Ia tinggal sendiri di rumah itu. Rumah berdinding bambu, telah lapuk karena terlalu sering terkena tempias dan juga berlubang di sana-sini karena dimakan rayap. Setiap saat atap daun bambunya berguguran. Jika musim hujan dari lantai tanahnya sering sekali keluar cacing-cacing, yang membuat ia mengumpat habis-habisan, dan mengancam akan memakan cacing-cacing itu jika mereka terus keluar lagi dari lantai rumahnya. Namun meski cacing-cacing itu terus keluar, ia tidak pernah melakukan ancamannya.
Baru saja lewat seorang perempuan bertubuh sedikit gemuk. Ia berjalan tergesa-gesa. Ia tampak seperti orang berjalan dalam tidur. Kedua matanya terpaku ke jalan setapak yang ia lalui, seolah hendak menemukan sesuatu yang sangat berharga, dan terlihat oleh Maq Kerujeq, mulut perempuan itu celimutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu sisi berugak, yakni sisi yang dibelakangi Maq Kerujeq, ditutup selembar dinding. Dengan sedikit membengkokkan tubuhnya, ia mengintip dari lubang-lubang dinding itu dan melihat perempuan yang tadi lewat tengah berbicara dengan perempuan-perempuan lain di rumah yang berada cukup jauh dari rumahnya.
Perempuan itu, Naq Yurta, terus mengacung-acungkan lengannya. Kedua matanya melotot. Sepertinya ia tengah membicarakan sesuatu yang sangat membuat ia geram. Tidak lama, perempuan-perempuan yang mendengarnya pun menunjukkan hal yang sama. Raut wajah mereka menjadi tegang, dan kedua mata mereka membuka lebih lebar. Hanya kedua lengan mereka tidak melayang liar.
"Basong!" umpat Maq Kerujeq dari tempat duduknya, lalu ia kembali duduk seperti semula. Seekor ayam berjalan pincang, mendekat ke dinding rumahnya. Menduga ayam itu akan menggali lantai rumahnya seperti biasanya, ia meloncat turun, mengambil sendal, dan melempar ayam itu sambil berteriak. "Basong!" Suaranya keras, hingga Naq Yurta yang tengah bercerita dengan cara yang tadi menghentikan kata-katanya, dan serempak semua mereka melihat ke arah Maq Kerujeq.
"Setiap pagi dia gitu. Dia kerengen," kata salah seorang. Masih melihat ke arah Maq Kerujeq yang tengah berdiri dan mengumpat-umpat ayam yang telah menghilang dari pandangannya.
"Dia duduk aja setiap hari, lihat orang lewat."
"Ya, tadi saya dilihat terus," terang Naq Yurta.
"Ya, dia selalu gitu. Dia ndak ada uang mungkin."
"Sejak istrinya mati."
Tiba-tiba pembicaraan mereka terhenti. Maq Kerujeq memandang mereka dengan tajam. Kain yang ia pakai begitu lusuh. Hanya sebentar, kemudian, ia kembali duduk di berugak, dan memandang jalan setapak kecil di depan rumahnya. Namun pikirannya tertuju sepenuhnya pada perempuan-perempuan yang tengah berkumpul di rumah sebelah. Ia sangat yakin mereka tengah membicarakan dirinya.
Tidak tahan, ia kembali mengintip dari lubang dinding yang membatasi salah satu sisi berugaknya. Tidak ada yang berubah. Naq Yurta masih berdiri dan tampak tenggelam dalam pembicaraan. Begitu juga warga yang lain. Sebentar-sebentar mereka melihat ke arah rumahnya, dan itu membuat darahnya mendidih. Kedua tangannya terkepal dan mulutnya terkatup rapat. Tulang rahangnya menonjol. Tanpa sepengetahuannya, di jalan setapak depan rumahnya lewat perempuan lain, bertubuh kurus.
Perempuan itu melihat Maq Kerujeq yang tengah mengintip dan ingin menegur namun ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sekian kali, sebelum-sebelumnya, ketika ia menegur Maq Kerujeq, laki-laki itu selalu menjawab ketus.
"Apa diomongin?" tanya perempuan itu ketika ia sampai di dekat rumah tempat para warga berkumpul.
"Ndak ada ni. Mau ke mana itu?"
"Cari pelepah talas. Ndak ada untuk sayur."
"O! Ke sini dulu duduk-duduk."
Dan perempuan itu memutuskan berhenti. Ia masuk ke jebak rumah itu dan duduk di dekat Naq Yurta.
Maq Kerujeq kaget. Ia segera berhenti mengintip dan melihat ke jalan setapak di depan rumahnya. Dari mana dia? pikirnya. Pada akhirnya, ia tidak bisa memikirkan hal lain selain bahwa perempuan itu telah melihatnya mengintip. Dan ketika ia mengintip sekali lagi, ia benar-benar yakin pada dugaannya. Perempuan yang baru datang itu berbicara dan para warga yang mendengarnya tidak lama tampak sangat sadar tengah diawasi.
"Dia kenapa?" tanya perempuan yang baru datang. "Setiap saya sapa dia mau marah-marah terus."
"Dia gitu sejak istrinya mati."
"Sudah dua bulan, ya?"
"Ya. Mungkin dia kira kita yang buat istrinya mati."
"Bukan karena istrinya. Dia ndak ada uang itu. Ndak ada yang dimakan. Istrinya aja kan yang carikan dia buat makan. Dia cuma diam di rumah."
"Dia begitu sejak istrinya meninggal."
"Memang kita yang bunuh istrinya? Istrinya mati sakit."
"Ya, dia kira kita yang buat istrinya sakit mungkin. Makanya dia benci sama kita. Bukan kita aja, tapi sama semua orang."
Pembicaraan mereka terhenti begitu tiba-tiba oleh suara anjing mengaing-ngaing dari rumah Maq Kerujeq. Dan ketika mereka melihat ke arah rumahnya, Maq Kerujeq tengah berdiri di halaman, memegang sepotong kayu. Tulang-tulang iganya kelihatan. Dan bekas garukan tangan membuat punggungnya memerah. Seolah tidak tahan, meskipun anjing itu telah pergi, ia masih berteriak. Mengancam akan membunuhnya jika ia berani mendekat.
"Dia gila," kata Naq Yurta, kesal. "Kalau mau mati ya mati aja."
"Ndak ada yang berani ajak dia ngomong."
"Sejak istrinya meninggal itu dah dia gitu. Dulu dia ramah."
"Ya, dulu kalau saya lewat dia aja yang duluan sapa saya."
"Saya malah disuruh mampir untuk ngopi."
"Kemarin saya pernah dengar dia bilang mau bunuh siapa pun yang membuat istrinya sakit."
"Dia bilang gitu?"
"Ya, kemarin saya lewat di depan rumahnya, saya dengar dia bilang gitu."
"Istrinya sakit gara-gara lelah kerja. Bukan karena disantet orang. Aroo, kalau mau tahu siapa yang sudah bunuh istrinya, ya dia sih yang bunuh. Istrinya bekerja setiap hari. Setiap hari! Dia hanya diam di rumah tunggu uang."
Mereka berbicara terlalu asyik sampai tidak sadar Maq Kerujeq tengah berdiri di halaman, masih memegang sepotong kayu dan melihat ke arah mereka. Ia melihat dengan sangat jelas gelagat para warga di depannya. Raut wajah mereka dan bagaimana cara mereka berbicara. Meski ia tidak mendengar suara apa pun, namun ia merasa mendengar dengan begitu jelas apa yang mereka katakan.
"Ingat dulu pas istrinya ndak mau pergi kerja itu, dia mau pukul istrinya pakai kayu. Kayu kayak gitu dah." Warga yang berbicara melihat ke arah Maq Kerujeq dan begitu saja tatapan mata mereka bertemu. Seketika ia merasa tubuhnya mengecil. Seluruh tulang-tulangnya menjadi sakit.
"Mau cari pelepah talas ke mana?" tanyanya cepat sambil melihat ke warga yang terakhir datang. Dan tanpa menunggu jawaban, ia melanjutkan kata-katanya. "Di sana, di belakang rumah anuk itu banyak saya lihat."
Namun, usahanya sia-sia. Maq Kerujeq sambil memegang sepotong kayu berjalan ke arah mereka. Kayu itu ia seret hingga menciptakan jejak goresan di tanah.
"Saya juga mau cari pelepah talas ini, ndak ada buat lauk," tambah Naq Yurta. Ia berusaha menyembunyikan ketakutannya.
"Kemarin saya goreng pelepah talas, campur mie, mau beli lauk yang enak sekarang semua serba mahal. Cabe aja mahal sekali. Dua ribu cuma dapat delapan biji," kata salah seorang.
"Kalian ngomongin apa?" tanya Maq Kerujeq ketika ia sampai. Para warga tidak menduga ia begitu cepat sampai di dekat mereka. Wajah-wajah mereka menjadi pucat pasi mendengar pertanyaannya. Suaranya keras. Seperti membentak.
"Ini, bicarain harga cabe. Mahal sekali. Dua ribu cuma dapat delapan." Naq Yurta mengulangi kata-kata rekannya. Warga yang lain kemudian berebut menambahkan.
"Ya mahal sekali. Semua mahal."
Arianto Adipurwanto lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Pada 2017 diundang mengikuti Literature & Ideas Festival (LIFE's) di Salihara, Jakarta. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018).
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)