Jepit Rambut Merah Muda

Cerita Pendek

Jepit Rambut Merah Muda

Neneng Fatimah - detikHot
Minggu, 23 Des 2018 11:32 WIB
Jepit Rambut Merah Muda
Ilustrasi: Anggi Dimas Ramadhan/detikcom
Jakarta - Kali pertama kulihat perempuan itu tengah termangu menatap lalu-lalang kereta di Stasiun Manggarai pada suatu senja. Sorot matanya yang kosong senada dengan tubuhnya yang bersandar lunglai pada tiang. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai kusut oleh tiupan angin kering musim kemarau. Setiap terdengar pemberitahuan ada kereta yang akan melintas, dirinya terjengkat dan cepat berjalan menghampiri batas peron dengan mata menyalang. Hingga akhirnya kereta yang penuh sesak itu berlalu dan langkahnya diseret kembali ke tempat semula seiring dengan nyala matanya yang meredup.

Sore hari begini memang bukan waktu yang nyaman untuk berkereta. Ribuan manusia urban dengan macam-macam aroma tubuh berhimpitan dalam gerbong bagai ikan cue keranjang. Apa boleh buat. Jam berpulang para penglaju itu hampir serentak. Dan, hanya sebagian kecil yang sudi menghabiskan sebagian umurnya di jalanan yang macetnya membuat orang saleh sekalipun menyumpah serapah.

Malam mulai turun dan peron makin padat. Sudah dua rangkaian kereta tujuan kotaku lewat dengan sia-sia dan berhenti hanya sebentar untuk mengangkut beberapa penumpang yang beruntung. Yang nekat lebih tepatnya. Sisanya menyabarkan diri sambil menggerutu atau berbincang pelan. Ada pula yang berdiam diri seperti perempuan berambut panjang yang kulihat tadi. Masih di sini dia rupanya. Kutebak kami satu tujuan karena berada di peron yang sama dan mungkin sama bosannya denganku.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perlahan kuhampiri dengan niatan berbasa-basi dengannya. Dia tetap bergeming dan hanya melirik sekilas. Ragu, kutelan lagi 'hai' yang belum meluncur dan baru sampai tenggorokan. Tiba-tiba sambil menatap tajam perempuan itu bertanya, "Apa?"

Saking terkejut hampir saja aku menjatuhkan ponselku. "Eh, tidak," jawabku gelagapan menahan malu. "Sedang menunggu kereta ya?" tanyaku yang langsung merutuk dalam hati betapa basinya pertanyaan ini.

Perempuan itu menatapku beberapa saat tanpa sepatah kata pun sebelum matanya kembali menerawang jauh. Perasaan malu bercampur canggung menyergap diriku yang tidak tahu harus berucap apa lagi. Satu kereta berhenti dan cukup lowong untuk sekadar bergelantungan, tapi kuurungkan naik.

"Jika bukan lansia atau tidak sedang hamil memang mustahil bisa duduk dalam kereta," ujarku mencoba membuka kembali percakapan. "Kalau saya boleh tahu, Mbak tinggal di Bekasi sebelah mana ya?"

"Tak ada gunanya bertanya seperti itu," jawabnya ketus. "Kecuali kalau Anda bersedia mengantarkan mayat saya sampai ke rumah," lanjutnya.

"Mayat?!" teriakku spontan. Beberapa orang menoleh ke arah kami dan kembali acuh tak acuh.

"Maksudnya bagaimana?" tanyaku heran dengan suara setengah berbisik.

Perempuan itu tersenyum. Ya Tuhan, dia tersenyum! Wajah bekunya mencair dan berganti rupa menjadi sesosok beraut manis dengan tatapan agak jenaka. Seperti bukan perempuan yang kulihat tadi. Seperti orang lain saja. Baru sekali ini aku melihat satu wujud manusia menampung dua orang yang seakan berbeda. Tak kuhiraukan kereta kesekian yang berhenti padahal boleh jadi lebih lengang. Aku masih terpana dengan perubahan atmosfer yang mendadak ini.

"Keretanya kosong tuh. Sebaiknya Anda bergegas, Mas," kata perempuan itu sambil tetap tersenyum.

"Nanti saja. Saya tidak terburu-buru. Lagipula besok tanggal merah," sahutku seraya berusaha untuk tidak terlihat terlalu gembira.

Dia menyisir rambutnya dengan jemari dan menyematkan jepit rambut mungil berbentuk deretan mawar yang diambil dari tasnya. "Saya tidak tahu kalau besok tanggal merah. Apa bedanya dengan tanggal lainnya? Setiap hari itu tanggal merah. Ada yang merah pucat, merah muda, merah saja, dan merah pekat. Merah mana yang Anda maksud?"

Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Dari tadi dia tidak berhenti membuatku sulit berkata-kata. "Mungkin merah bata? Atau, merah delima?"

"Merah delima bagus. Tapi, tiada merah seindah merah darah."

"Berarti merah terang kalau begitu."

"Salah. Merah terang itu seperti cabai merah. Merah darah ya merah darah. Tidak ada nama lain."

"Nah, kalau merah muda itu seperti jepit rambut yang dipakai Mbaknya kan?"

"Tentu saja bukan! Ini bukan merah muda," tukasnya sambil menunjuk jepit rambut mawarnya. "Ini pink. Pink!"

Lalu, seperti dikomando kami berdua terbahak lepas. Entah siapa yang memulai tertawa. Aku sendiri pun terheran-heran karena biasanya aku malas berbasa-basi dengan orang asing. Perempuan ini berbeda. Dia sangat memancing rasa penasaranku. Dan, dia berhasil memantik keberanianku yang selama ini mengendap entah di mana. Dalam urusan perempuan dan percintaan, aku tidak selihai teman-temanku yang dengan mudahnya mendapat pacar. Atau, karena kesibukanku yang makin menggila di kantor sehingga soal yang satu ini terlupakan dengan sendirinya.

"Bagaimana kalau kita minum kopi di sana saja?" Aku menunjuk sebuah kafe di seberang peron.

"Baiklah. Semoga mereka juga menjual cokelat panas."

"Tidak suka kopi?"

"Terlalu banyak kenangan pahit dalam secangkir kopi."

"Wah, puitis sekali," kataku sambil tersenyum.

"Dengan bahasa yang puitis, pahit getirnya kehidupan bisa menjadi indah karena dirangkai sedemikian rupa."

"Terdengar semacam menipu diri." Aku mendorong pintu kafe dan mempersilakan perempuan itu masuk lebih dulu. Setelah memesan minuman, kami memilih meja yang berdempetan dengan jendela.

"Menipu diri itu kalau sakit tapi berpura-pura tidak sakit," ujarnya diiringi dengan satu-dua seruputan cokelat panas yang uapnya mengepul lembut.

"Bukankah berpuitis ria itu sama saja dengan berpura-pura seakan semua baik-baik saja?"

"Sangat berbeda. Yang Anda lihat hanyalah, sebuah kata atau kalimat itu puitis. Cuma berhenti di situ saja tanpa menggali makna yang tersirat di dalamnya."

Keningku mengernyit berusaha mencerna ucapannya. Kuseruput kopiku yang mulai menghangat lalu menatap perempuan itu dan berharap penjelasan lebih lanjut.

"Pernah mengalami peristiwa yang membuat Anda sedih dan kecewa, Mas?"

"Siapa yang tidak pernah? Tidak ada orang yang hidupnya mulus seratus persen."

"Jika sedang bersedih, kecewa, atau bahkan marah, apakah Anda suka mengumpat?"

"Ya, kadang-kadang saja."

"Kehidupan ini sudah terlampau kejam dan selalu menggoda untuk dicaci maki. Tapi, saya bisa gila kalau terus-terusan berkata kasar. Tapi, saya ingin tetap memaki. Makanya saya menyamarkan segala cacian itu dengan kalimat-kalimat yang indah menurut saya. Bukan berpura-pura tidak menderita. Bukan berpura-pura tidak sakit. Ini soal bagaimana kita mengemas penderitaan dan kesakitan agar tidak terlalu mencolok."

Aku manggut-manggut meski kepalaku rasanya makin pening. "Oh iya, pertanyaan saya tadi belum dijawab. Mbak tinggal di mana?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.

Perempuan itu tersenyum simpul penuh arti. "Jawaban saya masih sama seperti tadi."

"Kok, bilang begitu? Memangnya mau mati sekarang?" candaku sambil tersenyum.

Di luar dugaan, wajahnya mengeras dan matanya berapi-api.

"Saya memang hobi mencaci maki hampir semua hal. Namun, sebenarnya saya sudah sangat lelah. Yang bisa menghentikan kehidupan hanyalah kematian. Abadi dalam kekosongan jauh lebih baik daripada fana dalam penderitaan. Betul fana alias sementara. Tapi, bukankah seratus tahun pun tetap dihitung fana? Dan, itu bukan waktu yang sebentar untuk menderita. Omong kosong dengan ungkapan 'aku ingin hidup seribu tahun lagi'. Dunia ini tempat penjagalan paling sadis. Sebelum mati disiksa dulu hidup-hidup oleh cobaan tiada henti. Alangkah mengerikan! Tidakkah mematikan diri adalah kereta kita yang sejati?"

Aku menganga takjub. Belum pernah kutemui orang yang begitu antusias membicarakan kematian. Perempuan ini betul-betul penuh dengan kejutan yang justru membuatku ingin mengenalnya lebih jauh. "Bisa jadi seperti itu," aku mencoba mengimbangi alur pembicaraannya, "Tapi, tidak selalu. Masih banyak hal indah di dunia ini. Salah satunya yaitu...."

"Yaitu?"

Kuseruput kopiku sambil mengumpulkan keberanian sebelum melanjutkan, "Yaitu perempuan yang sedang duduk di hadapan saya saat ini."

Dia terdiam sesaat lalu memegang tanganku sembari berkata lirih, "Terima kasih. Tapi, saya harus pulang sekarang."

"Maafkan saya yang sudah lancang," ujarku terbata-bata. Perempuan itu segera beranjak. Sesampainya di ambang pintu dia masih sempat menengok padaku sebelum benar-benar pergi. Ada bulir-bulir bening yang hampir tumpah dari matanya yang memerah.

Sial! Aku mengepalkan tinju dan menggebrak meja hingga mengejutkan pelayan kafe. