Kenapa Seseorang Membakar Sebuah Gedung?

Cerita Pendek

Kenapa Seseorang Membakar Sebuah Gedung?

Yetti A.KA - detikHot
Sabtu, 19 Okt 2019 10:48 WIB
Kenapa Seseorang Membakar Sebuah Gedung?
Ilustrasi: Ahmad Fauzan Kamil/detikcom
Jakarta - "Kenapa seseorang membakar sebuah gedung?" Itu yang Kiku katakan di satu siang ketika datang ke meja kerja Almo. Pertanyaan tiba-tiba dari Kiku itu membuat Almo sedikit bingung, tapi ia menjawab, "Pasti banyak alasan jika ada orang sampai melakukannya." "Kau pernah ingin melakukannya?" tanya Kiku.

Almo agak takut melihat mata Kiku yang penuh rasa ingin tahu-dan itu bukan rasa ingin tahu biasa. Almo pikir itu bukan diri Kiku yang ia kenal. Kiku jarang tertarik pada sesuatu dalam diri orang lain. Ketika Almo berkata bahwa ada yang berbeda dengannya, Kiku bertanya, "Memangnya seperti apa aku yang kau kenal?"

Almo belum sempat menjawab pertanyaan itu dan Kiku sudah kembali berkata, "Kadang aku berpikir ingin membakar sebuah gedung."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Apa maksudmu?" tanya Almo.

"Begitulah," katanya, "aku cuma butuh kesempatan."

"Apa yang kau katakan ini?" ujar Almo bergidik. Kiku tidak biasa bercanda. Ia malah termasuk orang yang paling serius di kantor. Bila ada acara kumpul, ia lebih sering mengambil posisi sedikit menjauh, memencilkan dirinya, tampak selalu memikirkan pekerjaan, dan nyaris tidak pernah ikut tertawa bila ada yang membuat lelucon.

"Kau yakin baik-baik saja?" sambung Almo menunjukkan rasa khawatir, tapi berusaha tidak berlebihan. Sebab, meski ada kalanya ikut kumpul bersama teman kantor, sebenarnya mereka tidak terlalu dekat dan terasa aneh kalau tiba-tiba ia begitu mencemaskan Kiku.

Kiku berlalu dari meja kerja Almo sambil tertawa kecil. Almo berpikir mungkin teman kerjanya itu sedang memaksakan diri membuat permainan dan ia tidak tahu untuk apa semua itu dilakukan.

***

Pagi ini, setelah semalam nyaris tidak dapat tidur, Almo berencana bicara kepada Kiku. Saat ia datang, Kiku sudah menghadap layar komputer di mejanya. Selama bekerja di kantor ini, Kiku selalu datang tepat waktu dalam arti yang sebenar-benarnya. Ia jarang sekali datang lebih awal dan nyaris tidak pernah datang terlambat.

Tiba-tiba Almo merasa canggung dan tidak enak jika sampai mengganggu Kiku yang tampak serius itu. Ia jadi menimbang kembali apakah memang harus menanyakan tentang apa yang Kiku bicarakan kemarin. Ia sendiri mulai ragu, apakah benar Kiku bicara seperti itu kepadanya. Jangan-jangan itu semua hanya ilusinya saja.

Sebenarnya Kiku tak pernah datang ke meja kerjanya dan tentu pula tak mengatakan sesuatu yang tak biasa itu. Rasanya tidak mungkin Kiku punya waktu membuat lelucon untuknya.

Cepat-cepat Almo menghela napas. Ia agak kelelahan akhir-akhir ini. Sering lembur dan tidur larut malam. Pasti saja pikirannya tidak sepenuhnya baik. Maka, ia harus menghentikan semua ini dengan cara menganggap mereka tak pernah membicarakan apa pun. Kemarin itu tak pernah terjadi. Bahkan anggap saja mereka sudah lama tidak saling bicara karena tidak ada minat atau kesibukan masing-masing.

Namun, begitu Almo mau pergi, mendadak Kiku mendongak, dan berkata, "Bagaimana, kau sudah memikirkannya?"

Almo memandang Kiku cukup lama.

