Anak Pertama
Saya sudah tidak tahan dengan kelakuan emak yang suka marah-marah tak jelas. Apa saja dikomentari, dari mulai sendal dan sepatu di depan rumah yang berantakan, kutang dan celana dalam yang lupa diangkat dari jemuran, cucian piring yang menumpuk di kamar mandi, dan banyak hal sepele yang sebenarnya bisa dibicarakan baik-baik tapi ini tidak. Bagaimanapun umur saya sudah 50 dan siapa pun (termasuk emak) tidak berhak memarahi saya. Ketika cucu pertama sakit, dan akhirnya saya harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menemani, saya kerap tak berada di rumah, itu juga membuat amarah emak meradang. Katanya saya tak memperhatikan emak dan kerap kelayapan, hingga tak sempat mengajaknya ngobrol. Saya geram. Sore ini saya menelepon dua adik yang tinggal di Bogor dan Depok, meminta keduanya untuk mengajak emak main ke Bogor atau Depok sementara waktu. Syukurlah, adik saya yang di Bogor membolehkan emak main ke rumahnya. Kepala saya penat. Mudah-mudahan emak betah dan bisa selamanya tinggal di Bogor. Saking pusingnya, saya pernah punya pikiran untuk memasukkan emak ke panti jompo. Untuk apa sih emak hidup kalau hanya menyusahkan anak-anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suamiku hanya seorang satpam di sebuah pabrik tekstil di Jakarta Selatan. Kontrakan rumahku kecil dan sempit. Hari itu, kakak pertamaku menelepon, meminta untuk mengajak emak tinggal bersamaku. Tak tahu kenapa, pelipisku langsung berkedut. Hatiku yang biasanya tersiram kalimat-kalimat rohani dari para ustazah justru menolak itu semua. Seketika emosiku menggelegak jika ingat watak emak yang seperti batu. Berkali-kali lisanku bilang pada semua saudara, sedikit membawa-bawa ayat-ayat Alquran, betapa mulia posisi seorang ibu untuk seorang anak. Tapi sesungguhnya aku takut, karena emak bukanlah seperti emak kebanyakan. Wajahnya selalu cemberut dan muram, terlebih setelah cerita-cerita 'seram' tentang kelakuan emak yang seperti setan membuatku takut setengah mati jika menatap mata emak terlalu lama. Apalagi jika aku dan emak tinggal bersama, duh, ogah. Semua petuah-petuah dari ustazah tentang sosok ibu yang mulia tidak kulihat dalam diri emak. Entah kenapa, usai kakakku menelepon, jantungku berdebar-debar keras. Aku takut jika emak memilih tinggal di rumahku. Mentalku masih rapuh. Aku selalu mengatakan pada si bungsu bahwa emak punya gangguan jiwa; hal-hal gaib yang membuatnya selalu marah. Emak perlu di-rukyah. Adikku bilang, pikiranku ngaco dan tidak beralasan. Entahlah, seperti ada energi negatif yang mendarah daging di hati emak. Mudah-mudahan itu hanya perasaanku saja.
Anak Ketiga
Gue kesel banget saat emak milih main ke rumah adik bungsu di Bogor. Selalu dia, dia, dan dia anak kesayangannya. Bikin gue muak. Gue lempar sendal jepit yang lagi dipakai ke dinding yang ada di kamar kemudian mengambil sebatang rokok dan menghisapnya kuat-kuat. Ah, nikmat. Sungguh lepas dan bebas. Gue kirim Whatsapp ke kakak pertama dan meluapkan kemarahan ke dia. Gue bilang, "Dasar orangtua nggak tahu diri, udah dibeliin kursi goyang, malah milihnya tinggal di anak kesayangannya yang paling miskin." Setelah mengirim itu, gue blokir nomor kakak sulung gue. Di kamar, gue uring-uringan nggak jelas, memesan kopi hitam dua gelas dan menyeruputnya cepat-cepat. Gue update status di Whatsapp tentang kekesalan yang gue rasakan: "Dasar orangtua nggak tahu diri, udah tua, udah bau tanah, masih aja tinggalnya pilih-pilih, bikin kesel aja." Status-status sinis mengalir setelahnya, kebanyakan sindiran ke adik bungsu gue. Gue muak dengan semua saudara, apalagi emak. Bener-bener nggak bisa disayang anak. Gue benci kalian. Gue benci emak.
Anak Keempat
Aku menahan napas setelah menerima telepon dari kakak sulung di Indramayu. Betapa hari-hari setelah ini akan terasa melelahkan. Sudah setahun lamanya emak meninggalkan rumahku, aku bisa hidup tenang bersama suami dan kedua batitaku. Kini segala keributan itu akan terulang. Sejak lulus kuliah hampir delapan tahun yang lalu, aku punya banyak impian yang hanya bisa kupendam dalam hati: menulis, mendirikan taman bacaan, dan memasak, semuanya tidak disukai emak. Tidak ada duitnya, begitu kata emak. Aku selalu menurut, dan terkadang menangis diam-diam di kamar, merenungi dan berpikir: kapan aku bisa bebas melakukan segala hal yang menjadi impianku. Maka, setelah aku menikah, aku mendapatkan ini semua. Aku memilih pergi dari rumah emak dan mengontrak rumah sederhana, tinggal dengan suami. Setelah tiga tahun, kami dikaruniai dua batita yang lucu-lucu. Itu pun jadi pembahasan yang sentimental untuk emak, karena dua anakku lahir berdekatan. Pun suamiku yang bekerja sebagai driver ojek online, membuatku jadi bulan-bulanan emak. Hatiku masygul. Begitu banyak urusan rumah tanggaku yang dicampuri emak.
***
Enam puluh enam. Usiamu sudah cukup renta untuk mengingat-ingat beragam kenangan yang kau dapat dari kehidupan, kehidupan yang bagimu laknat dan brengsek, pantas kau maki dan ludahkan, namun pantang untuk dihindari. Keriput telah mengakar di wajahmu yang dulu jelita, pun asam urat dan darah tinggi telah berenang-renang dalam tubuh langsatmu yang kian menua, seakan-akan mereka adalah belahan jiwa yang senantiasa berada di sisimu--ke mana pun kau berada.
Kau melihat peristiwa dulu sebagai sesuatu yang salah. Salah yang awalnya kau mulai, tapi tak kau akui secara utuh bahwa kejadian itu adalah akibat kesalahan fatal yang kau perbuat sendiri. Kau menyangkalnya kuat-kuat seakan-akan kau adalah nabi yang tak pernah salah. Tak ada istilah "ibu durhaka". Bagimu hanya ada "anak durhaka". Itulah yang membuatmu lantas tak sudi bertanggung jawab atas segala peristiwa kelam malam itu.
"Rumah itu terbakar karena ulah emak sendiri. Kenapa kita yang disalahkan?" Anak perempuan keduamu berkoar. Reksana. Sosok pendiam dan tak banyak bicara. Namun tidak kala itu. Matanya yang semula serupa mata anak kucing yang penurut berubah menjadi mata serigala yang terancam disudutkan musuh.
"Berani kau menyalahkan emak. Dasar anak durhaka!" murkamu, berteriak lantang, mengundang para tetangga menengok pertengkaran di dalam rumah bungsumu.
"Emak menumpahkan ruang dapur dengan minyak tanah. Minyak itu kuat sekali tercium saat peristiwa itu terjadi. Aku memergoki emak di sana malam itu sedang membawa jerigen dan mengawur-awurkannya ke lantai dan dinding rumah. Wajah emak tampak kikuk, entah apa yang emak pikirkan...." Anak bungsumu, Renjana, yang kini membantahmu. Kau beralih pandang. Emosimu makin setinggi bukit. Terlebih egomu, sudah seperti gunung--yang sulit dipecah dan dibelokkan.
"Jadi kalian menyalahkan emak! Kalian ini lahir dari tubuhku, sampai robek-robek demi melahirkan kalian. Masih saja kalian bertindak bagai Malin Kundang, anak-anak tak tahu diuntung!"
"Pahami dulu apa yang sedang dibicarakan di sini, Mak. Emak selalu emosi jika diingatkan peristiwa itu. Tidak ada yang menginginkan rumah itu seperti apa yang Mak pikirkan selama ini. Kita hanya ingin Mak bisa menikmati hidup di hari tua. Kalau Emak tetap tinggal di rumah itu, siapa yang akan menjaga Emak nantinya? Di antara kami tidak ada yang mau tinggal di sana....." anak perempuan sulungmu, Rinjana, yang kini menyangkal.
Kau meraih toples berisi obat-obatan yang ada di atas kulkas, dan melemparkan keras ke anak sulungmu. Tiba-tiba wajahmu merunduk, berteriak bagai orang gila. Membuat para tetangga berduyun-duyun mengintip ke jendela rumah bungsumu.
Puterimu yang ketiga, Reqana, kini berdiri. Dengan panik ia menyulut rokok. Anakmu yang ini memang tomboi sekali, tapi dialah puterimu yang paling lihai berkembang biak. Anaknya sudah enam, masih kecil-kecil pula.
"Emak pengen rumah itu cuma milik emak seorang. Padahal rumah itu bapak wariskan untuk kita berempat juga. Emak nggak rela rumah itu dijual. Makanya Emak bikin ulah dengan membuat seolah-olah rumah itu terbakar. Jahat sekali pikiran Emak. Emak pikir kita mata duitan?" Puteri ketigamu lantang mengucapkan kata-kata ini.
Para tetangga kian mencuri dengar pertengkaran kalian. Kau semakin tersudut, tergolek (pura-pura) muntah-muntah di ranjang reyot beralaskan kasur kapuk berdebu. Dengan sigap, bungsumu segera mengambil baskom dan mengelap bekas muntahanmu pelan-pelan. Kau mengambil sosokku dari dalam bingkai yang tergantung di ruang makan dan membiarkan tergenang oleh leleran air matamu yang terasa hambar--tersengguk-sengguk. Memelukku erat-erat. Aku tahu perasaanmu begitu patah, kau membakar rumahmu sendiri karena ingin diperhatikan, tapi selama rumah itu masih ada dan kau tinggal di sana, anak-anakmu tak akan ada yang sudi tinggal bersamamu.
Linangan air matamu berderai-derai. Kini kau melolongkan suara hingga serak, dan tubuhmu meletih.
Bagaimanapun, ya bagaimanapun, kau adalah seorang ibu, ibu sepantasnya dihormati dan disayangi, batinmu terluka--amat atas pertengkaran hari ini.
"Allah, biarkan aku mati. Biarkan aku mati!" jeritmu tersayat-sayat.
Dia Gaara Andromeda buku kumpulan cerpennya berjudul Percakapan Sepasang Takdir (Penerbit Mediakita, 2014)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)