Taman Wisata Plangon dilintasi jalan besar beraspal tebal dan mulus yang menghubungkan dengan Taman Wisata Linggarjati di arah selatan dan Kota Cirebon di pesisir laut utara. Jumlah kami, menurut orang-orang desa, sejak dulu hingga sekarang tak pernah bertambah maupun berkurang. Kami bukan tak pernah ada yang mati atau melahirkan. Melainkan setiap ada satu monyet yang mati, maka akan ada satu bayi monyet yang lahir. Begitu juga sebaliknya, bila di antara kami ada yang melahirkan, maka akan ada monyet yang mati, entah bagaimanapun caranya.
Aku sendiri tidak tahu benar atau tidak jumlah kami 333 ekor. Aku tidak pernah berminat dan punya niat menghitungnya, setidaknya sampai saat ini. Tetapi, cerita tentang jumlah kami yang tak pernah berubah menyebar ke desa-desa lain dan dipercaya begitu saja. Untuk urusan ini teman-temanku pun tampaknya tidak ada yang ingin peduli. Mereka hanya peduli pada pisang dan buah-buahan yang kami sukai lainnya. Kami hidup bergelantungan di antara ranting dan sulur-sulur pohon. Meloncat ke sana kemari memetik buah atau mengejar orang-orang yang membawa pisang dengan suara bising sekali yang kadang membuatku merasa terganggu. Kami tidur di dalam gua, di celah pohon, atau di antara batu-batu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Papa, lihat, dia lucu sekali!" seru seorang anak menunjuk teman kami yang berlagak meniru tingkah manusia. Sang papa melihat monyet yang ditunjuk anaknya ikut tertawa hingga tersedak. Air mineral dalam botol di tangannya sampai terguncang. Sedangkan mamanya hanya tersenyum.
"Lemparkan pisangnya, Nak!" perintah papa.
"Pa, bolehkah monyet itu kita bawa pulang ke rumah?" rengek si anak.
"Nggak boleh, Nak. Dilarang sama penjaga," sahut mama cepat. Tidak seperti suami dan anaknya, mama tampaknya kurang senang datang kemari, apalagi harus membawa monyet pulang ke rumah.
Aku sering sekali mendengar percakapan serupa itu. Tingkah kami yang lucu kerap membuat anak-anak tak tahan ingin membawa kami pulang ke rumah mereka. Tentu saja tak diperkenankan. Namun, konon seorang penjaga pernah mengizinkan sebuah keluarga membawa salah satu teman kami. Bukan karena kasihan kepada anak mereka yang terus merengek, melainkan jumlah kami waktu itu lebih satu, alias 334. Supaya jumlah kami tetap 333, mereka mengizinkan seekor monyet dibawa keluar dari habitatnya. Taman Wisata Plangon punya pawang yang dapat mengetahui jumlah kami tanpa perlu menghitungnya satu per satu. Mereka percaya apa pun yang dikatakan pawang tentang kami. Bangsa manusia kadang memang lebih dungu daripada monyet.
Aku lebih banyak menyendiri dan sebisa mungkin menghindari perhatian orang-orang. Aku bersembunyi di dalam gua atau duduk di cabang pohon tertinggi. Aku lebih suka berdiam diri, merenungkan bagaimana semua ini terjadi. Sulit sekali membicarakan soal ini kepada teman-temanku. Bila kuajak bicara soal ini mereka hanya akan garuk-garuk kepala, lalu berlari meninggalkanku. Membuatku merasa kesepian dan makin larut dalam kesedihan.
Kadang ada pengunjung yang diam-diam memperhatikanku. Mereka saling berbisik melihat tingkahku yang berbeda dari monyet-monyet lainnya. Secara diam-diam pula mereka akan memotretku menggunakan kamera telepon pintar. Sebab mereka tahu aku akan bersembunyi kalau akan dipotret. Aku benci sekali dengan kegemaran mereka memotret kami. Saking kesalnya aku pernah mencakar dan merebut kamera mereka. Akibatnya mereka melempariku dengan batu. Luka lemparan batu masih membekas di kepalaku. Rasa sakit di hatiku lebih dalam lagi membekas.
Sejak itu aku sama sekali tak mau menerima pisang atau apa pun dari mereka. Aku akan makan buah sisa teman-temanku hanya bila benar-benar lapar. Biasanya menjelang maghrib, ketika pengunjung mulai sepi atau benar-benar sudah tak ada pengunjung sama sekali.
Ketika matahari tak menyisakan sinarnya, kami bergerombol dalam beberapa kelompok. Dalam setiap kelompok ada seekor monyet yang dituakan dan dianggap pemimpin. Dialah yang paling banyak berkotbah. Mereka mengobrolkan pengalaman seharian yang bagiku sangat membosankan. Seperti biasa aku menyingkir agak menjauh agar tak terlalu terganggu suara obrolan mereka. Ada seekor monyet muda yang bulunya tidak sekelabu bulu kami pada umumnya mendekatiku. Sorot matanya mencoba mengatakan bahwa dia bersimpati kepada kemurunganku.
"Kamu masih selalu memikirkan bagaimana semua ini terjadi, Paman?" tanyanya dengan suara penuh pengertian. Aku tak menjawabnya. Hanya memberi lirikan terima kasih bahwa dia sudah menunjukkan perhatian kepadaku. Aku merasa perlu berterima kasih atas perhatian semacam ini. Karena jarang sekali teman-temanku yang memberi simpati dan perhatian atas kemurungan dan keresahanku.
"Apakah penting sekali bagi Paman untuk mengetahui asal muasal kita?" ujarnya seraya mengupas pisang. Pertanyaan serupa ini beberapa kali diajukan monyet-monyet lain. Tapi, mereka menanyakannya dengan nada mengejek dan mengolok-olok yang membuat kesal setengah mati. Monyet muda satu ini tampaknya serius meskipun tetap santai. Sejujurnya pertanyaan itu membuatku makin gelisah. Belakangan ini kegelisahan makin menyiksaku. Terutama karena makin lama aku makin tak dapat mengingat kenangan yang terjadi pada hidupku sebelum terlahir kembali sebagai monyet. Tentang apa saja yang kulakukan dalam hidupku sebelum hidup yang kedua ini. Bagiku sangat penting mengetahui siapa diriku sebelum ini.
Kalau benar ini karma, terlahirkan kembali dalam hidup yang kedua menjadi monyet adalah karma yang terburuk. Kesalahan apakah yang kulakukan pada hidupku yang pertama sehingga menanggung karma seburuk ini? Kenangan dalam hidupku yang pertama perlahan-lahan mengabur seperti gambar yang memburam dan hilang terbilas hujan. Hanya sedikit yang tersisa. Di antara yang sedikit itu adalah adegan yang terjadi beberapa jam setelah kematianku. Adegan orang-orang merubung dan menangisiku. Samar sekali aku ingat mereka adalah anak-anak dan istriku. Para petugas membawa mayatku yang mati bunuh diri dengan cara gantung diri di penjara KPK. Mengapa aku dipenjara? Ini yang tak terlacak oleh ingatanku. Aku hanya ingat sering rapat di gedung dewan di Senayan. Entah rapat merencanakan apa.
"Bagaimanakah caranya mengembalikan ingatan itu, wahai monyet kecil?" kataku lirih, hampir seperti menggumam.
"Seandainya tahu caranya aku pasti membantumu, Paman," sahut monyet kecil di sampingku seraya menatapku penuh perasaan iba. Selain punya empati, monyet kecil satu ini tampak lebih cerdas dari monyet penghuni Taman Wisata Plangon ini. Tiba-tiba terbit harapan dalam benakku bahwa bakal ada monyet yang bisa menolongku keluar karma ini. "Makanlah dulu, Paman. Sejak pagi aku perhatikan kau belum makan." Dia menyodorkan pisang ambon yang belum dikupas. Aku meraihnya untuk menghargai perhatiannya. Lagi pula aku memang lapar. Sambil mengupas dan menyuapkan pisang perlahan-lahan, aku menatap monyet kecil itu.
"Apakah kamu punya kehidupan sebelum kehidupanmu sekarang?"
Dia menatapku dengan sorot matanya yang bening menggemaskan. "Aku tak tahu, Paman. Aku tak ingin memikirkannya."
Aku pernah mendengar cerita bahwa sebagian monyet yang hidup di sini dulunya manusia yang mati jadi tumbal pesugihan. Sebagian yang lain adalah prajurit setia Pangeran Panjunan. Ratusan tahun lalu prajurit setia Pangeran Panjunan berperang mempertahankan Keraton Cirebon dari kepungan tentara Belanda. Tentara Belanda dibantu tentara Pangeran Kejaksan yang memihak Belanda menunjukkan kekuatan dan muslihatnya. Prajurit Pangeran Panjunan pun terkepung. Tetapi, mereka tak menyerah.
Sekuat tenaga mereka terus berusaha melindungi keraton dan Pangeran Panjunan. Setelah tak mungkin lagi melawan, mereka yang tak tertangkap tentara Belanda akhirnya melarikan diri ke dalam hutan. Mereka menyusul Pangeran Panjunan yang lebih dulu dilarikan ke sana. Dalam pelarian ke dalam hutan kawanan prajurit yang tersisa yang berjumlah 300 orang, berhari-hari kemudian terpecah jadi dua golongan. Sebagian besar berkeinginan keluar dari hutan dan menyerah kepada Belanda, sisanya tetap bertahan.
Pangeran Panjunan yang kondisinya sudah letih dan menyedihkan tetap mengobarkan semangat kepada prajurit untuk tetap bertahan di hutan. Namun, lama-kelamaan ketika kelaparan mendera mereka sementara hewan dan buah-buahan makin sukar didapat, hanya lima orang yang tetap setia kepada Pangeran Panjunan. Sisanya diam-diam keluar dari hutan dan menyerah.
Ketika para prajurit yang menyerah itu keluar dari hutan, tanpa mereka sadari sekujur tubuh mereka ditumbuhi bulu-bulu berwarna kelabu yang lebat menutup seluruh permukaan kulit tubuh. Ketika mereka berteriak lantaran terkejut, yang keluar dari mulut mereka adalah suara menguik yang menyayat. Sambil menangis penuh penyesalan mereka kembali masuk hutan untuk meminta ampun dan mengucap sumpah setia kepada Pangeran Panjunan. Namun, celaka bagi mereka, Sang Pangeran dan sisa prajuritnya sudah tidak mereka temukan. Mereka moksa.
***
"Itu hanya mitos, Paman. Dongeng yang diceritakan kepada anak-anak sebelum tidur," ujar monyet kecil mengomentari lamunanku. Entah bagaimana caranya dia mampu mengetahui lamunan orang, eh monyet lain. "Kita bukan monyet yang dulunya manusia yang dikutuk," kata monyet kecil itu, lalu merebut sisa pisang dari tanganku yang tadi diberinya, dan mencaploknya seraya beringsut menjauh.
Sepeninggal monyet kecil sok tahu itu aku makin gelisah. Pernyataan monyet kecil sialan itu yang membuatku makin gelisah. Aku terus-menerus memikirkan pernyataan monyet kecil itu. Sejujurnya pernyataannya telah menyinggung perasaanku. Dia sama belaka dengan monyet-monyet yang lain: menganggap fakta bahwa diriku bukan bagian dari mereka tak lebih imajinasiku saja.
Makin hari badanku makin kurus. Aku kehilangan napsu makan sama sekali. Kondisi itu membuat tubuhku makin lemah. Lalu demam pun datang melandaku berhari-hari. Aku sangat merindukan monyet kecil. Monyet kecil berbulu kelabu terang itu jarang tampak di antara monyet-monyet lain. Sekalinya tampak, dia hanya muncul sekelebatan. Ketika kukejar dia menghilang dengan cepat. Sementara monyet-monyet lain makin tak mempedulikanku.
Benarkah kenangan kehidupanku terdahulu sebagai manusia adalah khayalan semat? Sungguh mati pikiran ini membuatku makin gelisah. Mungkin hanya kematian yang dapat memberiku jawaban atas semua pertanyaan ini. Tetapi, aku tak mau mati dengan cara bunuh diri lagi.
Cirebon, 28 Desemmber 2018
Aris Kurniawan lahir di Cirebon, 24 Agustus 1976. Bukunya yang telah terbit berjudul Lagu Cinta untuk Tuhan (kumpulan cerpen, Logung Pustaka, 2005) dan Lari dari Persembunyian (kumpulan puisi, Komunitas Kampung Djiwa, 2007)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)












































