempat-tempat yang disenangi, dan sama sekali tidak ada kesan bahwa dia adalah seorang ibu dari seorang remaja putri.
Kami tak cocok. Ayah menyalahkan aku yang tak pandai bersikap pada ibu tiriku. Ibu tiriku tidak jahat, tidak pernah menjejaliku dengan nasi basi atau menyekapku dalam gudang jika ayah pergi. Tapi jahat tidak harus melakukan kekasaran-kekasaran. Menurutku, alangkah jahatnya seorang perempuan yang telah memiliki predikat ibu, tapi sedikit pun tidak memiliki perhatian dan minat untuk mengurus anaknya. Sekalipun hanya anak tiri. Bukankah ia telah tahu sejak awal bahwa laki-laki yang akan menikahinya adalah seorang duda cerai dengan puteri beranjak remaja?
Itulah yang juga tidak ayah pahami. Pokoknya aku harus hormat pada ibu tiriku dan ayah tidak pernah mempertanyakan mengapa istrinya yang muda itu tidak pernah berniat belajar menjadi ibu yang baik.
Kemudian ibu tiriku hamil. Nenek bersuka cita karena akan segera memiliki cucu baru. Deretan penerus akan bertambah. Banyak cucu banyak rezeki. Mungkin begitu pikiran nenek. Aku tidak tahu bagaimana akan bersikap pada calon adikku.
Sementara ayah masih senang menikmati kebebasannya sebagai seniman yang tak memiliki karya. Jika malam hari, ayah berada di tengah-tengah pergaulannya sesama seniman. Bermain musik, kumpul-kumpul menyesap kopi berlarut-larut hingga larut malam, dan pulang ke rumah tanpa mengetahui apa saja yang telah berlangsung di rumah sepanjang waktu.
Ibu tiriku melahirkan dua bayi laki-laki. Kembar. Semuanya persis ayah. Mata yang besar, hidung yang tinggi dan rambut lebat. Nenek semakin menyukai ibu tiriku karena telah mempersembahkan dua generasi unik. Si kembar Gun dan Gin.
Tak lama, saat si kembar berusia dua tahun setengah, ayah bercerai dengan ibu tiriku. Dan mereka berbagi anak, kedua adikku dipisahkan. Gun ikut ibunya dan Gin ikut ayah.
Aku tidak tahu pasti apa yang menyebabkan ayah bercerai untuk kedua kali. Tapi menurut ayah, ibu Gin tidak dewasa. Menurutku, ayah memang tidak pandai memilih istri. Tidak memiliki rasa pertimbangan dalam memilih. Seharusnya laki-laki yang telah pernah gagal dalam pernikahannya dan memiliki seorang anak warisan dari pernikahannya terdahulu, ia berpikir bahwa pernikahan berikutnya bukan untuk memperjuangkan kebahagiaannya sendiri, melainkan untuk memperjuangkan kebahagiaan anaknya. Tapi ayah memang tidak jelas orientasinya dalam melakukan sesuatu, seperti yang dikatakan ibuku dahulu.
Ayah menikah lagi. Istri ketiganya adalah seorang pelukis. Nenek sempat menentangnya. Menurut nenek, perempuan seniman itu lebih buruk dari pada laki-laki seniman. Aku sempat tertawa mendengar alasan nenek yang tidak masuk akal dan hanya berdasarkan ketidaksenangan saja pada menantu barunya.
Ibu tiri keduaku perempuan cantik yang pandai bergaul. Sejak awal aku menyukainya karena ia bersikap seperti teman padaku, anak tirinya yang sudah remaja. Ia tak pernah mengaturku, tapi penuh perhatian padaku. Kadang kami belanja berdua, atau janjian ketemu di suatu kafe untuk mengobrol santai. Meski aku belum menemukan sosok ibu yang kucari dalam dirinya, aku menemukan sahabat yang amat dewasa. Ia suka sekali bercerita pengalaman-pengalamannya semasa remaja.
Ia belum pernah menikah. Ia menerima ajakan ayah untuk menikah karena ia tidak punya alasan untuk menolak dan sudah capek mengejar cinta, itu bahasanya. Aku tertawa mendengar alasannya menerima ayah.
"Ayahmu datang saat aku sudah capek memilih yang cocok dan tepat menurut hatiku. Selalu saja aku mencari kekurangan seseorang yang datang. Dan ketika aku bertemu ayahmu, aku sudah capek untuk mencari kekurangan itu. Begitulah, kami menikah. Sekalipun banyak yang menentangku karena pilihanku jatuh pada duda cerai dua kali yang punya dua anak."
Ia menceritakan itu dengan ringan seperti sedang menceritakan orang lain yang bukan dirinya.
Sebenarnya aku cukup menyukai ibu tiriku yang satu ini. Selain suka melukis, ia juga suka seni peran. Beberapa kali aku diajaknya ke tempatnya kumpul dengan kelompok teaternya, perempuan semua. Hebat menurutku, perempuan-perempuan yang sudah sibuk dengan rumah tangga masih kompak berkumpul untuk suatu hobi kesenian yang jarang diminati orang karena tidak mendatangkan keuntungan ekonomi.
Tapi ayah ternyata tidak bertahan lama dengan ibu tiriku yang ini. Mereka bercerai di tahun ketiga perkawinan. Saat aku sudah lulus SMA dan sudah cukup cerdas untuk mengenali cinta.
Sekalipun bercerai, uniknya, ayah masih sering kontak dengan mantan istrinya ini. Aku juga demikian. Kami kadang masih janjian bertemu sekedar melepas cerita ringan dan makan bersama. Ayah memang bercerai dalam keadaan tanpa pertengkaran. Menurut ayah, ibu tiriku itu ingin kembali meraih kebebasannya sebagai seseorang. Kembali melajang dalam status janda.
Saat aku kuliah tingkat dua, ayah menikah lagi, untuk keempat kali. Bagiku sudah seperti sebuah kebiasaan berkala. Aku sudah tidak merasa perlu berpikir ruwet mengapa ayah terus bercerai dan terus menikah lagi. Bukan karena aku menyerah pada garis nasib, akan tetapi hidupku sendiri sebagai manusia muda sudah mulai bersentuhan dengan ruang lingkup emosi bernama asmara.
Mungkin ayah tak merasa risau melihat aku dan Gin tumbuh dalam pengasuhan yang kompleks. Sepanjang hidupku telah ada empat ibu, dan sepanjang hidup Gin sudah ada tiga ibu. Kami memang tidak menjadi anak yang terlantar dan liar dalam berperilaku, atau menjadi anak yang kurang kasih sayang maupun perhatian.
Di antara perkawinan-perkawinan ayah yang mirip episode sinema, kami memiliki nenek yang penyayang dan seorang bibi, kakak ayah yang memperlakukan kami seperti anak sendiri. Karena bibi Ruth memang tak memiliki keturunan serta telah menjanda sejak aku masih SMP. Rasanya seluruh perhatian bibi Ruth dicurahkan pada pengasuhan kami yang menurut istilah bibi bahwa kami adalah dua anak malang yang memiliki ayah seperti itu.
Aku curiga, bahwa bibi tidak berminat menikah lagi karena melihat fakta perkawinan-perkawinan ayah yang membuatnya berganti-ganti ipar. Bibi hanya mengingatkan agar ayah menunda punya anak jika menikah lagi sehingga tidak selalu ada 'peninggalan' yang harus diurus dari perkawinannya. Menanggapi ini, ayah berkata,
"Siapa yang bisa menebak kalau perkawinanku tidak akan bertahan lama?"
Bibi dengan ringan mencetuskan, "Kamu ini bahkan tidak bisa mereka-reka diri sendiri. Padahal orang lain dengan mudah bisa menebak bahwa perkawinanmu hanya akan seumur jagung. Betapa payahnya kamu."
Ayah tak menyahuti bibi. Aku yakin bukan karena ayah kalah bicara dengan bibi, melainkan karena ayah mengingat betapa besar hal yang telah dilakukan bibi padaku dan Gin yang seharusnya menjadi tanggung jawab ayah, sehingga menjadi 'anak yang baik' menurut istilah nenek, sekalipun kami adalah anak korban perceraian berkali-kali.
Kemudian ayah menikah lagi. Istri kelimanya adalah janda yang memiliki anak. Tentu saja nenek memprotes.
"Bagaimana kamu akan bisa jadi ayah yang baik buat anak tirimu itu jika perhatianmu pada anak-anak kandungmu saja payah?" Rupanya nenek telah mengadopsi kata 'payah' dari bibi.
"Setidaknya aku meringankan beban istriku itu dalam menghidupi anaknya. Dia tak usah lagi bekerja. Aku hanya bermaksud menolong."
"Menolong dengan menikahi? Kamu seperti laki-laki kebanyakan yang berpoligami dengan menikahi janda-janda cantik dengan alasan menolong. Kenapa tidak menolong janda-janda tua saja kalau memang moralis?"
Nenek marah dan tidak pernah menegur sapa menantunya itu, yang menurut nenek hanya memanfaatkan 'kepolosan' ayah.
Nenek menggerutu, bagaimana ayah dapat berpikir asimetris begitu? Menolong kehidupan anak orang lain sementara anak-anak kandungnya sendiri sangat membutuhkan 'pertolongan' yang tak mampu ia ulurkan?
Seperti dugaan bibi Ruth dan semua anggota keluarga, perkawinan kelima ayah tak bertahan lama. Aku bahkan tak sempat kenal baik dengan putera ibu tiriku itu. Kami hanya beberapa kali bertemu dalam perjamuan makan keluarga dan tidak banyak kata yang bergulir di meja makan.
Kemudian ada perkawinan keenam. Seorang wanita karier yang melajang hingga usia 37 tahun. Secara ekonomi, ibu tiriku kali ini tidak akan memanfaatkan 'kepolosan' ayah. Ia cukup kaya untuk ukuran lajang. Memiliki pekerjaan sebagai jurnalis media cetak.
Perkawinan keenam ayah berlangsung cukup lama, melampaui perkiraan bibi Ruth dan nenek yang menargetkan masa tenggang perkawinan ayah tak akan lebih dari tiga tahun seperti yang sudah terjadi sebelumnya.
Kali ini ayah bertahan bahkan hingga tahun kelima. Ibu tiriku kali ini sepertinya termasuk wanita yang pandai mengawetkan kemesraan. Ayah senang pergi berdua dengan ibu. Tetapi tak jarang pula mengajakku dan Gin. Melihat pameran lukisan, hunting buku di book fair, melihat parade peragaan busana, mengajakku ke seminar-seminar tentang perempuan, atau sekedar makan malam berempat.
Tetapi kemudian ayah tetap saja bercerai dengan istri keenamnya. Dan alasan apapun menjadi tidak lagi penting untuk dibahas. Intinya, ayah tak dapat memelihara sebuah perkawinan untuk jangka waktu lama.
"Ayah akan menikah lagi," tiba-tiba sore ini ayah bertutur padaku.
Sebenarnya ingin sekali kukatakan, apapun yang akan ayah lakukan, silahkan lakukan saja. Tapi betapa kasarnya aku, kupikir-pikir. Aku justru mencetuskan hal lain.
"Tidak inginkah ayah melihat aku atau Gin menikah?"
Ayah tampak kaget. Seolah baru menyadari bahwa anak sulungnya sudah menjadi perempuan dewasa dan anak keduanya menjadi laki-laki muda.
"Benar kamu akan menikah? Dan Gin juga?"
Aku tak menggubris pertanyaan ayah. "Bukankah ayah selama ini selalu menikah? Mengapa kali ini ayah merasa perlu mengatakan padaku tentang rencana pernikahan ayah berikutnya? Bukankah tidak pernah penting pendapat anak-anak ayah tentang pernikahan ayah?"
"Tapi perempuan yang ayah pilih kali ini, mmm....menurut ayah, ayah butuh pendapatmu."
Aku mengerling. Ini sungguh tak biasa.
"Untuk apa? Toh ayah sudah sangat berpengalaman memilih," tepatnya, berganti-ganti istri, koreksiku dalam hati.
"Karena ayah akan menikah kembali dengan ibumu, ibu kandungmu."
Kini aku yang ternganga.
Betapa uniknya ayahku ini. Akan menikah kembali dengan ibu kandungku setelah beberapa kali berganti figur? Akan seperti apakah perkawinan mereka nanti? Ini bukan tentang sepasang suami istri yang bercerai kemudian tak lama rujuk kembali. Ini lebih dari sekedar rujuk.
Aku hanya berpikir bagaimana kalau nanti ayah akan bercerai lagi dengan ibu kandungku, menikah dua kali dengan orang yang sama dan bercerai untuk kedua kalinya dengan orang yang sama pula.
Dan, adakah kemungkinan ayah kembali menikah dengan ibu kandung Gin dan kembali berpisah juga?
Aku tak akan pernah memahami perkawinan-perkawinan ayah.
Juwairiyah Mawardy penyair dan cerpenis kelahiran Sumenep, 1976. Karyanya tersebar di berbagai media lokal dan nasional. Cerpennya berjudul Mati Tua memenangkan lomba cerpen Kemdiknas 2009. Aktif di komunitas literasi Kata Bintang Sumenep.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)