"Seharusnya kau sudah memikirkannya. Kau ingin membakar sebuah gedung," kata Kiku.

Sesuatu yang tadi sempat ingin Almo tanyakan kepada Kiku telah lenyap dalam kepalanya. Almo bahkan tidak mengerti kenapa ia berada dalam ruangan ini dan sekarang saling menatap dengan Kiku. Almo sungguh tidak tahu bagaimana itu terjadi.

"Kalau kau mau, kapan-kapan kita bisa membicarakannya lagi," kata Kiku dengan nada biasa. Seakan selama ini mereka biasa membicarakan sesuatu di luar pekerjaan atau berbagi rahasia pribadi dan membuatnya tidak tampak canggung sama sekali. Kemudian Kiku segera kembali menekuri sesuatu di layar komputernya, mungkin laporan program atau apalah dan Almo tidak menghitung dengan tepat berapa lama ia terpaku di tempatnya berdiri.

Almo bisa saja menyelidiki apa yang terjadi dengan Kiku (tapi sungguhkah memang ada sesuatu yang terjadi pada Kiku?) melalui bantuan teman-teman kantornya yang selalu bersemangat mengumpulkan informasi pribadi orang lain-dan membicarakannya dalam forum-forum gosip. Namun, itu tidak ia lakukan. Entahlah, kenapa ia tidak melakukannya.

***

Ketika anak-anak sudah tidur, Mia bertanya, "Ada sesuatu yang terjadi?"

"Apa kau melihatku seperti sedang punya masalah?" balas Almo.

"Kamu tampak berpikir terus," kata Mia mengetuk lembut kening Almo.

Almo mengembuskan napasnya seolah ingin melepaskan beban yang ia pendam. "Ini soal Kiku," katanya kemudian.

"Siapa Kiku?"

"Kau tidak pernah mendengar namanya?"

"Ki-ku," Mia mengeja nama itu dan menggeleng. Almo tidak yakin tak pernah menyebut nama Kiku saat ia menceritakan teman-teman kantornya kepada Mia. Ia dan Mia biasa menceritakan semua orang yang mereka kenal, juga apa pun yang lainnya. Ia mengenal semua teman Mia --paling tidak nama-nama mereka-- begitu juga sebaliknya.

"Teman kantorku," kata Almo.

"Ki-ku?" Mia mengernyitkan keningnya.

"Itu nama panggilannya," kata Almo.

"Oh. Anak baru?"

"Sudah cukup lama. Aku benar-benar tidak pernah cerita?"

Mia menggelengkan kepalanya lagi sambil menatap Almo dan tampak bingung, tapi kemudian bersikap seolah bukan masalah besar kalau ia tak mengenal nama itu. Bisa saja Almo memang melewatkan nama Kiku dengan beberapa alasan. Atau sekadar lupa. Bisa saja di antara sekian nama-nama orang yang dikenalnya, ada satu yang terlupakan dan itu Kiku.

"Kiku ingin membakar sebuah gedung," kata Almo lirih. "Ia bilang begitu kepadaku."

Sekilas Mia kembali menatap Almo. Kemudian tawanya meledak. "Mungkin dia habis nonton Herugao Love Affairs in the Afternoon," kata Mia teringat drama Jepang yang pernah ditontonnya. "Kau kelihatan capek sekali," lanjutnya bermaksud menyuruh Almo tidak perlu memikirkan Kiku atau siapa pun itu dan sebaiknya segera tidur.

Mia memang tipe orang yang tidak mau ribet. Ia dapat dengan baik memisahkan sesuatu yang penting untuk ia permasalahkan dan tidak. Dan seperti itulah harusnya mereka menjalani kehidupan ini. Hidup sudah terlalu banyak masalah. Jangan sampai menambahnya dengan masalah lain. Almo nyaris seperti itu beberapa waktu kemarin, tapi sekarang tidak bisa seperti itu lagi.

