Lampu Tidur

Cerita Pendek

Lampu Tidur

Supriyanti - detikHot
Sabtu, 07 Sep 2019 10:00 WIB
Ilustrasi: Ahmad Fauzan Kamil/detikcom
Jakarta - "Sudah biasa! Rupanya kau perlu buku tentang pranikah atau mungkin cara menjadi calon ibu rumah tangga yang baik," balas Kira yang berhasil membuat Yan melongo.

Andai Yan sedang minum ataupun memakan sesuatu, sudahlah sekarang dia muntahkan sebagian besarnya. Sebagian kecil mungkin membuatnya batuk tersedak. Bukankah lebih baik dia membeli sebuah buku mengenai wedding organizer daripada buku-buku konyol yang baru saja disarankan perempuan tirus di sampingnya?

Dia sudah memberi masukan berbagai macam produk yang biasanya diburu komunitas kondangan pernikahan. Bukan komunitas, hanya kumpulan orang-orang yang hadir dalam pesta pernikahan saja. Tapi Yan lebih suka menyebutnya dengan istilah itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bed cover, selimut, lampu tidur, atau aromatherapy sudah biasa, kata Kira.

"Aku sama sekali tak berniat membeli buku-buku konyol itu. Bukankah lampu tidur yang ini beda dan unik dari lampu-lampu yang sudah kita lihat?"

Yan kembali menyarankan lampu tidur. Andai saja kasat mata tentu sudah banyak pengunjung ketakutan melihat tanduk di kepala Kira. Perempuan lajang yang diajaknya benar-benar menyulut amarahnya. Tidak tahu saja dia, kemarahan Kira melebihi kebuasan sapi Pak Nyo yang mengamuk kemarin sore menggegerkan warga kampung.

Benar juga, lampu itu terlihat beda dibandingkan yang lain. Berhasil membuat wajah merah perempuan itu lenyap seketika seperti bulan purnama yang habis dilahap awan hitam. Jika biasanya lampu yang mereka sering jumpai wujudnya menyerupai ember dibalik ataupun jamur, ini juga seperti itu tapi terlihat dibelah pinang dengan sepasang lempeng kaca di bagian tengah untuk meletakkan sebuah buku. Rak sangat kecil di tengah lampu. Jamur yang dibelah dua pun tampak cantik⎯bening⎯tak berwarna. Ketika dinyalakan cahaya yang berwarna merah muda itu begitu menenangkan, membius mata dan kepala.

"Baiklah. Aku akan mengambil lampu itu jika tak ada barang-barang bagus di sini."

"Jika pemilik toko mendengar perkataanmu, habislah kau!" balas Yan melayangkan telapak tangannya di depan lehernya sendiri menyerupai gerakan golok yang tajam.

Seperti itulah perempuan, harga diri seperti di atas segalanya. Tak mau kalah dengan perempuan lain. Jika kalah pun, sudah dipastikan mencari bahasa yang membuatnya tetap tak malu.

Dua perempuan itu juga memasuki rak-rak keperluan bayi. Banyak mereka jumpai ibu-ibu dan calon ibu berburu untuk calon bayi mereka. Dari ibu muda hingga sudah tak bisa dikatakan muda, tetap saja ibu namanya.

Sesungguhnya Yan tak terlalu suka bagian keperluan bayi. Bukan dia tak suka bayi, memangnya ada orang yang mampu menolak wajah menggemaskan seorang bayi? Barangkali Yan pernah kehilangan seorang bayi kemudian sedikit trauma? Hal itu jelas tak mungkin. Yan belum menikah.

Yan ingat tiap saudara sepupu perempuannya melahirkan seorang bayi ataupun tetangganya yang diberi titipan Tuhan, segala ungkapan yang lebih mirip umpatan dan sindiran ditujukan untuknya.

"Kapan kau menikah? Kapan Makmu ini menimang bayi? Bosan Mak marah-marah. Mau nunggu Makmu mati atau usiamu setengah abad? Sudah pasti perutmu tak ada gunanya!"

Selain karena mengingat ungkapan kemarahan ibunya, seorang ibu muda yang tengah hamil tua di hadapannya kini membuatnya harga dirinya jatuh. Ingin sekali dia menerjunkan tubuhnya dari lantai paling atas pusat perbelanjaan ini. Yan iri. Dia kembali menyayangkan hidupnya. Hidupnya hambar seperti sop tanpa garam, sama sekali tak menarik.

Lelaki di samping perempuan itu juga masih muda. Bisa saja perempuan itu seumuran dengannya atau malah lebih muda. Yan, perempuan berumur yang terjebak dalam tubuh remaja khas anak SMA.

"Kapan kau menikah? Sepupuku saja yang seumuran denganmu sudah menikah, padahal dia laki-laki," ujar Kira yang ternyata memperhatikan gerak-gerik Yan yang mencuri pandang ke pasangan muda itu. Yan memilih tidak menjawabnya. Membiarkannya lelah menunggu jawaban.

Hal yang menakutkan bagi perempuan lajang berumur sepertinya bukanlah perkara menikah-tidaknya, tetapi ujaran orang-orang seperti 'kapan kau menikah?' Terkadang dia berpikir apa benar perempuan yang usianya sudah melewati seperempat abad tetapi belum menikah adalah suatu aib?

Yan tidak menyadari sejak kapan keinginan menikah itu menguap habis seperti air dalam periuk di atas api yang ditinggal tidur sang empu. Dan dia tidak bisa menceritakan alasan tak masuk akal itu kepada orang lain, tak terkecuali Kira.

Kira hanya bisa pasrah dengan segala keputusan sahabatnya itu, walau terkadang dia sangat penasaran masalah dan trauma semacam apa yang disembunyikan Yan. Dia tak habis pikir.

Matahari sudah tidak berada di atas kepala mereka lagi. Pertanda mereka sudah menghabiskan waktu tiga jam untuk berkeliling dan pada akhirnya hanya membawa sebuah lampu tidur dengan rak kaca kecil di tengahnya.

Bulan dan tahun berlalu. Mereka masih sering keluar bersama sekadar minum kopi di kedai ataupun keliling tempat perbelanjaan untuk mencuci mata. Bedanya Kira sudah menikah dan anaknya sudah hampir berumur dua tahun. Sedang Yan masih betah melajang. Kira menikah dengan saudara jauh Yan.

Dua perempuan itu sedang menikmati dan menyesap minuman masing-masing. Setelah Pak Nyo kesulitan menghadapi sapi-sapi liarnya, sekarang dia memilih mendirikan kedai kopi. Sekalian mengikuti perkembangan zaman katanya.

"Kata Ayahku, Paman Ranto membeli sapi untuk hajatan. Aku senang sekali akhirnya kau menikah."

Tanah halaman mereka memang terkenal perayaan pernikahan dengan sajian daging sapi. Rasanya orang nduwe gawe tak sedikit yang memiliki utang demi menikahkan anak mereka.

"Itu alasanku mentraktirmu di kedai ini. Aku mau minta ditemani membeli lampu tidur itu."

"Untuk apa? Lebih baik kau siapkan kondangan pernikahanmu! Nikah itu sekali seumur hidup!"

Yan tercekik mendengar kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya itu. Kira menduga dirinyalah yang akan menikah.

"Untuk Dea. Dia minta itu sebagai kado pernikahannya," jawab Yan menundukkan kepala. Dia sangat yakin sebentar lagi bakal menerima segala umpatan dan kemarahan.

"Jadi yang menikah adikmu? Kupikir kau! Kapan kau akan menikah? Astaga!"

Tundukan kepala yang dilakukan Yan sepertinya sebuah kesalahan fatal. Kira bertambah leluasa memukulkan sendoknya. Dia menghentikan pukulannya setelah merasa lelah. Dia benar-benar kehilangan akal.

"Kau membuatku darah tinggi. Apa maumu? Kulihat banyak angka nol di buku rekeningmu. Sudah sangat cukup untuk biaya pernikahan."

Yan hanya diam menunggu amarah Kira meredam. Menurutnya, uang bukan segalanya. Alkaloid yang kadang disesapnya memang mendamaikan, tapi hanya sementara. Setelah tersadar dia benar-benar seperti terjatuh di lubang buaya. Menikah itu kunang-kunang terbang siang, putusnya. Andai saja aku tak tahu kata biopsi tentu aku sudah menikah, Ra.

Supriyanti mahasiswa jurusan Matematika di Universitas Diponegoro

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com



(mmu/mmu)

Hide Ads