Pakoh Bumi di Ujung Pertarungan

Cerita Pendek

Pakoh Bumi di Ujung Pertarungan

Nurillah Achmad - detikHot
Sabtu, 14 Sep 2019 12:40 WIB
Pakoh Bumi di Ujung Pertarungan
Ilustrasi: Denny Pratama Putra/detikcom
Jakarta - Di atas gumuk peninggalan bapak, saya berdiri gemetar memandang bego mengeruk sisi utara. Pertemuan gerigi besi dengan bebatu padas itu benar-benar mengilukan tulang. Di belakangnya, puluhan truk berjejer mengantre. Sementara si sopir mengepulkan asap rokok di bawah terpal yang setiap ujungnya diikat ke batang pohon sengon.

Saya kira, cepat atau lambat, gumuk-gumuk di desa saya bakal habis dibabat, dikeruk, diambil pasir dan bebatunya. Menyisakan lubang menganga yang ketika musim hujan airnya tertampung seperti kolam-kolaman. Tentu anak-anak senang tak kepalang. Mereka berlomba menyiasati orangtua demi bermain di bekas tambang pasir gumuk itu. Dasar anak-anak. Mereka tak akan jera kendati berhasil diseret orangtuanya yang takut anaknya tenggelam.

Saya pernah seperti mereka. Mengibuli adalah hal lumrah antara anak dan orangtua. Meski ini tak baik dicontoh, setidaknya saya memiliki masa kecil yang jika dikenang menyisakan bekas kesenangan, yang saya rasa tidak bisa ditemukan di masa sekarang. Betapa tidak, kami --saya dan kawan yang lain-- kerap naik-turun gumuk mengejar layangan. Boleh jadi harga layangan yang melayang-layang dibawa angin itu seharga lima puluh perak. Tetapi adu lari, adu lihai mengait sisa senar dengan galah panjang adalah kebahagiaan yang tidak bisa diuangkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Inilah mengapa gumuk tak ubahnya kamuflase kehidupan. Apapun kami rayakan di sana. Jika salah seorang berhasil mencuri ayam milik ibunya, kami berkumpul di gumuk, lalu kami sembelih, dibakar, disantap bersama. Setelahnya, kami mengincar jambu munyit. Yang kini bijinya diburu banyak orang untuk dicampur bersama cokelat. Jika warnanya menguning, kami ambil, bijinya kami bakar. Entah bukit yang kami daki itu milik siapa. Gumuk tempat ternyaman menyembunyikan kenakalan dari orangtua.

Tentu saja tak hanya jambu munyit. Kami juga sering membawa daun lontar, membuat rumah-rumahan. Berlagak macam manusia zaman purba, kami tak membawa korek apalagi nasi. Semua perkakas menggunakan batu. Semua bahan kami ambil dari alam. Ketela kami serobot saja di ladang Wak Dar. Burung, kami tinggal memanjat pohon yang berisi sarang dan induknya. Lalu kami bakar, makan, tidur-tiduran di bawah awan. Tertawa bersama. Berbagi sesama.

Kami suka segala hal yang berbau gumuk. Tanpa terkecuali binatang melata seperti ular yang kapan pun meliuk-liuk sesuka mereka. Jika itu ular kaber manik, yang bisanya sanggup mematikan orang dan keberadaannya mengancam, kami bunuh menggunakan potongan bambu. Tetapi jika sekadar lewat lalu menghilang, kami biarkan saja asal tak mengganggu. Bagi kami, gumuk adalah berkah turun-temurun. Pemberian Tuhan yang diberikan kepada leluhur.

Anda tahu, desa saya dan desa-desa tetangga memiliki banyak gumuk yang jika dihitung jumlahnya mencapai ratusan. Umumnya ditanami bambu, pohon waru, mahoni, atau trembesi. Apa kata selera pemiliknya saja. Maka, tak heran jika orang-orang tua dahulu menyebut gumuk sebagai pakoh bumi alias pakunya bumi. Sebab, saat musim hujan, pohon-pohon inilah yang memecah arah angin sehingga kalaupun sampai ke pemukiman, kekuatan terjangannya tak seberapa besar.

Namun sayang sekarang banyak gumuk dijual. Tak hanya di desa saya, desa-desa sebelah seperti Mayang, Pakusari, Kalisat, dan Ledokombo mengalami hal serupa. Ada yang menjual karena terpaksa, ada pula yang tergiur uangnya. Bukankah yang dijual hanya pasir dan bebatunya saja, tetapi lahan masih dikuasai dan dimiliki? Begitu kata mereka.

"Orang-orang sudah menjual gumuknya, Har," kata Herman, kawan saya yang dulu mencuri ayam orangtuanya itu. "Kenapa kau tak ikut jual?"

"Aku takut kena kualat."

"Ai, urusan Juk Tuah? Tak usah khawatir. Makam beliau ada di sisi timur, masih ikut ke lahan Bahir. Tidak ke tanahmu, bukan?"

Saya tak mengangguk. Tak bernafsu menanggapi ajakan Herman.

"Sudahlah, Har. Tak usah risau begitu. Bahir saja tenang-tenang. Kenapa kau sendiri takut? Jangan-jangan soal puting beliung? Duh, Har. Angin ribut atau angin apalah namanya, itu takdir Lah Ta'ala. Lagi pula, iya kalau anginnya nanti dari arah utara, rumahmu masih terhalang pohon di gumukmu ini. Kalau anginnya dari selatan? Gumuk-gumuk sudah rata. Tak lagi ada pepohonan, Har."

Tenggorokan saya tercekat. Terhenyak dengan penuturan Herman. Saya mulai sadar, kehidupan memang selalu berubah. Tak terkecuali tabiat yang ikut berubah. Herman, bukankah dia yang dulu sangat bangga dengan alam desa? Dengan banyaknya hewan-hewan yang bisa kami temui dan kami kejar-kejar. Bahkan monyet pun sering turun ke gumuk-gumuk. Meloncat dari satu pohon ke pohon lain, berpindah dari gumuk yang satu ke gumuk yang lain.

Memang mereka-mereka yang menjual akan langsung berbenah rumah. Mengganti alas rumah dengan keramik, membeli sepeda keluaran anyar, belum lagi perhiasan di tangan istri yang menjuntai. Siti, istri saya pun tergiur. Beberapa kali ia membujuk, dan menyentil pembicaraan gumuk. Tapi saya bersikukuh tak mau menjual. Saya hanya ingin mempertahankan apa yang dilakukan para leluhur. Mereka, nenek moyang saya ini, jika memperoleh rezeki akan dibelikannya sapi yang jika beranak-pinak, dijual dan dibelikannya tanah walau tak luas. Tanah-tanah itulah yang mereka warisi ketika mati.

Bapak pun begitu. Memang hanya menyisakan separuh gumuk untuk saya dan sepetak ladang untuk Umar, adik saya. Tetapi, pemberian ini tak ubahnya warisan nenek moyang yang harus dipertahankan. Bila kelak anak-anak saya menjual tanah gumuk ini, atau anak-anak Umar tak mau bertani dan menjual sawahnya, tak mengapa. Itu hak mereka. Bukankah pepatah mengatakan, telor se ekerremen ajem settong nettes tak padeh; bedeh se celleng, bedeh se mira.

Telur-telur yang dierami satu induk menetasnya pun beda-beda; ada yang hitam, ada pula yang merah. Apalagi manusia. Saya tak akan menyalahkan mereka. Hanya saja, setidaknya sampai garis keturunan saya, gumuk dan sawah itu tak akan dijual.

Di gumuk belakang rumah, pemberian almarhum bapak inilah, saya tak lagi berdiri gemetar memandang bego mengeruk sisi utara. Saya beranjak ke sisi timur, duduk di samping makam Juk Tuah. Leluhur yang begitu dihormati kendati saya tak pernah melihat bentuk rupanya. Bahkan, bapak saya hanya menjumpainya sewaktu kanak-kanak sebelum Juk Tuah meninggal.

Di sini, saya duduk termenung. Barangkali, Juk Tuah tak kalah sedihnya di alam sana. Esok hari makamnya akan dipindah ke pinggir sungai. Saya yakin, leluhur ini tak pernah membayangkan diri, jika kelak makamnya akan dipindah hanya demi rupiah. Atau mungkin saya yang dianggap tak memiliki pandangan maju. Saat orang-orang gemar mempercantik tempat tinggal, menumpuk kendaraan, pakaian dan perhiasan, saya masih berkutat dengan warisan-warisan nilai nenek moyang.

Saya akui, saya orang yang ketinggalan zaman. Tak ikuti perkembangan. Tak terlalu suka pembangunan. Tapi, apakah saya salah mempertahankan warisan? Bukankah, pusat-pusat perbelanjaan, bangunan-bangunan besar di kotalah yang menampung bebatu dari gumuk ini?

Ah, sudahlah. Semakin saya mengingat masa kanak-kanak, semakin mengingat apa-apa yang dilakukan orang-orang tua zaman dulu, saya makin sedih mengingatnya. Tentu saya juga merasa sedikit kecewa. Bohong jika saya mengatakan tak kecewa mendapati perubahan zaman. Tetapi, saya tak punya kuasa apa-apa layaknya Juk Tuah yang kini tak punya kuasa apa-apa jika makamnya dipindah.

Sayangnya, belum sempat berdiri, melangkahkan kaki pergi, istri saya berlari dengan napas tersengal-sengal. Begitu reda, ia menarik napas dalam-dalam. Telisik saya, besar kemungkinan ia akan membicarakan gumuk yang kerap kali didatangi Munawar. Perantara tanah yang selalu membawa banyak uang saat berkunjung ke rumah.

"Umar hendak menjual sawahnya, Kak. Katanya, Kakak tak usah khawatir. Setelah bangun rumah, beli sepeda, emas dan uangnya masih sisa, makam Bapak-Ibu nanti diganti keramik. Esok pagi dia ke rumah dengan Munawar. Minta tanda tangan persetujuan."

Seketika saya lunglai di atas makam Juk Tuah. Ingin menangis tersedu-sedu tapi tak ada air mata. Barangkali, air mata saya ikut mengering, sekering keinginan saya yang berharap Umar tak tergiur rupiah.

Selasa, 23 Juli 2019

Nurillah Achmad alumni TMI Putri Al Amien Prenduan, Sumenep. Tinggal di Jember, Jawa Timur

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

Pakoh Bumi di Ujung Pertarungan


(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads