Aku masih ingat betul pakaian yang biasa dikenakan Bapak. Kaos berkerah berwarna abu-abu dengan bordir bergambar penunggang kuda di dada kirinya serta celana panjang berwarna hitam yang didapatnya dari pasar loak. Kala itu hari Minggu, hari yang paling ditunggu-tunggu bagi keluargaku, termasuk aku. Karena pada hari Minggu semua orang bermalas-malasan. Ibu terlalu lelah untuk pergi berbelanja ke pasar hingga tiap akhir pekan ia selalu membeli makanan jadi dari luar, Bapak yang selalu bangun kesiangan karena lelah menjadi pegawai kantoran, dan Kakak, ia lebih senang bermain game di android-nya sepanjang waktu di ruang tamu ketimbang belajar mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian.
Aku senang sebab Minggu adalah sebagian doaku yang telah terkabulkan. Mereka berkumpul bersama sehari dalam sepekan dan meluangkan waktu dari segala kesibukan. Aku jenuh ditinggal mereka di rumah, ketika yang lain sibuk bersekolah dan bekerja, serta Ibu yang sewaktu-waktu asik menjahit seragam ketika ramai pesanan murid baru masuk sekolah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biasanya ketika Bapak tidak bekerja, selalu saja ada hal yang ingin ia kerjakan. Membersihkan halaman rumah, mencuci motor, menyemir sepatu, mencukur kumis, atau sekadar berjalan-jalan menghibur diri. Bapak bukan tipikal orang yang gemar berdiam diri di rumah. Walau kutahu setiap akhir pekan ia selalu sengaja bangun kesiangan, katanya untuk membayar utang segala tidur yang belum terlunaskan.
Pagi itu Bapak mengajakku pergi ke suatu tempat yang sering ia kunjungi. Tumben, pikirku. Biasanya ia enggan mengajakku pergi pada hari Minggu. Di mana tetangga sebelah rumah sering melakukan hal yang sama pada anak yang usianya seumuran denganku. Mereka sekeluarga keluar rumah, berkunjung ke suatu tempat wisata yang ramai seperti pantai, kebun binatang, taman bunga, atau sekadar jalan-jalan santai di sekitar alun-alun kota.
Ibu tak pernah mau diajak seperti itu. Katanya, jalan-jalan hanya membuatnya lelah dan menghabiskan uang saja, sedang Kakak laki-lakiku lebih senang menghabiskan waktu bersama teman sejawatnya ketimbang pergi bersama adik laki-lakinya. Baru kali itu Bapak mengajakku keluar rumah walau aku sendiri sangsi akan tawarannya.
Sepanjang perjalanan, Bapak tak berkata apapun. Tiap kali aku bertanya, Bapak selalu menjawab, nanti juga kamu tahu. Aku dibuatnya penasaran. Jujur saja, ini kali pertamanya aku pergi keluar rumah pada hari Minggu bersama Bapak. Menaiki sepeda motor tua yang baru saja ia cuci sebelumnya. Pandangan mataku berpencar ke segala arah, kanan-kiri-kanan-kiri-kanan-kiri. Aku melihat jalanan yang ramai, mobil-mobil menyesaki ruang jalan, orang-orang yang ingin menyeberang, pedagang asongan di atas trotoar, dan kakek tua yang menjual koran di persimpangan.
Perjalanan baru terlewat beberapa menit saja, tetapi aku sudah merasa lelah. Mungkin benar apa kata Ibu, jalan-jalan hanya membuatnya lelah...walau sesungguhnya kami tak benar-benar sedang berjalan, duduk di sepeda motor beberapa menit saja sudah cukup membuatku lelah.
Aku bertanya pada Bapak, sampaikah kami pada tujuan? Bapak sungguh-sungguh memperhatikanku. Motor yang kami tumpangi menepi di kiri jalan, dan ia berkata bahwa kami sudah sampai!
Aku heran. Apa yang aku bayangkan meleset dari jangkauan. Pikirku, Bapak akan mengajakku pergi ke kebun binatang. Menghitung berapa jumlah garis hitam pada tubuh zebra, mengira-ngira panjang leher jerapah, melihat ikan-ikan di akuarium besar, memberi makan kucing liar yang hidup bebas di luar kandang, atau pergi ke toko ikan hias untuk membeli ikan baru. Bukan! Bukan kebun binatang, juga bukan toko ikan hias. Bapak mengajakku berkunjung ke pasar loak.
