Mak Bayan Menanak Bulan

Cerita Pendek

Mak Bayan Menanak Bulan

Adam Yudhistira - detikHot
Sabtu, 03 Agu 2019 11:52 WIB
Mak Bayan Menanak Bulan
Ilustrasi: Denny Pratama Putra/detikcom
Jakarta - Kabar kematian Mak Bayan seharusnya bisa mengguncang Kampung Sialang. Jasad perempuan tua itu ditemukan di rumahnya dengan sekujur badan sudah menjadi tulang-belulang. Namun berita semengerikan itu hanya ditanggapi seadanya. Bagai bau busuk yang diterbangkan angin, kemudian dilupakan begitu saja. Usai acara penguburan, orang-orang beraktivitas seperti biasa, bagai tak pernah terjadi apa-apa.

Apabila ditanyakan apa pasal yang membuat warga Kampung Sialang membenci Mak Bayan, maka jawabannya adalah masa lalunya yang memang kelam sehitam malam. Konon, pada masa mudanya, Mak Bayan pernah menjadi biduan Antan Delapan. Desas-desus mengatakan bahwa pada lidah perempuan itu tersemat mantra pengasihan yang dilantunkan melalui larik-larik pantun berejungan.

Panggung seni Antan Delapan dijadikannya jerat pemikat para lelaki. Gerak tubuh dan suaranya ketika sedang menari membuat Mak Bayan muda menjelma kijang binal yang kasmaran. Ia bersijingkat dari satu lelaki ke lelaki untuk menawarkan kehangatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sudah tak terbilang jumlah lelaki yang menjadi korban cinta Mak Bayan. Tak terbilang pula berapa rumah tangga yang lerai oleh harga senggama yang dijajakannya. Riwayat itu dituturkan dari mulut ke mulut. Berkembang biak di tiap kepala dan sengaja dipelihara agar tak ada yang melupakannya.

Lantaran itu, maka tak heran jika kebencian orang-orang kampung Sialang berlarat-larat kepada Mak Bayan. Masa lalu sehitam itu tak akan mudah terhapuskan. Sejarah kelam yang senantiasa diulang-ulang akan menjadi air yang menyuburkan bibit-bibit kebencian.

Di pengujung umurnya, barangkali Mak Bayan telah menginsyafi kesalahannya. Ia tahu bahwa tak ada perbuatan yang tak memiliki imbas buruknya. Hujat-gunjing menjadi ulam pahit yang mesti ia telan. Caci maki menjadi lauk-pauk yang mesti ia kudap saban hari.

Perempuan tua itu tak pernah menuntut agar orang-orang memaklumi dosa-dosanya. Tetapi kebencian yang menyemburat di mata mereka selalu saja membuat hatinya luka. Bagaimanapun, ia tetaplah manusia--meskipun mungkin, bagi orang-orang kampung Sialang, Mak Bayan sudah tak layak lagi disebut manusia.

Suatu kali, pernah terjadi kericuhan kecil di surau Kampung Sialang. Para jemaah yang hendak salat Magrib mengurungkan niat lantaran Mak Bayan berdiri di barisan saf perempuan. Para jemaah sontak menjauh. Mereka meminta kepada Datuk Sobari selaku imam, agar segera mengusir Mak Bayan.

"Kami tak mau surau ini terkena najis," ucap salah seorang jemaah.

"Sebaiknya perempuan ini diusir saja. Kami tak mau tertular dosa-dosanya."

"Manusia menanggung dosanya sendiri-sendiri. Hanya Tuhan yang berhak memutuskan akan ke mana setelah aku mati. Aku memang pantas masuk neraka, tapi jangan menudingku tak pantas masuk surga," kata Mak Bayan lirih.

"Tapi bagaimana mungkin perempuan sepertimu masuk surga?" cela Sariamah, perempuan yang pertama kali menyatakan keberatannya sebaris saf dengan Mak Bayan.

"Hampir sepanjang hidupmu melakukan dosa. Apa kau tak malu mendatangi rumah Tuhan dalam keadaan sekotor itu?"

"Itu bukan hakmu, Sariamah," tukas Datuk Sobari berusaha berdiri di tengah-tengah. "Dosa dan pahala itu urusan Tuhan. Bukan urusan manusia."

Perkataan itu memang berhasil membungkam mulut-mulut yang menggunjing Mak Bayan, namun sayangnya tak cukup bertaji menggerus kebencian yang telanjur beranak-pinak bagai nyamuk di genangan air comberan. Sebagian jemaah bahkan mengancam tak akan mendatangi surau lagi jika Datuk Sobari tetap menerima Mak Bayan.

Kericuhan itu baru berhenti setelah Datuk Sobari dengan berat hati meminta Mak Bayan memenuhi permintaan orang-orang. Perempuan tua itu mengangguk lesu. Ia menggulung sajadah dan mukenanya, lalu pergi diiringi tatapan tajam dan gumam geram di belakang.

Sejak peristiwa itu, Mak Bayan tak pernah lagi bertegur sapa dengan warga Kampung Sialang. Kebutuhan hidupnya yang sebatangkara dicukupinya seorang diri. Namun pada akhirnya, waktu membuat perempuan tua itu kalah. Pengucilan yang diterimanya memberi akhir hidup yang menyedihkan. Tarikh kelam masa lalu dipungkasinya dengan cara paling pilu.

***

Terakhir kali Mak Bayan terlihat sekitar tiga minggu yang lalu. Perempuan tua itu berjalan terbungkuk-bungkuk dari Hutan Kelingi menuju Kampung Lubuk Pakis. Di punggungnya terpanggul kayu bakar dan beberapa potong rebung. Saat itu, Mak Bayan memang terlihat kurang sehat, terbukti ketika ia melewati jalan setapak di dekat lepau kopi Pacik Jamal, tubuhnya limbung. Ia jatuh terjerembab bersama barang-barang bawaannya.

Melihat kejadian itu, orang-orang yang sedang asik bercakap-cakap di lepau kopi Pacik Jamal terdiam, kemudian cepat-cepat membuang muka, sebagian menahan tawa, sebagian lagi melanjutkan percakapan yang tertunda. Mak Bayan sendiri berusaha berdiri, berjalan tertatih-tatih, menunjukkan sikap tak peduli. Ia memunguti barang-barang bawaannya, kemudian berlalu tanpa bicara.

Hampir saban hari perempuan tua kurus kering itu berjalan berkilo meter dari Kampung Sialang menuju Kampung Lubuk Pakis. Di kampung itu ada pasar pekan yang digelar saban Jumat. Di sanalah Mak Bayan menjual kayu bakar yang diambilnya dari Hutan Kelingi untuk kemudian ditukar kebutuhan hidup sehari-hari.

Mak Bayan tak pernah melakukan jual-beli dengan orang-orang Kampung Sialang. Bahkan untuk sebongkah garam dan sesendok gula ia membelinya di warung milik warga Kampung Lubuk Pakis. Pasalnya tentu saja lantaran tak ada pemilik warung atau lepau di Kampung Sialang yang mau menerima uang Mak Bayan. Kata mereka, haram hukumnya menerima uang dari pendosa.

Malam itu, bakda Mak Bayan terjerembab di depan lepau Pacik Jamal, Kampung Sialang begitu sepi, teramat sepi seakan-akan Tuhan diam-diam telah mencabut nyawa penghuninya. Di kamarnya yang hanya diterangi lampu minyak Mak Bayan mengerang. Kejadian nahas itu rupanya telah membuat sekujur tubuhnya mati rasa.

Menjadi orang yang dibenci kadung menjadi siksaan berat bagi Mak Bayan. Batang usianya semakin lapuk, tubuh ringkihnya semakin getas bagai kulit kayu mati. Dan, dalam keadaan sepelik itu tak ada yang bisa ia lakukan selain bertahan. Tak ada yang bisa ia lakukan selain merutuki diri sendiri.

Bertahun-tahun ia terkurung di balik dinding pengasingan yang dibuat warga Kampung Sialang. Tidak ada siapa pun yang bisa menolong. Sepanjang hidupnya perempuan tua itu tak pernah berkeluarga. Ia memang pernah memelihara seorang anak dari perempuan muda yang mengandung benih serdadu Jepang. Namun jatah umur anak itu terlalu pendek. Ia meninggal ketika berusia lima bulan.

Mak Bayan sebenarnya masih memiliki sanak kerabat. Namun siapa yang sudi mengaku bertalian darah dengan Mak Bayan? Layaknya api yang berkobar, mengakui hubungan tali-darah dengan Mak Bayan sama halnya dengan melarungkan diri ke dalamnya. Oleh sebab itulah, menjauhinya adalah sebaik-baik pilihan.

