Lalu terdengar teriakan dari seberang pantai yang terletak di pinggir jalan raya kabupaten itu.
"Isak, pulang tempo!"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Isak, bapa hitung sampai tiga kalo ko tra kembali...."
"Sa pulang dulu e, besok lagi kitorang main layang-layang di lapangan." Setelah mengatakan itu bocah berambut ikal dengan bulu mata lentik itu berlari kecil meninggalkan Eling yang masih menjilati sisa-sisa aroma yg tertinggal di jari-jarinya.
Namun, keesokan harinya bahkan setelah Eling bosan memainkan layang-layang bergambar burung garuda miliknya Isak tak pernah tampak muncul di lapangan seperti yang dijanjikan.
Kaki-kaki kecil itu mulai beranjak meninggalkan tanah kesepakatan saat senja makin memerah. Kekecewaan besar terlihat dari rautnya yg ditekuk. Saat terpikir untuk pergi ke rumah Isak dari arah depan tampak bapaknya berlari-lari mendekat.
"Syukurlah, Le kamu aman!" masih sambil mengatur napasnya pria muda itu menggamit tangan Eling.
Sementara Eling hanya terlihat heran dengan kelakuan sang bapak.
"Ayo kita pulang! Suasana sedang ndak aman. Kamu main di rumah saja jangan jauh-jauh!"
Eling semakin heran, apa kata bapaknya tadi, suasana sedang tak aman? Sedang tak aman dari apa? Apakah ini ada kaitan dengan ketidakmunculan Isak siang ini.
"Pak, ada apa?"
Namun, hingga langkahnya terseok mengikuti langkah sang bapak, pria itu tidak juga membuka mulutnya. Justru langkahnya yang semakin dipercepat.
Beberapa meter sebelum mencapai rumah dilihatnya sang ibu sudah menunggu di halaman depan. Begitu jarak seperengkuhan bocah berusia sepuluh tahun itu telah berada dalam dekapan perempuan yang warna kulitnya menurun padanya.
"Sudah, ayo segera masuk!" Bapak tampak melihat ke sekeliling yang sepi tak seperti biasanya.
Eling tak tahu apa yang sedang terjadi. Sudah lama sejak kejadian pembakaran sebuah warung oleh sekelompok orang mabuk, keadaan tak pernah semencekam ini. Namun, untuk bertanya pun dia tak berani.
Sementara di sebuah rumah yang agak jauh dari pemukiman, tampak kesibukan yang tak biasa. Beberapa pria tampak duduk melingkar dengan satu titik pandang yang sama-seorang pria setengah baya dengan penampilan bersih-yang sedang berbicara.
Sementara di bagian belakang rumah itu, dua orang wanita sedang sibuk mengolah bahan makanan. Tampak tak peduli pada seorang bocah lelaki yang berdiri tak jauh dari sana dan terlihat bosan.
Bocah lelaki, akhirnya menjauh dari kesibukan dua wanita itu berjalan keluar rumah. Dipanjatnya sebuah pohon kelapa yang buahnya cukup banyak lalu menjatuhkan tiga di antaranya. Seperti saat naik, bocah itu dengan lincah menuruni batang kelapa yang cukup tinggi.
Tak hanya pandai memetik buah kelapa, sang bocah juga piawai mengayunkan parangnya menebas bagian per bagian kulit buah kelapa muda. Sudah satu buah ditenggak habis, tangannya bergerak mengambil buah kedua saat didengar suara gelak tawa dari arah rumah. Dengan mendengus dilemparkannya kembali buah kelapa muda yang hendak dikupas itu, lalu berjalan menjauh dari rumah.
Ke mana pun bocah itu melangkah, hanya pohon-pohon yang disaksikannya. Dia teringat pada janji temunya untuk bermain layang-layang, dia pun rindu bermain bola dengan teman-temannya.
Namun, dia tak tahu sampai kapan mereka harus berada di tempat ini. Ya, bapaknya sejak sore itu telah membawa dia dan mamanya ke sebuah rumah di pinggiran hutan jauh dari pantai tempat biasa dia menombak ikan bersama teman-temannya.
"Isaaak! Isak!"
Terdengar suara mamanya memanggil. Namun dia bergeming, meneruskan bermain dengan putri malu yang banyak tumbuh di bawah batang-batang pohon. Dia tahu, mamanya sudah selesai memasak dan akan memintanya untuk makan. Namun, dia tidak suka makan bersama orang-orang dewasa itu. Dia rindu pada geropa bakar yang dipanggangnya sendiri setelah beradu siapa yang paling cepat di antara teman-temannya untuk mencapai bibir pantai.
Dia heran, tidakkah orang-orang dewasa ini bosan dengan apa yang mereka kerjakan? Duduk, makan, dan bicara hal yang itu-itu saja di tempat yang sama selama beberapa hari. Tidakkah mereka ingin bertemu dengan orang-orang di luar sana?
Lima hari, Isak hanya menyaksikan orang-orang ini datang dan pergi silih berganti di malam hari. Lagi-lagi mereka hanya duduk melingkar mendengarkan seseorang berbicara hal yang sama, sesekali bersorak atas kekacauan yang telah berhasil mereka perbuat. Lalu isi jerigen beraroma sangat asam akan segera berpindah ke dalam gelas-gelas mereka, merayakan kemenangan. Isak bisa melihat wajah-wajah mereka tampak puas meski dalam temaram lampu minyak tanah yang terbuat dari botol minuman bekas. Namun, tak ada satupun terdengar pembicaraan kapan mereka bisa pulang ke rumah lagi.
Hingga, seharusnya dia terkejut saat keesokan hari sang mama menyuruhnya segera bersiap untuk pulang. Di depan rumah pun sudah ada beberapa mobil yang akan mengangkut mereka. Beberapa orang yang baru ditemuinya adalah pemilik mobil itu.
Dia tak tahu siapa mereka, apa keperluannya, dia hanya peduli bahwa sebentar lagi bisa bermain dengan teman-temannya.
Cukup lama mobil melewati pinggiran hutan untuk masuk kembali ke jalan raya. Satu persatu orang-orang turun di tempat yang berbeda. Termasuk dirinya, bapa dan mamanya. Mereka melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan umum untuk pulang.
Isak berlari kencang begitu turun dari taksi tak mempedulikan panggilan bapanya. Tanah lapang adalah tujuan pertamanya. Berharap Eling sudah ada di sana. Dia akan minta maaf karena tak memenuhi janjinya waktu itu.
Namun, tak dilihatnya seorang pun ada di lapangan. Isak pun berlari kembali menuju pantai, berharap teman-temannya sedang berenang di sana. Benar saja, karena dari kejauhan dilihatnya kepulan asap dari setumpuk kayu yang dikelilingi bocah-bocah seusianya.
"Eling! Doni!" Isak berlari mendekat.
Namun, tak seperti harapan Isak, teman-teman sepermainannya itu tak menyambutnya ramah. Mereka hanya saling melempar pandang satu sama lain tak mengatakan apa-apa. Isak kecewa mendapati mereka seperti itu. Dia pun hampir berbalik saat terdengar suara Eling memanggilnya.
Di sana, di hadapannya Eling melemparkan seekor geropa merah yang masih mengepulkan asap. Nyaris terjatuh dia karena spontan menangkap, yang diikuti tawa teman-temannya itu.
"Isak, ayo baku taruh siapa yang bisa kas habis paling banyak!"
Sore itu pun, pantai kembali menemukan warnanya. Ombak yang mengalir pelan, angin yang bertiup sayup, serta anak-anak yang menemukan kembali dunianya.
"Isaaak, pulang!"
Anak-anak itu seketika menoleh ke seberang jalan di mana seorang pria muda tampak murka.
"Sa tra mau pulang sekarang!"
"Isak, bapa hitung sampai tiga...."
"Bapa, kam orang-orang besar kalo mau baku musuh terserah, tapi jan ajak-ajak kitorang juga untuk baku musuh!"
Surabaya, 25 Agustus 2019
Himawari Zi lahir di Manokwari; karyanya terhimpun dalam antologi bersama Belanga Tanah
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)











