Almo segera naik ke tempat tidur dan meringkuk menghadap dinding, berusaha keras tidak memikirkan Kiku. Ia berkata dalam hati bahwa semua baik saja. Kiku tidak pernah membicarakan hal-hal di luar kebiasaannya. Mereka bahkan sudah lama tidak saling bicara karena sama-sama sibuk. Atau, baiklah, mereka mungkin pernah berbicara, tapi pasti bukan sesuatu yang penting. Barangkali Kiku berceletuk soal interior kantor, sesuatu yang bukan urusan mereka, tapi mereka merasa perlu membicarakannya; cat dinding yang mulai membosankan, kubikel kantor yang kaku dan ketinggalan zaman.

Jam sudah menunjuk angka dua belas. Namun, apa yang dikatakan Kiku hari itu seolah terus bergerak dalam kepala Almo sekuat apa pun ia menyangkalnya. Bahkan saat ia tertidur, Kiku masuk dalam mimpi buruknya. Kiku yang menatapnya dan bertanya, "Apa kau sudah memikirkan untuk membakar sebuah gedung?"

***

Kiku tidak masuk hari ini. Almo bertanya-tanya apa yang akan Kiku lakukan. Apakah Kiku akan membakar sebuah gedung hari ini juga? Ia ngeri membayangkan apa yang mungkin terjadi itu. Televisi atau surat kabar nyaris setiap hari memberitakan tentang kebakaran rumah, pasar, gedung-gedung, hutan. Dari kejadian kebakaran itu, ada yang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan atau alasan tertentu.

Itukah yang akan dilakukan Kiku tidak lama lagi? Sengaja membakar sebuah gedung untuk alasan yang hanya ia sendiri tahu.

Dengan perasaan sedikit frustrasi, Almo berdiri di balik kaca jendela ruangan kerjanya yang berada di lantai tujuh. Ia tatap gedung-gedung di luar. Ia nyaris tidak tahu kapan saja gedung-gedung di kota ini berubah menjadi lebih tinggi.

Selagi Almo sibuk dengan pikiran tentang gedung-gedung itu, matanya melihat Kiku berdiri di balik kaca jendela di salah satu gedung. Mungkin Kiku berada di sebuah apartemen atau hotel. Almo tidak dapat memastikan, sebab ia kebingungan dengan segala sesuatu yang dilihatnya di luar. Ia tidak tahu bagaimana bisa melihat Kiku dan kini perempuan itu melambai-lambaikan tangan kepadanya.

"Apa kau sudah memikirkannya?" Kiku mengangkat kertas dengan tulisan besar-besar dan setelah itu ia memamerkan korek api yang menyala di tangannya.

Almo menggelengkan kepalanya-bukan sepenuhnya untuk menjawab pertanyaan Kiku, melainkan ia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang tengah terjadi. Ia kebingungan dan tidak tahu cara menghentikan Kiku yang kini memain-mainkan api di tangannya dan api itu menyambar kertas, lalu menjalar ke gorden jendela kaca tempat Kiku berdiri dan membesar dengan cepat sampai Almo tak bisa melihat apa pun lagi selain asap tebal dan hitam dan segala sesuatu menjadi kacau.

***

Kiku membakar sebuah gedung, itu yang terus dikatakan Almo kepada orang-orang dan mereka malah berkata, "Kiku yang mana?" Almo benar-benar bingung kenapa semua orang tak mengenal nama Kiku. Apa mereka dengan cepat telah melupakan Kiku dan kebakaran sebuah gedung pada siang itu? Namun, Almo tak akan dapat melupakannya. Apalagi Kiku sering datang dalam mimpinya dan tidak henti bertanya: Apa kau sudah memikirkan ingin membakar sebuah gedung?

Almo tidak tahu bagaimana ia dapat melakukan hal seperti itu. Apa mungkin tahu-tahu sebuah gedung terbakar begitu saja? Tiap memikirkan itu Almo merasa frustrasi dan ia segera berdiri di dekat jendela lantai tujuh, memandangi gedung-gedung yang makin tinggi dan pikirannya kian cabuh dari hari ke hari, dan pada saat seperti itu rasanya ia ingin sekali membakar semuanya.

Rumah Kinoli, 2019

Yetti A.KA tinggal di Padang, Sumatera Barat. Novel terbarunya berjudul Pirgi dan Misota (2019)

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com



(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads