Mendengar Marauleng Bercerita

Cerita Pendek

Mendengar Marauleng Bercerita

Muhammad Nanda Fauzan - detikHot
Sabtu, 30 Mar 2019 12:14 WIB
Mendengar Marauleng Bercerita
Ilustrasi: Denny Pratama Putra/detikcom
Jakarta - Anjing-anjing liar pesisir menyalak dan merayakan pesta kecil. Beberapa kincang beserta para nelayan menepi, membagikan sedikit ikan untuk mereka. Ini hanya berarti satu hal, nelayan along*. Semua turut bahagia, kecuali radang di dada Ambo Enre yang semakin busuk.

Beberapa bulan lalu, sebelum kejadian sialan di mana ekor pari memecut dadanya, Ambo Enre adalah nelayan pilih tanding. Ia dan kincangnya mampu menembus ganas laut meski gelombang sedang tinggi, laiknya tongkat nabi Musa yang mampu membelah laut merah ia enteng saja pergi melaut tanpa pertimbangan musim. Tak ayal ia dan paila** asing belaka, peti di kincangnya tak pernah pulang tanpa ikan yang melimpah. Kau harus percaya, semua perawan di desa pesisir kami menjadikannya sebagai lelaki idaman nomor dua untuk dijadikan pasangan, setelah Muhammad Ali - sang petinju.

Pagi keparat itu, saat sekumpulan nelayan bersiap melepas tali yang mengikat kincangnya dari pohon kelapa dan menarik jangkar untuk kemudian landas, Ambo Enre ditemukan terkapar di geladak dengan menggenggam golok dan bagian tubuh ikan pari yang terbelah dua, bagian lain tak ditemukan dan entah ke mana. Bagaimana kincang yang ia tunggangi bisa berlabuh di pesisir dengan tenang, bahkan tanpa bantuan jangkar tidak menjadi perhatian.

Mereka paham belaka Ambo Enre bukan pelaut biasa. Yang menjadi sorotan kemudian adalah sang pelaut tangguh yang kini lumpuh selama tiga bulan. Segala jenis pengobatan sudah ia coba, dan hasilnya nihil. Ia bahkan perlu usaha keras untuk sekedar terpejam. Otot matanya tak bekerja. Penduduk desa percaya bahwa ikan pari yang berjibaku dengannya adalah siluman, dan yang mampu menaklukkan hal mistis semacam itu hanya Kiai Jahro.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Aku mengucapkan banyak terima kasih, Yai."

"Berterima kasihlah hanya kepada Tuhan, Nak. Aku hanya perantara."

"Juga kepada Tuhan yang telah memberi perantara, Yai."

"Menikahlah dengan putriku Maryam, agar sempurna agamamu!"

****

Aku selalu suka mendengar Marauleng bercerita. Ia akan mengusap-usap kepalaku sambil sesekali memberi cubitan tak terduga. Sedangkan aku yang menjadikan paha Marauleng sebagai bantal tentu bisa lebih leluasa melihat bentuk dagunya yang sepintas mirip ujung karambol. Selalu begitu. Hanya saja hari ini kegiatan bercerita itu terjadi di dek pesiar yang telah kami sewa.

"Lalu kau tahu apa yang terjadi pada Ambo Enre dan Maryam setelah menikah?"

Aku menggeleng. Hanya ia yang tahu bagaimana nasib tokoh yang ia buat sendiri. Menjawab pertanyaan itu hampir sama artinya dengan menyelam ke dalam imajinasi seseorang, dan itu bukan sekadar perbuatan bodoh tapi juga sia-sia.

"Ambo Enre bisa bergerak kembali, ototnya kini bisa bekerja meski tidak sekuat dahulu. Tapi sayang sekali, dadanya akan kembali meradang saat melihat tetangga pulang membawa hasil laut. Radang itu berasal dari dua hal, rasa iri dan dendam terhadap ikan pari yang saban hari memecutnya. Ia ingin mencari keberadaan ikan pari tersebut, tapi dalam keadaan seperti itu, dengan gerak sehemat apa pun ombak akan menggulung tubuhnya. Maka tinggal satu harapan, Maryam. Ia ingin Maryam memberinya anak agar dendamnya terbalaskan."

Marauleng mengambil jeda. Ia mencomot sebatang rokok dan mengapitnya di antara jari telunjuk dan tengah, lalu meloloskan ke bibirnya yang merah saga. Adegan tersebut indah sekali, dan aku sampaikan padanya ini adalah kali pertama dalam hidupku, aku menyesal tidak dilahirkan menjadi sebatang rokok.

"Satu sloki pertama untuk malam yang panjang," dengan gerak yang gesit dan hemat ia menuangkan Aga White dan menyodorkan padaku.

"Tentu," aku menjawab singkat sambil menghirup aroma buah berry yang menyeruak dari gelas, sebelum akhirnya menelannya ke tenggorokan dan mengambil kesimpulan bahwa hidangan ini tidak terlalu buruk, semacam kombinasi rasa anggur yang lembut dengan tannin yang pekat dan sedikit asam yang segar.

Aku memandang gugusan bintang yang diam, tapi diam-diam berkejaran. Ada jeda yang panjang di antara kami. Aku mulai menimbang-nimbang apa gerangan yang ada di pikiran kekasihku. Barangkali ia sedang mengingat sejumlah kisah di beberapa belahan dunia untuk kemudian sedikit menyunting dan menceritakan dalam bentuk yang berbeda kepadaku. Tapi begitulah cara kerja dongeng, ia seperti musafir tua yang berkelana dari mulut ke mulut lalu di terima dengan bentuk yang sama sekali lain. Dan Marauleng adalah seorang penyunting yang baik.

Pada suatu kesempatan ia pernah menggabungkan kisah Roro Jongrang dan legenda Danau Toba dan Sangkuriang dalam waktu bersamaan. Meski ketiganya berbeda jauh, ia bisa menceritakan dengan cara yang sangat memikat. Kisah tersebut ia beri judul Kepompong yang Meradang. Entah, tak ada sedikit pun kisahnya yang menyinggung soal kupu-kupu atau semacamnya. Dan saat ini aku mengharapkan kisah-kisah semacam itu, sambil menebak kisah dari mana yang akan ia modifikasi.

Marauleng menarik napas dalam sekali. Air mukanya terlihat sendu. Sedikit wine dan gelombang air laut memang cukup membuat lambung siapa pun mual. Ia berbaring di sampingku dan bersiap melanjutkan cerita.

****

Dua bulan setelah Kiai Jahro wafat, Maryam melahirkan seorang bayi perempuan yang elok belaka, dan itu menjadi awal berubahnya perangai Ambo Enre. Kini ia lebih sering pulang dengan keadaan mabuk, sesekali berjudi, dan lebih sering menghabiskan waktu di tempat pelacuran.

Kebiasaan Ambo Enre yang buruk terus terjadi hingga anaknya tumbuh menjadi perawan. Tak ada yang berubah selain tubuhnya yang menyusut, juga dendam yang terus ia pugar. Tak pernah ada percakapan di rumah itu. Ambo Enre akan pulang dan memaki kepada Maryam. Maryam akan memberinya beberapa lembar uang, lalu kembali menyulam kain.

Di ruang belakang anak itu akan mengintip pertengkaran mereka. Tak ada gelagat sedikit pun bahwa Ambo Enre akan taubat. Hingga pada suatu ketika Ambo Enre tidak pulang dan menghilang entah ke mana. Menurut beberapa kesaksian tetangga, ia dihabisi oleh preman karena utang yang menumpuk pada salah satu saudagar, tetapi mayatnya tak juga jelas, tidak juga bayang-bayangnya.

Itu terjadi setelah perdebatan yang hebat. Maryam menolak permintaan Ambo Enre untuk menjual beberapa petak tanah peninggalan Kiai Jahro. Ia menjelaskan bahwa kelak warisan tersebut akan digunakan untuk biaya pendidikan anak perawannya. Sebab utang telah menumpuk, dengan dalih untuk modal Ambo Enre terus mendesak dan berjanji akan membeli kembali tanah tersebut jika ia menang di meja judi.

"Tidak akan lama, aku hanya perlu beberapa petak."

"Tidak, Pak sedikit pun tak sudi!"

Pertengkaran berujung pada memar di pipi kanan Maryam. Ambo Enre menapar sambil mengumpat dengan segala jenis makian paling jahanam yang pernah meluncur di bibirnya. Dari semua makian tersebut tak ada yang lebih menyentuh ulu hati kecuali ucapannya bahwa ia membenci anak yang keluar dari rahim Maryam, tak berguna karena tak bisa melaut, terlebih karena tak bisa membalas dendamnya pada ikan pari yang dulu memecutnya.

Semua berjalan baik-baik saja setelahnya. Maryam terus menyulam dan membuka langgar untuk pengajian sore anak-anak tetangga. Penghasilannya cukup belaka untuk kehidupan keluarga itu tanpa Ambo Enre. Diam-diam ia bahagia tanpa kehadiran suaminya.

Tetapi, anak perempuan itu tanpa sepengetahuan siapapun sedang menyusun rencana untuk pergi menuju entah. Setelah pertengkaran hebat yang melibatkan orangtuanya, ia membulatkan tekad untuk pergi melaut. Tapi ia paham belaka, di kampungnya perempuan melaut adalah hal tabu, seperti seorang pemuda yang menyemburit sapi, hanya akan menjadi gunjingan semata. Tetapi saat ini tak ada yang lebih penting dari dendam ayahnya. Maka, pertama ia akan pergi ke pulau garam.

Ia dengan bekal seadanya pergi meninggalkan Maryam, menuju pulau garam dengan menumpangi kapal di pelabuhan. Tak meninggalkan jejak sedikit pun, kecuali bayangan masa lalu yang suram dan dendam yang ia pugar.

****

Marauleng mengangkat sloki kesekian. Kami bersulang. Bibirnya yang merah saga membuatku bergetar. Aku melumatnya perlahan. Malam mendadak sunyi. Aku tertidur dalam dekapannya, seperti ular yang melilit pohon sukun di pelataran rumah ibadah.

"Kau tahu siapa nama anak perempuan itu?"

"Entah?"

"Marauleng."

Setelahnya entah, terasa kepalaku berat sekali. Tiba-tiba semuanya menguap seperti kabut. Aku tersadar dan menemukan kami berada di tengah samudera sedang menumpangi kincang. Aku memegang golok, dan segerombol ikan pari mengitari kincang kami.

Untuk kawan-kawan Sempro

Serang, Maret 2019

Keterangan:
* mendapat hasil tangkap ikan yang memuaskan
** hasil tangkap ikan kurang, atau tak mendapat hasil sama sekali

Muhammad Nanda Fauzan aktif bergiat di Sekolah Mahasiswa Progresif dan Komunitas Soedirman 30, menempuh pendidikan Jurusan Filsafat UIN Banten

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads