Lama burung kacer itu memandangi pintu sangkar yang terbuka. Ia memandang curiga pada Broto. Bimbang menerobos pintu sangkar, mengitari pelataran rumah, hinggap di dahan pohon nangka. Berkicau. Burung kacer itu tak mau meninggalkan pohon nangka. Broto berharap burung kacer itu segera terbang tinggi, mencari hutan lebat lereng Merapi yang memberinya kebebasan: alam tanpa tepi, udara segar, ulat dan belalang tersembunyi di balik rerumputan, dan kroto dalam rimbun daun pepohonan. Burung kacer itu hanya meloncat-loncat di dahan pohon nangka. Terus berkicau. Ia terbang berkitar-kitar di halaman rumah. Kembali hinggap di dahan pohon nangka.
Kicau burung itu seperti sebuah isyarat agar Broto mengikuti terbangnya. Lelaki muda itu menguntit arah kepak sayap burung kacer. Meninggalkan pelataran rumah, melintasi beberapa pelataran tetangga, hinggap di dahan pohon, dan terbang lagi, kian menjauh. Burung kacer itu mencapai sebuah ladang yang tak terawat, dengan binatang-binatang melata, dan sebuah pohon randu alas tua berdiri kokoh --mungkin berumur lebih seratus tahun. Sebuah sendang yang bening berada di bawah pohon randu alas tua, dan seorang gadis dengan terbebat kain basah, mandi, menggosok tubuhnya di bawah pancuran bambu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Broto belum pernah memasuki ladang rimbun yang dianggap angker itu. Gadis itu merasakan diamati orang asing. Menoleh. Mengerling pada Broto. Tersenyum malu, tipis. Buru-buru melanjutkan mandi. Lelaki muda itu canggung. Tak ingin meninggalkan tempat itu diam-diam. Tak berani menghampiri gadis yang mandi. Burung kacer itu berhenti berkicau. Tidak terbang. Tidak meloncat-loncat di dahan pohon nangka. Lelaki muda itu merasa disesatkan burung kacer ke dalam situasi serba canggung.
Tak tahu apa yang bakal diperbuat, gadis itu mengajak Broto singgah ke pendapa rumah kayu yang ditinggalinya. Broto duduk dengan secangkir teh di hadapannya. Alangkah senyap rumah kayu itu. Dari dalam kamar terdengar perbincangan gadis itu dengan ayahnya. Gadis itu segera menemui Broto, berdandan sederhana, rambut masih basah, disisir halus.
"Bertahun-tahun kami tak kedatangan tamu," kata gadis itu. "Baru sekarang seseorang berkenan singgah ke rumah kami. Ada apa?"
"Saya tersesat. Mengikuti terbang burung kacer."
"Kau tak berniat membeli rumah dan lahan kami?" tanya si gadis. "Ayah berniat menjualnya. Kami ingin kembali tinggal di kota."
Broto dipertemukan dengan lelaki bekas preman yang ditakuti orang-orang kampung. Tak tampak kebengisan pada wajahnya. Kumisnya memang tebal melintang. Sama sekali tak menakutkan. Sepasang matanya tajam. Tidak menyeramkan. Ia terbaring, lunglai, lumpuh, dan terasing ---tak bertemu orang lain, kecuali anak gadisnya.
"Apa kamu kemari mengikuti terbang burung kacer?" tanya bekas preman tua.
"Memang burung itu yang membawaku kemari."
"Aku dengar suaranya di dahan pohon nangka. Ia burung kesayangan anak gadisku. Kicaunya menakjubkan. Seseorang telah menangkapnya. Kau melepaskan burung itu?"
"Ya. Aku melepaskannya. Tak bisa memeliharanya."
Gadis itu, putri sang preman, turut duduk di tepi tempat tidur. Rambutnya harum, menetes-neteskan butir air ke pundaknya. Rupanya hanya mereka berdua di sini, seorang ayah bekas preman, dan anak gadisnya yang penuh kesabaran, bersembunyi dari buruan penembak misterius. Broto tak tahu pasti, sejak kapan bekas preman dan anak gadisnya tinggal di rumah kayu pada lahan yang dianggap angker. Wajah gadis itu dan sepasang matanya sama sekali tak menunjukkan ketakutan, keterasingan, atau penderitaan.
"Kami mau tinggalkan lahan ini," kata bekas preman itu. "Mau kembali ke rumah kami di kota. Lahan dan rumah ini akan kami jual. Kau mau beli?"
***
Meninggalkan rumah bekas preman itu, hati Broto ditikam kebimbangan: antara keinginan membeli lahan dan rumah kayu itu atau tidak. Ia berangan-angan memiliki sebuah padepokan tari. Mengapa tidak membeli lahan luas ini? Burung kacer itu masih tertengger di dahan pohon randu alas, terbang mengikutinya. Berkitar-kitar di atas kepalanya. Ia merasa burung kacer itu memberinya isyarat untuk membeli lahan dan rumah kayu yang tak terurus serupa belantara.
Broto kembali pulang. Berdiam diri di pendapa. Duduk di antara gamelan yang berdebu dan kotak wayang kulit yang tak tersentuh sejak sang ayah, Aryo Seno --dalang lereng Merapi-- meninggal usai melakonkan wayang dalam sebuah pergelaran. Saat itu ia berada di panggung, di belakang kendang, ketika menyaksikan ayahnya terkulai menyandarkan kepala di batang pisang. Sejak ayahnya dimakamkan, pendapa rumah kayu tempat gamelan dan perangkat wayang kulit itu disimpan menjadi senyap, tak lagi dikunjungi para penabuh gamelan dan sinden.
Burung kacer itu kembali datang di dahan pohon randu alas. Berkicau. Ekornya senantiasa tegak tiap kali ia berkicau. Berloncatan di dahan. Turun, hinggap di pundak Broto. Terbang lagi. Hinggap di dahan pohon randu alas. Meloncat-loncat. Tak mau meninggalkan dahan pohon randu alas. Senja gelap. Broto tak lagi bisa mengamati burung kacer itu. Ia mesti ke Sanggar Tari Retna Astuti, berlatih menari hingga larut malam. Ia tak dapat berkonsentrasi menari. Ia selalu teringat burung kacer yang hinggap di dahan pohon randu alas. Burung kacer itu menguntitnya, dan seperti mengajukan permintaan agar dia membeli lahan dengan sendang dan air pancuran milik bekas preman.
Burung kacer itu seperti ingin bercerita, seperti manusia yang sedang meminta sesuatu, yang mengajaknya untuk tinggal di rumah bekas preman itu. Malam itu ia meninggalkan Sanggar Retna Astuti dengan gusar --biasanya, ia pulang dari sanggar dengan perasaan tenang. Ia tak bisa memejamkan mata, menanti hari pagi, ingin segera melihat burung kacer itu meloncat-loncat di dahan pohon nangka pelataran rumahnya, berkicau, dan membawanya ke ladang bekas preman itu. Ia ingin bertemu putri bekas preman itu mandi di sendang, dengan berbebat kain, basah rambutnya.
Kicau burung kacer pada pagi hari berkabut itu menyentak kesadaran Broto. Ia menghambur ke pelataran, mendekati pohon nangka. Ia melihat burung kacer itu melompat-lompat di dahan pohon nangka, berkicau. Terdiam. Terbang rendah, berkitar-kitar di sekitar pohon nangka. Broto mengikuti burung kacer itu yang sesekali hinggap di dahan pohon, terbang lagi, dan hinggap di dahan randu alas. Broto berdiam di tepi sendang, yang gemericik mengalirkan air.
Tapi gadis berambut panjang itu tak berada di sendang. Mungkin hari masih terlalu pagi, terlalu gelap, terlalu dingin untuk gadis itu mandi di sendang. Telah bertahun-tahun gadis itu tinggal berdua hanya dengan ayahnya, tentu ia sudah terbiasa dengan kabut dan udara dingin lereng Merapi. Ia bahkan tak takut tinggal di lahan yang dianggap orang-orang angker. Di bawah pohon randu alas itu dulu pernah dijadikan tempat membuang potongan-potongan tubuh Ranem, pelacur cantik yang dibunuh Subro, preman ternama yang banyak ditakuti orang.
Burung kacer itu kembali berkicau di dahan pohon randu alas. Nyaring. Gadis itu membuka pintu rumah, tampak wajahnya baru bangun tidur, rambut yang belum disisir. Ia terkejut. Menutup pintu. Ia kembali membuka pintu setelah menyisir rambutnya, menebar senyum, agak tersipu-sipu. Ia menghambur ke pelataran dan menengadah ke dahan pohon randu alas, mencari burung kacer yang berkicau itu. Burung kacer terbang rendah dan hinggap sesaat di pundak gadis itu. Terbang ke dahan pohon randu alas. Mematuk serangga.
"Kuberitahu Ayah kalau kau datang. Ia mengundangmu ke ruang tamu."
Di pendapa rumah kayu itu, di atas meja mengepul secangkir kopi, sepiring pisang goreng, dan bekas preman tua itu duduk di atas kursi roda. Terlalu lama ia bersembunyi di rumah kayu, dan tak bergaul dengan siapa pun. Orang-orang juga menganggap bekas preman itu jahat, bisa mencelakai siapa pun yang melintasi ladang itu.
Tapi kini yang dihadapi Broto seorang lelaki tua yang duduk di atas kursi roda, lumpuh. Luka bacok miring di pipi kanan menambah keriput wajahnya. Ia tidak minum kopi. Ia masih bisa mengangkat cangkir teh, meminumnya, dan bicara dengan tenang, "Belilah lahan ini. Bayarlah berapapun uang yang kau miliki. Sisanya boleh kau angsur. Aku akan kembali ke kota, berobat di sana. Kukira sudah saatnya aku turun gunung. Tak ada lagi penembak misterius yang bakal membantaiku, dan melempar mayatku di tempat pembuangan sampah."
Broto melihat keseriusan sepasang mata mantan preman yang telah bertahun-tahun bersembunyi di lahan angker, di rumah kayu, hanya dengan anak gadisnya. Serupa terkena tenung, Broto menyanggupi membeli lahan dan rumah kayu itu dengan cara mencicil. Ia merasakan hidup yang aneh, yang tak pernah dinalarnya selama ini. Ia memang ingin memiliki sebuah padepokan tari, tapi tak pernah dipikirkannya, bila padepokan itu berdiri di lahan angker, tempat persembunyian seorang bekas preman.
***
Burung kacer itu menghilang setelah bekas preman dan anak gadisnya meninggalkan ladang dan rumah kayu. Ladang itu kembali senyap, serupa kesenyapan hutan. Hanya sendang itu yang memberi kenangan. Masih bening menggenang, dengan ikan-ikan berenangan, dan pancuran bambu yang terus mengucurkan air, memercik di atas bebatuan yang ditata rapi.
Kini kicau burung kacer itu terdengar di atas pohon randu alas. Broto tergagap. Burung kacer itu terbang rendah, berkitar-kitar di atas sendang. Suara langkah kaki yang lembut mengejutkan lelaki perjaka itu. Gadis itu melangkah lambat-lambat, ragu, mendekati Broto yang duduk di bawah pohon randu alas dekat sendang.
"Tak bisa kutinggalkan tempat ini," kata gadis itu, yang segera membasuh wajahnya dengan air sendang. "Rasanya aku ingin tetap tinggal di sini."
Pandana Merdeka, Juli 2019
S. Prasetyo Utomo lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Kumpulan cerpennya Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005). Novel yang telah diterbitkannya adalah Tangis Rembulan di Hutan Berkabut (HO Publishing, 2009). Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016) dan Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)