Pertengkaran Pertama Setelah Mudik Lebaran

Cerita Pendek

Pertengkaran Pertama Setelah Mudik Lebaran

Umi Salamah - detikHot
Sabtu, 15 Jun 2019 12:16 WIB
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - "Aku tidak ingin mudik Lebaran lagi!"

Eva tidak pernah merasakan bagaimana mudik Lebaran sepanjang hidupnya. Ia dari dulu dan sekarang tinggal di kampung halamannya di Jakarta. Ia orang Betawi asli. Meskipun Eva tidak pernah mudik Lebaran, ia tetap antusias menyambutnya. Justru ia amat bahagia. Selama beberapa hari, ia bisa bersepeda sepanjang hari di jalanan lebar Kota Jakarta, memanggang nila di tengah jalan, bahkan tidur-tiduran di jalur busway. Kala itu, ia baru menyadari kampung halamannya begitu indah tanpa macetnya lalu lintas. Tanpa keruwetan. Tanpa aktivitas semut orang-orang. Ia sering membayangkan orang-orang yang sedang pulang kampung itu tidak akan pernah kembali ke Kota Jakarta.

Selama ini Eva hanya mendengar kisah-kisah mudik Lebaran dari teman-teman di kantornya. Sebenarnya mereka warga asli Kota Jakarta. Tapi mereka kebanyakan bersuami orang luar Jawa. Eva penasaran ingin mudik Lebaran setelah mendengar cerita teman-temannya yang berkesan, baik sepanjang jalan atau pun di kampung halaman suami masing-masing.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Eva punya kesempatan merasakan mudik Lebaran. Adam, suaminya asli orang Medan. Ia seorang perantauan di Kota Jakarta yang telah sukses dan menjadi pegawai negeri sipil, sama seperti Eva. Ini tahun pertama mereka menikah. Adam juga ingin mudik. Persiapan mudik Lebaran pun cukup memusingkan. Paling tidak, enam bulan sebelum bulan Ramadhan harus dipersiapkan biayanya. Mulai dari tiket pesawat pulang dan pergi, oleh-oleh, dan uang saku. Apa lagi Adam memiliki saudara yang banyak. Ia punya enam saudara. Dan mereka telah menikah dan memiliki anak. Itu artinya, ia harus menyiapkan oleh-oleh dan uang saku sebanyak empat belas orang. Belum juga oleh-oleh untuk tetangga. Tidak mungkin pulang kampung tanpa memberikan apapun ke tetangga mengingat Adam sukses di Kota Jakarta.

Eva begitu antusias ingin mudik Lebaran. Mereka berangkat lima hari sebelum hari Lebaran. Dan Eva merasa seperti di neraka. Bayangan tentang mudik Lebaran yang menyenangkan, sirna tak terbantahkan. Rencana awal, mereka memakai pesawat ke Medan. Tapi tiket pesawat meroket mahal. Maka dipilih jalur laut. Mereka tidak mungkin memilih jalur darat karena pasti memakan banyak waktu di perjalanan. Dua hari mereka dalam perjalanan di laut. Satu hari menempuh perjalanan jalur darat karena kampung halaman Adam berada di pelosok.

Eva punya penyakit mag akut. Lambung dan perutnya amat sensitif dengan gejolak dan bau menyengat. Ia pun baru menyadari, ternyata mabuk laut. Selama perjalanan, ia tidak bisa tidur dan makan. Magnya kambuh. Kepalanya berputar-putar. Terpaksa ia tidak puasa. Rasanya ia ingin menceburkan diri ke dalam laut, saking frustrasinya dua hari di atas kapal.

Beruntung keluarga Adam merawat Eva dengan baik. Apa yang dikatakan teman-teman di kantornya benar. Orangtua dan sanak keluarga Adam amat perhatian padanya. Tidak ada kalimat nyinyir di balik lelucon garing. Kalau disederhanakan, pertanyaan yang tepat untuk Eva seperti ini: "Kapan punya anak?"

Sangat menyenangkan mudik Lebaran sekaligus liburan di Medan. Kampung halaman Adam memiliki tempat wisata yang beragam dan indah. Bali pun kalah. Hanya, perjalanan pulang kembali setelah Lebaran, Eva harus mengulangi penderitaannya. Bedanya, setiba di rumah, badannya remuk redam dan tidak ada yang merawatnya.

Masalah datang. Eva kaget mengetahui rumahnya berantakan. Rumah mereka kemalingan. Televisi, kipas angin, dan radio raib. Untungnya mobil dinas masih utuh di garasi. Tidak hanya di ruang tamu, di dapur pun berantakan. Eva baru menyadari, kulkas juga hilang.

Badan Eva tidak keruan. Perutnya bergejolak. Ia lemas berulang kali muntah-muntah tanpa mengeluarkan apapun. Hanya cairan saja. Kepalanya bertambah pusing memikirkan rumahnya yang kemalingan. Ia ingin sekali memarahi Adam. Ia yang bertugas mengunci semua pintu dan jendela sebelum meninggalkan rumah. Pasti suaminya ceroboh. Lupa mengunci jendela. Tapi ia sudah tidak memiliki tenaga untuk marah. Sempoyongan ia merebahkan diri ke ranjang di kamarnya. Di tengah-tengah kamarnya yang berantakan, seprai dan kasur berantakan, dan pakaian di lemari juga berantakan. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin tidur pulas sekarang. Menebus dua harinya.

Eva merasakan pergerakan di sampingnya. Suaminya ikut tidur. "Jangan tidur dulu! Laporkan rumah kita yang kemalingan pada Pak RT atau polisi."

"Besok saja. Aku juga lelah," keluh Adam, yang langsung membalikkan badan dan mengorok tidur.

Eva masa bodoh. Tersisa hari esok, sebelum hari Senin masuk kerja. Ia punya waktu satu hari untuk membereskan rumahnya atau memikirkan rumahnya yang kemalingan. Ia hanya ingin tidur sekarang.

Eva bangun kesiangan. Perutnya melilit hebat. Ia kembali muntah. Ia pergi ke dapur dan tidak menemukan apapun. Tentu saja, sebelum mereka meninggalkan rumah, ia telah mengosongkan bahan-bahan makanan di dapur. Takutnya jika ia meninggalkan bahan-bahan makanan di sana, malah menjadi makanan tikus. Selain mubazir juga.

Dengan tertatih-tatih Eva berbaring di sofa. Sebelum ia berusaha keras membalikkan sofa, yang semula terbalik. Ia memesan dua paket ayam goreng dan es teh. Awalnya ia berniat memesan satu paket saja, tetapi ia melihat suaminya masih tidur. Artinya ia juga belum makan.

Eva merogoh saku celananya untuk mengambil uang. Tidak ada. Ia baru sadar dompetnya ada di tas. Susah payah Eva kembali ke kamar. Tas dan koper masih sama seperti sebelumnya. Belum dirapikan. Ia menggeledah tas kecilnya. Mengambil dompet dan kembali ke ruang tamu. Berbaring di sofa dengan rintihan tak berkesudahan.

Kurir pengantar pesanannya datang. Ia berjalan ke depan rumah bagai mayat hidup. Berantakan. Sampai mas-mas pengantar pesanannya kaget bukan main. Eva tidak peduli. Ia menyerahkan uang. Kembali ke dalam rumah. Ia memakan obat sebelum makan pencegah rasa mual. Ia makan sedikit demi sedikit. Hanya ayamnya saja. Tapi ia kembali memuntahkan apa yang baru saja dimakannya. Magnya terlanjut kumat. Ia memaksa makan sedikit lagi untuk pengganjal minum obat.

Eva tidak menemukan obat maag di tas kecilnya. Sudah habis. Padahal ia membeli banyak sebelum berangkat mudik. Tapi sekarang sudah habis. Ia benar-benar butuh obat atau ia akan berakhir di ranjang rumah sakit. Ia menatap suaminya yang masih tidur memeluk boneka beruang berwarna merah muda. Kemarahannya timbul kembali.

"Bangunlah! Sudah siang! Apa kau akan terus tidur sampai kiamat?" bentak Eva tidak sabar. Ia merampas boneka beruang berwarna merah muda yang dipeluk erat oleh suaminya.

"Kenapa? Ini masih malam," gumam suaminya.

"Malam? Sekarang sudah siang. Lihat ke luar. Matahari sudah di atas kepala!" bentak Eva lagi. Ia kini menarik lengan suaminya agar bangun.

"Aku bangun. Kenapa?" tanya suaminya linglung.

"Belikan aku obat mag di apotek!" perintah Eva.

"Buatkan aku kopi dulu," pinta suaminya sembari menguap.

"Tidak ada kopi. Kita belum belanja. Beli saja di luar. Perutku sakit sekali. Belikan aku obat mag sekarang juga!" bentak Eva tak tahan.

Adam ogah-ogahan berdiri. Ia masuk ke kamar mandi. Mandi ala kadarnya. Sedangkan Eva berbaring di ranjang. Matanya terpejam. Ia merasa perutnya ingin meledak. Kepalanya pun ingin meledak memikirkan rumahnya yang berantakan. Besok Senin. Ia harus bekerja. Hari terakhir sebelum libur Lebaran, semua pegawai negeri sipil telah diwanti-wanti untuk berangkat kerja tepat waktu pada hari Senin setelah libur Lebaran. Telat boleh ditoleransi. Tapi jika minta izin libur, surat peringatan bakal dilayangkan. Termasuk izin libur karena sakit. Tidak ada kata sakit setelah libur Lebaran.

Eva terus tidur. Bahkan setelah Adam kembali dari apotek dengan obat. Eva tidur sampai besok pagi. Sedangkan suaminya makan ayam goreng miliknya. Setelah makan, ia menyusul Eva tidur. Mereka bangun esok pagi. Telat. Eva semakin kacau. Ia sama sekali tidak bisa bangun.

"Semua ini ulahmu! Kenapa kita harus mudik?"

"Kenapa kau menyalahkanku? Bukankah kau yang pertama kali senang kita mudik," balas Adam tidak terima.

"Aku senang jika mudik tidak seperti ini. Seharusnya kau membeli tiket pesawat!"

"Kau saja yang lemah. Kau pasti tetap akan mabuk walaupun naik pesawat," ejek Adam.

Eva tidak terima. Ia melempari Adam dengan bantal. Dengan tas. Dengan koper. Apapun yang bisa ia lemparkan ke tubuh suaminya yang tidak pengertian padahal ia sedang sakit.

"Aku tidak ingin Mudik Lebaran lagi!"

Setelah Eva meneriaki Adam, ia tergolek tidak sadarkan diri. Adam memanggil ambulans. Setelah memastikan istrinya mendapat perawatan, ia berangkat ke kantor tanpa memperhatikan pakaian yang ia kenakan. Ia salah seragam. Dan telat. Ia dan rekan-rekan kerjanya yang juga telat, dihukum membaca sila Pancasila dan menyanyikan lagu Indonesia Raya disaksikan sorotan kamera wartawan.

Kebumen, 05 Juni 2019

Umi Salamah lahir di Kebumen, 21 April 1996. Buku terbarunya Because You Are My Star (novel remaja kontemporer, Alra Media 2017)

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)

Hide Ads