Kematian di Tigris

Cerita Pendek

Kematian di Tigris

D. Hardi - detikHot
Minggu, 08 Sep 2019 10:40 WIB
Ilustrasi: M Fakhry Arrizal/detikcom
Jakarta - Di sepanjang sisi barat Tigris, saat banyak orang berkumpul untuk sebuah pencarian sisa-sisa tubuh yang masih mungkin ditemukan, seorang lelaki tua nan lusuh merapal kata-kata ganjil dari bibirnya yang keriput seraya bergetar, sesekali memutar-mutar tubuh bak melakoni tarian darwis di antara wajah-wajah durja. Kepedihan terlalu berkuasa di kota ini hingga merampas kewarasan.

"Dari hutan Aras teriakan itu menggema! Kutukan Humbaba datang mengetuk pintu-pintu rumah kita, bahkan di saat hari perayaan Nowruz," ia mengulang-ulang wiracarita di atas gundukan tanah.

Orang-orang tak begitu mengindahkan setelah berulang kali mendapatinya berlaku aneh mengitari kota beberapa hari lalu, sejak berita mengenai tenggelamnya kapal feri merebak. Lebih tepatnya, orang-orang sibuk meratapi diri. Musim semi yang hambar. Hadir begitu saja seolah tak tercentang kalender. Maut yang lebih sering muncul sewaktu-waktu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertokoan hancur. Beberapa gedung hanya tinggal reruntuhan tempat anak-anak putus sekolah bermain. Atau iseng mencari potongan besi bekas untuk dijual. Banyak perempuan menjanda, bahkan menyusut angkanya. Tak jarang, kepala manusia yang telah berupa rangka teronggok gersang terhimpit puing. Wajah-wajah tua tercenung, kusut-masai.

Seorang pemuda duduk-duduk, menatap kosong jalanan berdebu, bagai tiada yang lebih hampa dari nihilnya gagasan untuk menghidupi hari-hari yang terus berjalan dan masih akan berjalan entah sampai kapan. Mungkin sampai dentuman mortir terdengar lagi untuk kesekian kalinya. Melolong panjang membelah angin di atas aliran sungai bersejarah ini. Meluluhlantakkan masjid-masjid, gereja, kuil, dan menara. Melubangi sisa-sisa dinding rumah dengan peluru. Di tiang besi penyangga dinding yang sudah miring itu terpampang spanduk peringatan bagi siapa pun untuk berhati-hati menyentuh setiap benda yang mencurigakan. Ancaman ranjau darat tak pandang bulu.

Aku teringat pada Ali. Anak sembilan tahun yang harus diperban setengah kakinya karena hancur oleh ledakan ranjau sepulang bermain bola. Ali, anak tetanggaku yang kerap memakai kaus 'Argentina' bernomor 10 itu-bercita-cita menjadi pemain bola dunia --bahkan ingin bertolak sejauh-jauhnya dari negeri ini. Kini harus menerima kenyataan getir. Pertempuran untuk merebut kembali wilayah dari kelompok militan telah membuat segalanya porak poranda. Mayat-mayat bergelimpangan. Mayat-mayat sipil. Gerilyawan. Tergeletak tak bertuan di antara tetumpukan. Di sisi jalan. Busuk menyeruak udara kerontang.

Sayup azan terdengar lebih nyaring. Aku memicingkan mata menuju titik ujung, yang semakin lama semakin mendekat, seiring suara sirene meraung. Aparat keamanan menurunkan beberapa kotak makanan ke tenda-tenda sekitar lokasi pencarian. Orang-orang berdesakan saling berebut jatah. Kebanyakan dari mereka adalah para pengungsi dari Kota Tua. Mereka yang telah kehilangan rumah, harta, keluarga, saling berbaur dengan anggota keluarga lain yang sedang menunggu penemuan jenazah dari sungai Tigris. 90 orang telah berhasil ditemukan. Masih tersisa puluhan lainnya.

"Tiada kudapan senikmat kibbeh Mosul, kawanku." Lelaki tua itu tiba-tiba duduk di sampingku, menyeringai. Lahap melumat taboon polos yang dianggapnya kibbeh.

"Aku lebih menyukainya dengan isian hummus," kataku datar.

Bau itu. Aku membayangkan rekahan domba cincang berbaur harum rerempahan peterseli hangat baru terangkat dari wajan. Bukan rasa lapar yang membuatku membayangkannya. Tetapi kebiasaanmu, Shalima. Kebiasaanmu membuatnya di dapur yang menghantarkan semerbak sampai ke langit-langit rumah sungguh mendera ingatanku. Tetapi apa artinya ingatan, sebatas penghiburan akal atas kenyataan.

"Seseorang hanya dapat menunda lapar jika ia tengah merindukan sesuatu."

"O ya? Aku ingin mendengarnya langsung dari sang pujangga lapuk, bila ia telah selesai dengan urusan perutnya."

"Jangan menganggap remeh kerinduan, anak muda." Ia membersihkan sela-sela gigi, lantas menelan sesuatu.

"Bisa berakibat tragedi memilukan menyayat hati," lanjutnya dengan mimik serius.

"Ceritakanlah tentang kerinduan yang sedemikian itu padaku."

"Apakah kau cukup waktu?"

"Untuk saat ini, seribu kali kedipan tak akan mengubah apa pun, Pak Tua."

"Dia yang menyerahkan ruhnya dalam ruang rindu dendam yang menderu. Pada Kekasih di balik dinding terjal, memisahkan sekadar raga, namun jiwa Sang Pecinta tak lekang pada rasa sakit oleh penjara waktu. Penjaranya adalah firdaus. Api rindu menjadi cahaya. Seperti merpati yang selalu pulang ke sangkarnya, laksana tuna yang tabah dipermainkan gelombang," tutur Pak Tua sebelum melanjutkannya dengan syair-syair lain.

Aku mengalihkan pandang ke arah barat, seiring isak tangis melipur lagak deklamasi Pak Tua yang mulai membosankan. Suara dari bocah perempuan bermata cokelat muda. Seorang nenek menggendongnya. Mengelus-elus rambutnya, mengenyah lara seolah cucu sendiri. Saat kudekati, ia terdiam. Lalu tersenyum dengan kanopi mata yang sayu. Mata Shalima. Mata orang Sinjar.

***

Sang musafir melihatnya teronggok sendirian di sisi sungai seperti sedang mencari atau menunggu sesuatu. Obrolan kecil tak menghiraukan lamunannya selain pertanyaan:

"Anda siapa, dari mana?"

"Tidak dari mana-mana. Tak ada yang di mana bagi-Nya."

"Bagaimana engkau sampai ada di sini?" Sang musafir tua balik bertanya.

Ia tak segera menjawab. Benaknya kembali terlempar entah ke mana menatap kilatan emas di hadapan. Raga bergeming namun isi kepalanya bagai menziarahi kenangan, mengelocak di muka arus yang laju terus ke hilir. Menggenapi hikayat dukanya sejak lampau.

"Di tubuhnya telah banyak menampung risalah. Siklus penaklukkan Akkadia sampai Utsmaniyah datang silih berganti. Tidakkah engkau pernah mendengar kisah tentang kematian Sang Pemintal Rahasia yang menjadi martir karena tuduhan sesat, diarak ke alun-alun kota, dibunuh dengan kejam, dibakar lalu abunya melayang di sungai ini? Kesedihan apa yang telah melampaui itu, Kawanku?"

Matanya digenangi sesuatu hingga memerah.

"Para penyembah iblis. Orang-orang yang tak layak hidup di dunia karena kepercayaannya. Para bedebah itu mengutuk demikian. Menuduh kami hingga merasa berhak atas pembantaian paling gila yang hanya pernah kau dengar dari kisah kebrutalan bajak laut di sebuah dongeng."

Saat itu ia sedang bekerja ke luar perbatasan di kaki gunung mengurusi ladang gandum yang tak beberapa lama lagi akan panen. Pekerjaan yang mengharuskannya menginap beberapa malam seperti biasa. Entah dari mana muasal, gerombolan hitam-hitam bersenjata lengkap tiba-tiba datang mengobrak-abrik kampung. Tanpa tedeng aling-aling mereka menembaki setiap lelaki, tua-muda, menyerobot rumah, mengumpulkan orang-orang ke tengah lapangan untuk memisahkan tiap lelaki dan perempuan. Laku mereka begitu beringas.

Menurut cerita dari sejawatnya yang berhasil melarikan diri, ketiga saudara lelakinya ikut tewas diterjang peluru, sedangkan ibu, saudara perempuan dan istrinya, Shalima, tak diketahui lagi ujung rimba. Mendengar itu, hatinya remuk redam. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya seorang petani garap biasa. Kejadian itu adalah mimpi buruk yang nyata sejak tujuh tahun sebelumnya, sebuah bom mobil meledak di dekat kuil. Ratusan tewas. Setelah rezim Saddam, pemusnahan terhadap orang-orang Sinjar terus berulang.

Ia telah mengenal Shalima sejak insiden bom mobil itu --yang turut merenggut nyawa kedua orangtuanya. Shalima remaja lalu diasuh ibunya. Sejalan waktu lambat laun pula turut menumbuhkan benih-benih cinta di hatinya. Perempuan cantik berambut ikal legam, bermata cokelat muda, bertutur halus. Lebih dari itu, ia sungguh pandai meramu hidangan yang memancing lapar seisi rumah. Setelah menikah, mereka sempat berbulan madu ke Mosul sebelum semua ini terjadi. Bersantai di bukit Shallalat menikmati air terjun, menjajal pegunungan Maqlub, berkeliling Kota Tua, berfoto di menara bungkuk al-Hadba' atau sekadar duduk menikmati senja di sisi utara Tigris. Betapa kenangan manis itu kini hanya tinggal puing belaka.

Sang musafir mengetahui jika para perempuan itu kemungkinan besar telah dibawa ke kota lain, diperdagangkan, dijadikan budak pelampiasan nafsu bahkan untuk sebatang rokok! Tapi ia menahan diri, tak tega untuk mengatakan hal itu padanya.

"Bagaimana engkau sampai ada di sini?"

Ia terkesiap. Mengempas lamunan di muka sang bocah perempuan.

Pertanyaan yang tak sempat terjawab itu mulai membuatnya risau. Ia mengingat samar-samar. Tapi ingatannya tak pelak hanya sebatas kejadian serupa mimpi, seolah perkiraan belaka, ia kalut luar biasa; semacam momentum di ujung tanduk dan tak ada jalan keluar.

Ia merasakan malam yang begitu asing dinginnya, seperti mimpi yang datang tiba-tiba di pertengahan. Ia ingin mengungkapkan kejadian sesungguhnya bahwa ia sempat pergi ke Tal Afar --sejam dari Sinjar-- setelah mendapatkan informasi kampungnya diberangus. Tapi ia malu. Merasa bersalah dan pengecut. Malam itu ia sempat tertidur di beranda rumah warga yang kosong. Suasana gelap. Sayup-sayup langkah membuatnya siuman. Sesuatu meletus dan ia tak ingat apa-apa lagi. Semua ingatannya hanya tentang Shalima.

***

Rumah itu adalah sebuah kota. Tanah kelahiran turun-temurun dari moyangnya. Tanah subur di mana kabut senantiasa merayu fajar melembam, seperti payung hitam raksasa yang menggantung, merentang di antara pegunungan yang mengelilinginya. Hanya mereka yang teramat genting oleh ancamanlah yang terpaksa pergi dari Sinjar.

"Mitos lama tertuang dalam risalah. Gilgames, raja Uruk yang percaya pada rahasia keabadian Utnapisytim, setelah berkali-kali mencoba apa yang diperintahkan, menyadari pada akhirnya bahwa cara makhluk fana untuk memperoleh keabadian ialah melalui peradaban. Gerombolan hitam itu nyatanya menghancurkan segala yang dianggap berhala, kecuali berhala diri," tutur sang musafir membuka pagi, seraya berdiri dengan satu kaki menopang kaki lainnya menghadap timur dengan mata terpejam.

Menampik bakal sarapan dongeng dan petuah lagi, ia mengingsar ke sebuah sumur untuk membasuh wajah. Hari ini ia telah memantapkan hati akan pulang ke kampung halaman. Menurut kabar yang ia dengar, para pemberontak telah berhasil dikalahkan.

Baru saja hendak mendekati sumur, di sebelah sisi aliran Tigris beberapa meter dari tempatnya berdiri, terdengar suara teriakan histeris, berkerumun mengelilingi sesuatu yang sepertinya baru saja diangkut dari dasar sungai. Para petugas dengan sigap mengamankan lokasi. Memasukkan sesosok tubuh ke dalam sebuah kantung besar. Ia melangkah mendekati kerumunan dengan rasa penasaran. Apakah ada mayat lagi?

Setelah orang-orang mulai membubarkan diri, tanpa diduga, pandangannya tiba-tiba menangkap sesosok perempuan cantik berambut ikal, bermata cokelat muda sedang berdiri menatapnya sambil tersenyum bagai penantian seratus tahun yang sungguh-sungguh diimpikan selama ini.

Shalima! Apakah ini fatamorgana?

Sontak ia langsung menghampirinya dengan perasaan girang tak terkira, melupakan peristiwa penemuan jenazah perempuan yang barusan terjadi. Dari kejauhan, sang musafir melihat mereka berpelukan. Erat sekali. Dilatari cahaya terang yang semakin bias, perlahan meluruhkan keduanya.

(Bojongsoang, Mei 2019)

Keterangan:

Nowruz: Perayaan tahun baru tradisional Persia di beberapa negara seperti Iran, Azerbaijan, dan lain-lain. Turut dikenal pula oleh sebagian suku bangsa Kurdi, dan Yazidi.
Kibbeh: Makanan khas dari daerah Syam dan Timur-Tengah
Taboon: Roti datar khas Timur-Tengah yang biasa disantap dengan bermacam isian.
Hummus: Hidangan khas Syam berupa pure, bubur, saus, atau selai yang dibuat dari kacang Arab giling yang dicampur tahini (wijen giling).

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com



(mmu/mmu)

Hide Ads