"Kamu pandai berparodi, Sayang."
"Aku pasti gila jika kita berpisah."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
***
Tubuh Ciptarasa gemetar dan bermandi keringat. Padahal, udara malam musim kemarau begitu tajam menusuk membuatnya menganga lebar-lebar seakan memelas kehangatan. Di luar, kabut pekat memberi jarak sebagaimana bui bagi para pesakitan membuat setiap tubuh ingin terus bergelung serapat mungkin. Kabut itu besok pagi baru akan beringsut menguap dan benar-benar hilang setelah matahari mulai meninggi.
Entah mimpi macam apa yang mengalahkan dingin yang begitu pada kulit muda gadis yang tentu masih kenyal dan tak banyak menimbun lemak itu. Kemudian tak lama, ia membuat dayang-dayang berhamburan seperti buah randu yang cangkangnya terkelupas dan ditiup muson barat yang tak tahu sopan santun dengan jeritan hebat.
"Ada apa Ciptarasa?" tanya wanita yang mewariskan kecantikannya.
Alih-alih bicara mengenai apa yang mengganggu tidur, ia menangis sambil memeluk erat-erat tubuh ibunya. "Apa ini ada hubungannya dengan Kamandaka?"
Ciptarasa melepas pelukannya untuk membuat jarak dengan badan ibunya sebelum menjawab pertanyaan itu dengan mengangguk sedangkan matanya masih sembab.
"Setiap manusia memiliki jalan hidup masing-masing. Sudah menjadi garis nasibmu dilahirkan sebagai anak raja. Semestinya pula kamu berjodoh dengan ia yang sesuai bobot, bibit, hingga bebet. Sedang Kamandaka, ia mesti banyak menimbang dalam untung rugi jika memaksakan cinta kalian bersatu."
"Aku tidak bermaksud melawan takdir itu."
"Lalu, apa maumu?"
"Kamandaka tak bersalah, ia masuk ke tempat ini hanya untuk memberiku bunga kantil. Tak lebih. Bukan cinta yang salah. Jadi, untuk apa ayah menumbalkan kepala Kamandaka."
"Apa yang menghantui dalam mimpimu?"
"Tubuh Kamandaka hanyut di Sungai Logawa tanpa kepala. Air sungai menjadi merah darah."
Mendengar penjelasan anaknya, ia merinding, ditahan jeritnya di ujung lidah dengan telapak tangan kanannya yang berkeringat sebelum terlontar dari mulutnya. Ia merasakan lemas dan mual seketika.
***
Tak diragukan, Ciptarasa selalu menunjukkan kepribadiannya yang begitu lembut, welas asih kepada siapa pun. Suatu hari, di tempat tinggalnya yang pernah didatangi Kamandaka yang malang itu, dia kedatangan tamu yang asing lagi aneh. Tamu itu berwujud seekor kera berekor panjang. Bulunya cenderung gelap, tapi tak bisa disebut hitam. Warna bulu lazimnya hewan endemi itu adalah coklat keemasan.
Memang sudah menjadi kebiasaan saat siang menuju lingsir matahari ke arah senja, Ciptarasa menikmati kudapan buah-buahan yang disukainya. Menurut ibunya, buah-buah itu bagus untuk kesehatan kulit. Itu ihwal penting untuk putri sepertinya. Bukannya takut atau berusaha mengusir si ekor panjang itu, Ciptarasa malah bolak-balik memberi pisang yang berada di sampingnya bersama beberapa jenis buah lain. Si ekor panjang yang kelihatan beberapa hari tak makan itu merasa begitu terberkati karenanya.
Ciptarasa meyakini si ekor panjang itu turun dari hutan di seberang sungai. Setelah dibersihkan tunggak-tunggak akar pohonnya, bekas hutan itu kini menjadi tanah ladang. Ciptarasa meminta kepada ayahnya supaya si ekor panjang itu dijadikan hewan peliharaan.
Meski tidak sepakat dengan pemikiran itu, lelaki itu mengiyakan kehendak putrinya. Keputusan itu ia ambil setelah mendengar pertimbangan dari istrinya untuk menuruti keinginan ganjil itu demi memperbaiki hubungan mereka yang memburuk sejak peristiwa penyusupan Kamanda.
"Ekor panjang, aku angin bercerita padamu, tapi kamu mesti berjanji akan merahasiakan cerita ini dari siapa pun. Ngerti?"
Si ekor panjang itu mengangguk-angguk seperti mengerti apa yang sedang dibicarakan Ciptarasa yang terus memberinya pisang raja meski kedua pipinya terlihat penuh. Melihat sikap yang ditunjukkan ekor panjang, Ciptarasa cekikikan. Rasannya sudah terlalu lama taman itu kehilangan tawa dan keceriaan sang putri seperti apa yang saat itu diam-diam diperhatikan ibu dan ayahnya.
"Dulu, tempat ini pernah kedatangan tamu asing seperti kamu, tapi dia gagah rupawan, berkulit putih bersih, dan manis pula senyumnya. Tidak seperti kamu, berekor. Tidak! Ada juga yang membuatmu lebih baik darinya, kamu datang untuk membuatku tertawa bahagia melupakan kesedihan yang mendera karena nasib Kamandaka celaka itu. Dia datang hanya sebentar saja, tapi meninggalkan luka yang begitu lamanya membekas. Kepergiannya begitu memilukan, dia mati dengan cara yang sangat mengerikan hanya karena memberiku bunga kantil. Aku tak tahu jika hari ini kamu tak datang, aku merasa hidup di neraka yang penuh penyesalan belaka. Maka, hari ini kamu kuberi nama Kamanda. Mau ya? Tapi, ada syaratnya, kamu tidak boleh pergi dari tempat ini. Setuju?"
Ekor panjang yang barus saja mendapat julukan Kamandaka itu mengangguk-angguk dan bertingkah kegirangan seperti halnya mendapat setandan pisang raja yang matang di pohonnya.
"Kamandaka, sepertinya hidup sepertimu lebih mudah dan menyenangkan, kamu bebas ke mana saja, makan apa saja, cinta kepada siapa saja."
Kamandaka terus memasukkan dan menimbun pisang di kedua pipinya hingga terlihat sangat penuh dan berat. Dia berhenti sejenak melihat air mata yang menggenang di pelupuk mata Ciptarasa. Kamandaka tentu tak tahu apakah itu air mata kesedihan atau sebaliknya. Dia kembali mengupas pisang lalu memasukkan ke mulutnya.
"Sini, biar aku kupaskan, kamu itu tahunya mengenyangkan perut. Cepat atau lambat, aku akan dijodohkan dengan orang seberang Segara Kidul. Bagaimana menurutmu?"
Kamandaka bertingkah seperti bocah kecil yang dijanjikan akan mendapat hadiah, bertepuk tangan dan menari, berputar-putar.
"Apa itu berarti kamu setuju, Kamandaka?"
***
"Seburuk itukah nasibku Ibu, sehingga Kamandaka mengingkari janjinya dengan menghilang? Lalu, siapa yang akan menghiburku sekarang. Kepada siapa aku bercerita kesedihanku perihal kematian orang-orang yang mencintaiku."
"Ini bukan salahmu, Ciptarasa, putriku."
"Tapi, aku yang meminta mereka tak membawa peralatan perang sebagai syarat mempersuntingku."
"Mereka mati bukan karena kalah perang. Mereka jatuh ke dalam sungai berarus deras yang curam berbatu karena jembatan yang rapuh. Jumlah mereka terlalu banyak, ditambah serbuan kera-kera kelaparan."
***
"Tapi, Kamandaka dibunuh bukan karena dia diperbolehkan memakan babi."
"Kamandaka tak pernah mati, kecuali dalam mimpi Ciptarasa, Sayang."
"Itu pun sudah lebih dari cukup untuk menghancurkan hati seorang kekasih, Sayang."
"Nanti, sejak kita meninggalkan tempat ini, yang disaksikan meja kayu yang di atasnya teronggok dua mangkuk mi bergambar ayam jantang dan masing-masing sepasang sumpitnya, gelas bergagang dan sedotannya, mangkuk dan tutup sambal yang pedas, dan tisu bekas pakai, kita bukan lagi kekasih."
"Bukankah Kamandaka menghilang sementara waktu untuk kemudian datang dan mendapatkan hati Ciptarasa dan mewarisi tahta kerajaan?"
"Bumi ini sudah begitu tua untuk mengulang dan memperbaiki sejarah buruknya. Tak ada masa depan untuk cinta kita."
"Bawalah aku pergi dari neraka ini!"
"Ke mana?
"Kupikir tak ada yang lebih baik dari Mars."
"Apa di sana tak ada agama?"
Bunga Pustaka, 2018
Mufti Wibowo lahir dan berdomisili di Purbalingga, bergiat di Komunitas Bunga Pustaka
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)











