Dalam hati, aku berdebat dengan diriku sendiri. Sungguh apakah ini hal yang disukai orang dewasa? Tempat rongsokan sampah tak berguna? Apa yang sebenarnya Bapak cari di pasar loak?
Sebentar saja Bapak sudah melesat meninggalkanku sendirian. Menyusuri kios-kios pedagang tanpa bangunan. Aku masih mencoba mencari tahu sesuatu yang membuat Bapak jatuh hati pada tempat seperti itu. Di ujung sana, Bapak melihat-lihat barang tua. Aku melihat besi-besi berkarat yang tak lagi berkilau, rantai-rantai yang terkulai, mesin ketik sepuluh jari yang sama persis seperti yang ada di rumah, dan berbagai alat elektronik yang mungkin masih bisa dibenahi.
Lama-lama pikirku tempat loakan itu nyaman juga. Rasanya, aku seperti sudah sama tuanya dengan Bapak. Mungkin ini yang Bapak rasakan, bernostalgia dengan barang-barang kuno yang mungkin pernah berjaya di masanya. Seperti mesin jahit lama, uang koin kuno dengan lubang di tengahnya, alat pembuat tepung dari batu, kamera zaman dulu, televisi tabung, dan semua hal yang mungkin hanya bisa ditemui di tempat itu.
Bapak menimbang-nimbang keinginannya, barang di ujung sana menjadi pilihannya saat itu. Payung hitam dengan pegangan kayu berukir kepala ular cobra. Payung itu tampak seperti baru, warnanya pun masih solid, mungkin payung itu masih layak pakai dan seharusnya barang seperti itu masih ada di etalase-etalase kaca milik toko ternama.
Cukup lama Bapak bersama Si Tukang Loak. Dimainkannya payung itu, buka-tutup-buka-tutup, memastikan barang itu masih bisa digunakan. Bapak senang melihat payung itu, dan aku pun senang melihat Bapak seperti itu. Maka, tak lama terjadilah pertarungan tawar-menawar harga antara Bapak dan Si Tukang Loak yang berlogat bahasa Madura.
Mula-mula Bapak menawar harga sekian, tetapi payung malah disimpan kembali oleh pemiliknya. Katanya, harga segitu tidak boleh menebus barang antik yang masih bagus. Payung hitam itu buatan Belanda, sudah lama usianya. Kira-kira hampir sama sepertiku, kisaran 7 sampai 8 tahunan. Bapak terlihat ragu menatapku, katanya payung itu akan sangat berguna nantinya dan mungkin Ibu akan menyukainya. Bapak menaikkan sedikit tawarannya dan Si Tukang Loak itu melepas barang dagangannya dengan napas panjang yang keluar dari dada.
Aku senang melihat Bapak memenangkan pertarungan dan melihat Si Tukang Loak setuju dengan tawaran Bapak, walau aku yakin ia sedikit iba dengan tatapan mata Bapak dan membiarkan barang bekas itu jatuh di tangannya.
Hari semakin tua, pasar loak memakan waktu kami. Siang itu, langit berwarna abu-abu dan Ibu selalu cemas bila aku tak kunjung pulang ke rumah segera. Bapak tampak buru-buru menghidupkan mesin motor tuanya. Diberikannya payung hitam itu kepadaku.
Ini untukmu, kamu akan pantas menggunakannya. Payung ini sangat berguna nantinya, tolong jaga payung ini untuk Bapak.
Aku melihat matanya yang berbinar terkena cahaya. Pintanya sungguh tak biasa. Aku menganggukkan kepala dan menggenggam erat payung itu dengan kedua tanganku. Kami kembali menelusuri jalan raya, bergegas pulang ke rumah sebelum ibu khawatir mencariku.
Sepanjang jalan, kami melalui jalanan yang kelabu. Orang-orang bergegas menghempas jalan sebelum turun hujan. Warung-warung tepi jalan menyiapkan diri menata plastik sebagai pelindung sebelum turunnya hujan.
Di persimpangan lampu merah, gerimis datang. Bapak kebingungan sebab tak membawa jas hujan sementara lampu merah baru saja menyala. Ia menyuruhku membuka payung itu. Untukku berteduh, katanya. Aku tak mau, sebab tanganku tak cukup tinggi untuk mengangkatnya agar kami sama-sama berada di bawahnya. Bapak memaksa, dan lampu hijau menyala. Aku membuka payung itu dan berteduh di bawahnya seorang diri.
Bapak memacu motor tuanya. Di balik punggungnya, aku menggenggam erat payung hitam itu dan berpegangan sebisa mungkin pada baju Bapak. Motor semakin melaju kencang. Bapak membiarkan tubuhnya dihempas hujan yang semakin deras. Tubuhnya menggigil kedinginan. Sebagian air hujan mengenai tubuhku dari sisi yang tak terlindungi. Lama-lama aku takut juga. Aku meminta Bapak untuk mengurangi kecepatan motornya. Aku khawatir. Jalanan tampak begitu licin, dan hujan semakin deras mengguyur tubuhnya.
Dan, benar apa pikirku. Di perempatan lampu merah kedua, sebuah mobil sedan berhenti secara tiba-tiba. Bapak yang melaju sangat kencang tak sempat menginjak rem belakang. Motor menabrak bokong mobil sedan, dan kami terlempar jauh ke depan. Aku masih menggenggam erat payung hitam yang telah patah sebagian pegangannya. Tubuhku terhempas di kanan jalan, di trotoar yang menggenang air hujan. Syukur, genangan air itu hanya membuat lengan dan kakiku tergores sebagian. Aku segera bangkit dari tempat, aku cemas akan Bapak yang terhempas jauh. Orang-orang mengerumuninya. Kulihat motor tuanya remuk tak berbentuk lagi ,dan payung hitam itu masih tetap aku jaga seperti pintanya sebelumnya.
Bapak meninggal dunia ketika benturan antara kepala dan tiang listrik terjadi begitu keras hingga mengucurkan darah yang begitu deras. Orang-orang berkerumun. Aku menghampirinya, melihat tubuhnya yang terkulai seperti rantai berkarat yang kutemui sebelumnya di pasar loak. Wajahnya pucat. Bibirnya beku, dan tubuhnya memar terkena benturan.
Aku menangis di bawah payung hitam yang Bapak dapat dari pasar loak. Payung itu melindungi tubuhnya dari hujan, tetapi tidak dari air mata yang semakin bermuara di wajahku. Seseorang mencoba menenangkanku setelah sebuah mobil ambulans datang membawa Bapak pulang.
Ya, setelah kejadian itu, kini aku benar-benar merasa kehilangan. Ibu tak henti-henti menangis di kamar sendiri dan Kakak laki-laki tak pernah pulang ke rumah sejak Bapak meninggal. Rasanya seminggu setelah kepergian Bapak, ia masih berada di rumah. Membangunkanku di pagi hari, menemaniku sarapan, bercengkerama menonton televisi, dan sesekali suaranya terdengar di kamar.
Payung hitam inikah yang sesungguhnya ingin Bapak berikan padaku? Payung impor dari Belanda dengan ukiran khas yang kini telah patah gagangnya? Maafkan aku Bapak, aku tidak bisa menjaganya dengan baik seperti apa yang Bapak inginkan. Tetapi setidaknya ucapanmu ada benarnya juga. Payung itu menjadi sangat berguna. Terakhir kali aku menggunakannya untuk melindungimu dari hujan yang membuat tubuhmu beku di kerumunan orang, dan melindungiku saat mengantarkanmu menuju ke liang lahad saat itu.
Harusnya pada hari Minggu itu Bapak cukup ajak aku melihat-lihat ikan di toko ikan hias, atau kami tetap menonton serial kartun televisi di rumah bersama Ibu. Kini doaku untuk berkumpul bersama keluarga pada hari Minggu kuganti dengan satu pertanyaan. Bapak, maukah kau pulang ke rumah jika payung itu tak lagi patah?
2018
Kevin Alfiarizky lahir di Jakarta, 1998 dan tumbuh berkembang di Surabaya; belajar sastra di Universitas Negeri Surabaya (UNESA)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)