/1//
"Cerbon, Cerbon, Cerbon!" seru seorang lelaki berkaca mata hitam dengan topi ascot cap berwarna merah untuk menyebut Cirebon --kota terakhir dalam jurusan bus Jakarta-Cirebon. Aku rasa, ia bukan orang Jakarta, pasti orang Pantura --ditilik dari pengucapannya. Meski hiruk-pikuk, suaranya terdengar sampai ke seberang jalan. Ia tampak bersemangat menawarkan bus pada calon penumpang yang berada di Terminal Pulo Gadung. Padahal semua orang tahu, lelaki itu tidak akan ikut naik ke dalam bus yang selalu penuh sesak dengan orang-orang pesisir Pantura yang akan pulang dari bekerja di ibu kota.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Naik saja, Yu! Masih kosong," jawabnya.
Saat memasuki pintu depan bus terdengar makiannya yang sampai ke telingaku. "Klera! Mobil penuh dikata kosong." Namun lelaki itu tak mempedulikannya.
"Cerbon, Cerbon, Cerbon!"
Di dalam bus yang sudah melebihi kapasitas, perempuan dan anaknya itu berdiri di antara lelaki-lelaki yang duduk dengan gaya baju dikancing setengahnya saja. Tak satu pun di antara mereka mengalah untuk memberi ruang duduk bagi anak dan ibunya itu. Tercium dari mulut lelaki-lelaki itu bau arak yang sengaja di bawa dari sisa bekal melaut. Entah mengapa lelaki-lelaki nelayan sekarang sering menjadikan benda haram itu untuk menghangatkan tubuh saat berada di tengah lautan? Padahal bapak-papak mereka pun dulu melaut, tetapi cukuplah membuat wedang jahe, teh hangat, atau kopi.
Setelah dianggap cukup --jok terisi semua dan tiada celah ruang bus kecuali orang-orang yang berdiri berpegangan apa saja yang bisa dipegang-- bus itu melaju. Seperti itulah, riuh rendah di dalam bus di Terminal Pulo Gadung. Aku sudah berpeluh dan menahan kelu sejak mobil berpenumpang belasan orang. Segala macamnya berkumpul; tumpukan kardus berisi ikan asin, orang-orang dengan aroma minyak wangi murahan bercampur bau keringat, musik dangdut yang bertalu-talu, dan pembicaraan-pembicaraan yang kadang disertai tawa dan kata-kata kotor.
/2//
Bus berhenti. Dua biduanita karaoke masuk. Entah keduanya memberhentikan bus, atau sopir sengaja mengajaknya di simpang Cikampek? Jelas keduanya dari cara tersenyum dan rona wajahnya menampakkan gurat muka gembira sekali. Sekalipun kesusahan naik bus karena membawa kotak speaker active dan melewati beberapa penumpang, keduanya mendapatkan tempat juga untuk menjual suara bahkan sebagian tubuhnya. Kernet bus dengan nakal mencolek bahkan menepuk bokong keduanya.
"Edan keparat!" ucapnya. Ia bermaksud memuji kemolekan tubuh penyanyi jalanan itu. Matanya melirik memberi isyarat ke sopir melalui rear-vison mirror yang menempel di kaca depan bus bagian atas. Lelaki berkumis tebal dan mengenakan kalung emas yang memegang kendali bus tersenyum lalu memberikan tanda melalui jari jempolnya.
"Buat sopir, mas dan yayu-nya semoga terhibur," ucapnya biduanita itu setelah mengantar prolog membuka lagu dengan centilnya.
Lelaki-lelaki yang dari tadi duduk terkantuk dan sebagian lagi bergelantungan tangan di handle hand, getir menelan ludah karena kelu, sontak berjingkat-jingkat tubuhnya seirama dengan bunyi musik dangdut pantura yang mampu menggoyang badan bus. Menurutku mungkin aku salah satu yang tak tertarik-merasa kurang nyaman dengan hiburan semacam itu. Bukan karena fanatisme genre musik, melainkan hanya karena seringnya musik dangdut dikotori dengan kegenitan biduanita, pakaian seronok, dan terkadang dicampuri bau minuman keras. Tidak lebih!
"Tekong Parean, Nok!" ucapnya membisik bahkan bibirnya menyentuh telinga biduanita itu sambil memberikan uang saweran berulangkali. "Kubayar sampai Parean, Nok!" serunya sambil menyawer belasan hingga puluhan lembar uang puluhan ribu bahkan ratusan ribu. Kawan-kawannya-kurasa mereka bidak-bidak kapal perahunya-tergelak bahagia sambil terus bergoyang-goyang. Ia mengangkat-angkat tangannya ke atas. Tampak jam tangannya yang berwarna kuning keemasan berkilat-kilat. Lelaki setengah baya itu duduk lagi di kursinya untuk menjaga wibawanya sedang anak buahnya kelihatan melingkari dua biduanita itu agar tetap dalam kekuasaan lelaki itu.
"Buat tekong Parean yang punya lautan, ayo, Kang digoyang," rayu kedua biduanita itu bergantian. Lelaki yang sedang mengontrak dua biduanita karaoke itu tampak begitu menikmati hiburan jalanan semacam itu. Mungkin karena sekitar tiga bulanan di lautan, membuat lelaki-lelaki sepertinya sangat merindukan hiburan. Tetapi apakah dengan bersenang dengan penyanyi karaoke dapat dikatakan hiburan? Bukankah istri dan anak-anak di rumah juga sedang menantinya?
Lelaki itu kukenal dengan sangat baik. Ia tak sempat melihatku saat tadi naik bus dan melewatinya yang sedang sibuk dengan ponselnya, tapi aku melihatnya. Tarjuni namanya. Aku duduk empat kursi di belakangnya dengan degup jantung berdebar. Apalagi mendengar nama Parean. Sebuah desa tempat kelahiranku di Indramayu yang masih dikenal dengan pasar jodohnya yaitu Jaringan.
Telah lama kutinggalkan Parean, sejak aku menikah dan bercerai. Lalu kawin cerai, kawin cerai sebanyak lima kali. Dua puluh tahun silam sudah kisah itu. Pertama kali bercerai saat itu umurku baru 14 tahun. Menjadi janda dalam usia yang masih sangat muda.
/3//
Kembang desa, sebut pemuda-pemuda itu di Jaringan. Bukan hanya lelaki-lelaki itu, bahkan orang tua yang punya anak bujang pun sering memanggilku calon mantu. Untuk ukuran gadis seusiaku, pujian itu bukan saja membuat telingaku mekar seperti kelopak mawar, bahkan lebih dari segalanya mampu membuatku merasa cantik seperti putik. Hingga kemudian, di mata mereka aku seperti ikan yang menarik perhatian lelaki-lelaki nelayan yang pulang apabila bulan purnama. Dan, Tarjuni adalah lelaki yang berhasil menjaringku. Di alun-alun depan Kantor Kawedanan Kandanghaur yang gedungnya dibangun pada zaman penjajahan Belanda. Ia mengajakku berkenalan dan bersedia mengantarku pulang dari jaringan. Sanja ke rumah orangtuaku di Jongor.
Dari Bapak, aku mulai tahu cerita asal mula Jaringan. Konon, dulu kemarau panjang melanda Parean membuat wedana saat itu Pangeran Dryantaka membuatkan sumber mata air untuk kebutuhan para penduduknya. Sebuah sumur yang cukup besar dan dalam digali di sebelah timur kantor wedana. Sumur itu bernama temenggung. Airnya mengalir tak putus-putus sehingga menjadi pertemuan banyak bujang dan gadis yang juga ingin mendapatkan air. Dari situlah asal muasal Jaringan yang kemudian menjadi pasar jodoh.
Jaringan sendiri berasal dari kata jaring, yaitu pukat untuk menangkap ikan. Bagi warga Parean, istilah jaringan ini diartikan sebagai ajang mencari jodoh di waktu terang bulan, saat di mana pemuda-pemuda nelayan sedang tidak melaut dan berkumpul mencari hiburan di Alun-alun Kandanghaur. Terkadang saban malam minggu, muda-mudi berjaringan sambil menonton bioskop keliling yang biasa disponsori oleh perusahaan rokok atau pun obat nyamuk. Sesekali ada komedi putar ataupun tong edan. Pedagang kacang rebus, mie tek tek, sate kambing, surabi dan warung kopi sesak pembeli. Laris manis tanjung kimpul.
"Tin, besok malam nanti aku dan Bapak datang untuk melamarmu," ucap Tarjuni dengan sorot mata penuh pengharapan.
"Sebenarnya Bapakku juga pernah menanyakannya, Kang," jawabku.
Sebulan setelah itu. Tepat sehari setelah lebaran, dengan diiring-iring keluarga, teman, dan kerabat aku dan Tarjuni diarak berkeliling ke jalan-jalan desa sebagai pengantin. Semalam suntuk pagelaran wayang kulit bertalu-talu mengiringi malam pengantinku dengan Tarjuni yang penuh cinta. Beberapa minggu kemudian, Tarjuni kembali melaut.
/4//
"KALAU begini terus, mungkin istrimu harus dicerai!" Kedua orangtua Tarjuni memerintahkan anak lelakinya demikian, berdasarkan hitungan yang entah bagaimana menghitungnya. Konon, jika seorang suami ketika melaut tak dapat-dapat uang, maka istrinya harus dicerai dan ganti dengan perempuan lain.
Aku kemudian menjadi janda tepat pada bulan ke sepuluh pernikahanku. Beruntung ketika pereraian itu, kondisiku tidak sedang hamil sehingga tak terlalu berat menghadapi perpisahan itu.
Teman-temanku mengajak untuk ke Jaringan lagi. Dan lelaki-lelaki, baik jejaka maupun duda mulai berniat menjaringku lagi. Sehingga ketika beberapa bulan setelah selesai masa idahku, sudah ada lelaki yang mau menikahiku. Tononi --duda yang bercerai karena hal yang serupa dengan Tarjuni, kemudian menjadi suami keduaku. Kehidupanku dengan Tononi rupanya tak jauh berbeda dengan Tarjuni. Belum juga setahun, aku bercerai lagi. Kawin cerai, kawin cerai berulangkali sampai lima kali.
Hingga kemudian, aku tak lagi berkeinginan berumah tangga kembali. Lewat tetanggaku, aku merantau ke Jakarta di Muara Angke untuk bekerja menjadi kuli belah ikan asin. Di tempat yang sebenarnya kampung nelayan itu aku menjalani kisah hidupku menjadi perempuan yang dianggap membawa sial bagi setiap lelaki yang menikahiku.
/5//
Jejek terus, Pir!" ucap Tarjuni yang membuat sopir bertambah gila melajukan bus. Ia menengok ke belakang seperti mencari perhatian. Namun pada detik itu, pandanganku bertabrakan dengan mata Tarjuni. Ia mendadak bangkit, berjalan berdesakan dengan orang-orang yang berdiri menuju ke tempatku.
"Titin?" katanya. Ia serasa tak percaya dengan mengucek-ngucek kedua biji matanya yang memerah. Merah bukan karena bekas tangis melainkan ada pengaruh dari minuman yang tadi dimasukkan ke mulutnya. Aku terkesiap dan suasana di dalam mobil serasa senyap.
"Pasar Parean, Pasar Parean!" seru kernet membuyarkan degup jantungku yang bertambah berdebar. Mengurungkan mantan suami pertamaku untuk mendekatiku.
Aku, Tarjuni dan puluhan lelaki serta perempuan dan anaknya yang kulihat naik di Pulo Gadung itu turun dari bus yang disambut belasan tukang ojek yang berebut penumpang. Kuperhatikan Tarjuni dan bidak-bidaknya sibuk mengangkut kardus-kardus dan tas-tas besar ke atas motor-motor yang sudah bersiap.
Di Alun-alun Kandanghaur, di depan kantor kawedanan yang telah berganti menjadi kantor kecamatan, aku berdiri sendirian di bawah tiang lampu memandangi dan mengingati kenangan lama. Tak ada pohon-pohon asam yang batangnya sepeluk orang dewasa. Malam belum terlalu larut tetapi Pasar Parean telah redup. Dan Masjid Attaqwa di sebelah timur kantor kawedanan tampak makin megah.
"Pak, apa sudah tidak ada lagi Jaringan di sini?" tanyaku pada bapak tua yang sedang menyapu alun-alun. Aku masih mengingati siapa dia, tetapi ia tidak lagi mengenalku. Penjaga kawedanan yang terkenal galak mengusiri lelaki dan perempuan yang terpergok Jaringan di tempat yang gelap di belakang kantor kawedanan.
"Tidak ada lagi Jaringan, Yu. Tawuran antardesa dan pemuda di tahun 2000-an telah menghilangkan budaya pasar jodoh di Parean," ucapnya tanpa lagi peduli padaku.
Aku termangu. Rembulan yang terang benderang di langit sepertinya tak lagi menjadi penanda kepulangan lelaki-lelaki nelayan untuk bertemu dengan perempuan-perempuan di pasar jodoh Jaringan.
"Tin, Titin!" Terdengar suara yang sangat lembut menyapaku. Aku menengok ke belakang ke arah suara itu.
"Tarjuni!" ucapku terperanjat.
"Apa aku boleh mengantarmu pulang?" ucapnya.
Seperti dulu aku pertama kali diantar pulang ke rumah lebih dari dua puluh tahun yang lalu, malam ini Tarjuni pun mengantarku pulang untuk yang pertama kalinya setelah pergi meninggalkan Parean.
Dengan berjalan kaki, aku mendengar banyak cerita tentang pasar jodoh Jaringan dan orang-orang yang berjodoh di pasar Jaringan. Sepanjang jalan menuju rumah orangtuaku, kulihat rumah-rumah baru dan berukuran besar banyak berdiri. Di jalan-jalan kulihat beberapa muda-mudi duduk berangkulan, berpangku-pangkuan dan berpasang-pasangan yang tidak pernah kusaksikan ketika dulu ada Jaringan.
"Seperti inilah setelah tak ada lagi Jaringan," ucap Tarjuni.
Aku termenung mendengar pernyataan lelaki yang pernah menikahiku. Memikirkan Jaringan, riwayat keberadaan dan ketiadaannya.
Begitu sampai di depan rumahku, aku disambut sebagaimana dulu aku dan Tarjuni disambut. Bapak dan Ibu masih sehat sekalipun telah renta.
"Syukurlah kalau kalian sudah baikan," ucap keduanya.
Aku dan Tarjuni saling pandang. Kedua orangtuaku menceritakan akan kehidupan Tarjuni yang masih menyimpan cinta sekalipun telah menceraikanku. Dan ia pun berkali bercerai karena selalu teringat akan istri pertamanya. Aku tersipu memandang Tarjuni yang juga terpaku karena malu.
"Ini barangkali berkah dulu mencari jodoh di pasar Jaringan. Banyak yang mulanya bercerai, tetapi kemudian kembali lagi karena memang sudah dijodohkan oleh adat dan budaya daerah kita," ucap Bapak yang diiyakan Ibu. Aku tersenyum memandang Tarjuni. Lalu selintas anganku teringat dulu Tarjuni sanja untuk yang pertama kalinya.
Indramayu, 2018
Faris Al Faisal lahir dan tinggal Indramayu, menulis fiksi dan non fiksi. Buku fiksinya yang telah terbit antara lain kumpulan cerpen Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek Karyapedia (Publisher, 2017), novelet Bingkai Perjalanan (LovRinz Publishing, 2018), dan antologi puisi Dari Lubuk Cimanuk ke Muara Kerinduan ke Laut Impian (Rumah Pustaka, 2018)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)