La Ode Une adalah salah satu orang terpandang di Desa Waha, Kecamatan Wangi-wangi, Wakatobi. Pewaris tunggal salah satu kerajaan pertanian terbesar di salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara itu. Usianya dua puluh tujuh tahun, dan dia salah satu donatur tetap sekolah menengah swasta tempat Ratna bersekolah.
Ratna, putri kedua La Baharawi dan Wa Asa, belum genap delapan belas tahun. Baru lulus Sekolah Menengah Kejuruan tahun ini. Merupakan kebanggan bagi Wa Asa bahwa putrinyalah yang dipilih La Ode Une untuk mendampinginya sebagai istri penguasa tunggal puluhan hektar ladang ubi kayu di Wangi-wangi. Harapan Wa Asa melambung. Semenjak suaminya meninggal, dia dan Surdani, putra sulungnya, hanya bekerja sebagai buruh tani di salah satu petak ladang milik keluarga La Ode Une.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
***
Siang itu Wa Asa berdiri tegak sambil mengayun-ayunkan sebatang bambu yang di ujungnya diikatkan plastik warna-warni di antara batang-batang padi. Sebentar lagi panen. Biasanya burung-burung mengganggu bulir-bulir padi yang sudah masak. Tubuh mungilnya hilir-mudik di antara tanaman padi yang ia tanam di ladang belakang rumah. Sesuai dengan cirinya sebagai padi ladang, padi-padi itu butuh waktu enam bulan untuk tumbuh, berbuah, dan siap panen tanpa sekali pun mendapatkan pupuk atau pestisida. Jika hama menyerang, Wa Asa akan membuat ramuan khusus warisan turun-temurun dari nenek moyang berupa daun-daunan kemudian dibacakan doa dan mantra. Lalu Wa Asa akan menggebahkan ramuan tersebut di sudut-sudut ladang.
Ladang di sepanjang jalan menuju Desa Waha terbilang subur. Bisa dilihat dari gemuknya tanaman keladi yang tumbuh di tepi-tepi jalan. Dari sekitar lima ratus meter persegi ladang di belakang pondoknya, dalam satu kali panen Wa Asa bisa mendapat tujuh sampai sembilan karung, masing-masing berisi lima puluh kilogram gabah. Gabah disimpan di rumah dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga sampai musim panen berikutnya, dan sebagian kecil disisihkan untuk bibit. Jika ada lebih, kelebihan itu bisa dijual.
Cara menanam padi ladang tidaklah sulit. Tanah cukup di-tugal, yakni dilubangi dengan menggunakan tongkat kayu yang diruncingkan ujungnya. Lubang-lubang yang tercipta dari tugalan kemudian diisi benih padi, kemudian ditutup dengan rumput atau daun kelapa kering. Rumput dan dahan kelapa perlahan akan membusuk dan menjadi humus bagi tanah. Penggunaan rumput dan dahan kelapa digunakan untuk menyiasati kedalaman tanah di wilayah Wangi-wangi yang tidak lebih dari sepuluh sentimeter, selebihnya adalah batu karang.
Saat terdengar azan zuhur, bergegas Wa Asa pulang ke rumah untuk menyiapkan makan siang anak-anak. "Mala," seru Wa Asa dari dapur dengan suara sedikit tertahan. "Tak ada lauk untukmu siang ini. Lauk semalam sudah habis. Maukah kamu makan dengan sayur pucuk ubi?"
Mala adalah anak bungsu Wa Asa, baru masuk kelas satu dua bulan yang lalu.
"Bukankah sayur itu pedas, Bu? Dengan garam sajalah aku makan," jawab Nurmala.
Wa Asa mengambil sejumput garam, digilingnya halus-halus dan digaraminya nasi untuk Nurmala. "Desti, ini ambil nasimu. Sekalian bawakan punya adikmu."
Kakak beradik itu makan di ruang tengah, lesehan di atas tikar pandan yang sudah aus di beberapa bagian. Desti berkali-kali memandang adiknya yang seperti tak peduli walau tak ada lauk yang menemani nasinya. Dadanya perih.
"Mala, ada berapa murid kelas satu tahun ini, Mal?" Desti mencoba mengalihkan perhatian adiknya dengan mengajaknya mengobrol.
"Ada banyak, Kak. Ada enam belas orang."
"Ish, kau ini. Enam belas kau sebut banyak pula. Di kelas kakak aja ada dua puluh delapan murid. Sedikit berarti anak yang masuk sekolah tahun ini."
"Ya enam belas kan banyak, Kak. Daripada cuma tujuh, kaya anak yang mengaji di musala Haji Amran. Hihihi."
Wa Asa sedang berganti baju di kamar. Tanpa sengaja matanya memandang sebuah foto yang tergantung di dinding. Dalam foto itu, Wa Asa berdiri di atas pasir yang aman dari jilatan ombak, memandang La Baharawi menggendong Surdani, putra sulungnya, berjalan perlahan ke arah laut. Langit berwarna pastel, dipantulkan oleh air laut dan pasir basah. Wa Asa tidak dapat mengingat kapan foto itu diambil. Mungkin beberapa saat sebelum ia mengandung Ratna.
Ketidakmampuannya mengingat detail-detail kecil semacam itu, entah mengapa tak lagi mengganggunya. Sama halnya ketika dia telah lupa kapan terakhir kali memimpikan La Baharawi. Tahun lalu adalah peringatan seribu hari meninggalnya La Baharawi, dan sepertinya masih lama lagi dia baru bisa menyusul suaminya itu. Mendengar celoteh dua gadis kecilnya di ruang tengah, ia merasa yakin bahwa ajalnya masih jauh. Memikirkan hal ini, terkadang ia dipenuhi perasaan marah kepada La Baharawi. Bagaimana mungkin orang dengan semangat hidup yang tinggi seperti dia bisa mati secepat itu?
Wa Asa bergabung dengan anak-anak setelah menyiapkan bekal yang akan dia bawa untuk Surdani. "Sudah, makan dulu yang kenyang, ibu mau ngantar nasi untuk Kak Sur. Nanti kalau Kak Ratna pulang, kasih tahu supaya jaga burung di ladang belakang ya."
"Gimana mau kenyang, Bu. Makan cuma sama garam," celetuk Nurmala.
"Sabar dulu ya, nanti kalau ladang Kak Sur panen ibu belikan telur asin kesukaan Mala."
"Sama belikan sepatu baru ya, Bu. Sepatu bekas Kak Des kelonggaran. Kalau Mala lari sepatunya suka lepas."
Tak lama kemudian Ratna pulang. Setelah berganti baju dan makan siang, dia bersiap untuk mengusir burung di ladang belakang.
"Desti, Mala, mau ikut Kakak jaga burung tidak?"
"Mau..." jawab dua adik kecilnya serempak. Berdua segera membereskan cangkang-cangkang kerang di teras depan dan bergegas mendahului Ratna, berlari ke ladang padi di belakang pondok. Ratna mengekor di belakang sambil termenung teringat cerita adiknya tentang telur asin dan sepatu baru yang dijanjikan ibu untuknya. Andai bapak masih ada, tentu hidup mereka tidak akan semelarat ini.
Selain bertani, La Baharawi juga sering melaut. Perahu La Baharawi diterjang badai subuh itu. Untung, posisi perahu tidak terlalu jauh dengan bibir pantai. La Baharawi ditemukan dalam keadaan pingsan dan tubuh memar-memar terdampar di pasir pantai. Warga langsung melarikannya ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan mengatakan, beberapa tulang rusuk La Baharawi ada yang patah dan harus segera dioperasi. Tak ada pilihan lain, Wa Asa terpaksa menjual tanahnya kepada untuk biaya operasi. Namun, takdir berkata lain. Tak hanya kehilangan tanah pusaka warisan keluarga, Wa Asa juga harus kehilangan suaminya.
Hari kelulusan Ratna pun tiba. Meski tidak termasuk dalam tiga besar nilai tertinggi, nilai Ratna tidak juga bisa dibilang buruk. Sesampai di rumah, dengan dikerubungi kedua adiknya, Ratna memecahkan celengan dari tanah liat berbentuk kucing. Koin-koin bergemerincing tumpah ke lantai bercampur dengan uang kertas yang digulung. Tabungan Ratna dari mulai awal masuk Sekolah Menengah Kejuruan. Uang-uang yang ia sisihkan dari upah yang ia dapat dari membantu panen atau menyiangi rumput di ladang-ladang tetangga. Ratna membagi dua uang dari tabungannya, separuh untuk ibunya dan separuh lagi untuk biaya dia ikut piknik ke Pulau Tomia. Pada hari kepergian Ratna itulah, datang lamaran dari La Ode Une dan keluarganya.
Entah sejak kapan La Ode Une diam-diam mengincar Ratna. Mungkin sudah sejak Upacara Kansoda'a*) Ratna beberapa tahun yang lalu.
Hari yang ditakutkan Ratna pun tiba. Selepas tengah hari, rombongan pertama pembawa antaran untuk pengantin wanita tiba. Ratna yang tengah dipingit hanya bisa menangis mendengar ritual seserahan di ruang tamu. Suara abangnya dan Syamsudin, paman La Ode Une, sayup-sayup merembes ke dalam kamarnya yang dikunci dari luar. Pernikahan disepakati akan dilangsungkan dua hari lagi.
Ratna tak tahu apa yang harus ia lakukan. Melalui seorang tetangga, Anabila Obi berkirim pesan supaya Ratna bersiap kalau tiba-tiba ada ketukan tiga kali pada jendela kamarnya. Ketukan itu adalah tanda Anabila Obi yang datang untuk menjemputnya. Anabila Obi mengajaknya untuk kawin lari. Dua hari, waktu bagi Anabila Obi untuk menyelamatkan Ratnanya. Dua hari, waktu bagi Ratna untuk memilih antara cintanya atau keluarganya.
*) Catatan: Satu kali dalam seumur hidup, setiap perempuan masyarakat Wakatobi akan melalui prosesi Kansoda'a ketika beranjak dewasa. Prosesi adat ini biasanya diadakan satu tahun sekali setelah Hari Raya Lebaran. Mereka didandani dengan pakaian adat, lengkap dengan aksesoris berwarna cerah dan didominasi warna emas. Kepala mereka dihiasi dengan hiasan seperti mahkota yang terbuat dari berbagai jenis bunga dan bulu burung. Selama prosesi berlangsung, dua sampai empat perempuan belia duduk di atas tandu kayu berukuran besar dan diarak keliling kampung. Puluhan saudara laki-laki sang perempuan bertugas menjadi pengangkat tandu. Sepanjang jalan mereka akan bernyanyi dan berteriak-teriak untuk menarik perhatian para tetangga. Tak hanya itu, mereka juga mengguncangkan tandu tersebut ke segala arah seakan bobot tandu seringan kapas. Sementara perempuan yang mereka angkat tidak boleh menunjukkan rasa takut sebagai simbol kedewasaan mereka. Sementara itu kaum perempuan yang masih memiliki hubungan keluarga menari sambil menyanyi di sekeliling perarakan. La Ode Une adalah salah satu pengangkat tandu Ratna. Karena, Asriahyu sepupu La Ode Une berada satu tandu dengan Ratna.
Majenis Panggar Besi terlahir di Banyuwangi. Buku kumpulan cerita pendek termutakhirnya berjudul Tentang Seseorang yang Gemar Meminta Ciuman (Jentera Pustaka, 2018)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)