Malam kedua bakda terjerembab di depan lepau Pacik Jamal keadaan Mak Bayan semakin mengkhawatirkan. Selain rasa sakit di sekujur badan, rasa lapar datang tak tertahan. Di luar rumahnya, sepi terasa mencekam. Bulan semakin matang di pucuk pohon ketapang. Di atas ranjang, perempuan tua itu tergeletak di bawah bayang-bayang cahaya bulan.

Seperti yang sudah-sudah, apabila rasa lapar yang jahat itu sedemikian ganas menggerus lambungnya, maka Mak Bayan akan menipu diri. Berpura sedang menghadiri perjamuan pesta bersama para pejabat dan orang-orang terhormat di saat ia masih muda. Mak Bayan percaya, nostalgia adalah obat paling mujarab melupakan penderitaannya.

Ia lantas mengingat-ingat apa saja yang pernah membuat hidupnya sangat menderita. Ia ingat pada lelaki istimewa bernama Sulaiman. Lelaki itu datang dari Pulau Jawa. Ia seorang insinyur yang bertugas membangun bendungan di aliran Sungai Enim. Tinggal berbulan-bulan di Kampung Sialang telah mempertemukan ia dengan Mak Bayan.

Jauh sebelum kehidupan kelam itu ia jalani, Sulaiman pernah menjalin kasih dengan Mak Bayan. Namun petang itu, ketika matahari baru saja merebahkan bayang-bayang pohon bungur yang tumbuh berbaris di tepi Sungai Enim, lelaki itu membuka rahasia yang membuat dada Mak Bayan berdarah.

"Aku sudah punya anak dan istri," ucapnya bersungguh-sungguh. "Aku tak akan bisa tinggal di kampung ini selamanya. Itu artinya aku juga tak akan bisa menikahimu."

Mak Bayan diam tergugu. Batinnya terguncang lantas runtuh menjadi kepingan. Ia tak mengatakan apa-apa. Air matanya sanggup mengeluarkan beribu-ribu kata yang mewakili perasaannya.

"Maafkan aku," kata lelaki itu dalam nada murung. "Besok aku akan kembali ke Jawa."

"Aku tahu hari ini pasti akan terjadi, tapi bukan seperti ini akhir yang kubayangkan," ucap Mak Bayan terbata-bata. Matanya lesap pada aliran Sungai Enim yang mengalir begitu tenang. "Pergilah. Jangan kau risaukan hubungan kita. Anggap saja kita tidak sejodoh."

Petang itu adalah petang paling pahit dalam hidup Mak Bayan. Pada lelaki itu ia telah menyerahkan segalanya. Semula ia mengira perasaan yang ia tanam akan bertunas kesetiaan, tetapi ia salah mengira. Pengkhianatan itulah yang menyemai dendam di dadanya sekaligus menjerumuskannya dalam kehidupan gelap seorang perempuan.

Ingatan-ingatan itu berlesatan tanpa bisa dicegah. Sementara pada saat yang sama sekujur badan Mak Bayan semakin terasa dingin dan mati rasa. Lambung tuanya yang rapuh tak sanggup lagi menahan gempuran rasa lapar yang biadab. Malam itu daya tahan Mak Bayan mungkin telah sampai pada batasnya. Ia berbaring berbantal sebelah lengan, wajah tirusnya terangkat sedikit, dan matanya memerhatikan bulan dari celah jendela.

Angin malam membuat daun-daun ketapang di halaman rumahnya berbisik-bisik. Anjing melolong dengan nada sendu di kejauhan. Dalam pandangan matanya yang semakin buram, Mak Bayan melihat bulan telah menjelma setangkup beras, dua potong ikan asin, dan semangkuk cabai yang biasa ia tukar dengan sepotong rebung dan seonggok kayu bakar.

Catatan:
Antan Delapan: seni pertunjukan musik tradisional dari Kabupaten Muara Enim
Berejungan: bersenandung dengan syair yang berisi pantun tentang cinta atau nasihat-nasihat kehidupan.

Adam Yudhistira bermukim di Muara Enim, Sumatera Selatan. Buku kumpulan cerpennya Ocehan Semut Merah dan Bangkai Seekor Tawon (Basabasi, 2017)

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com



(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads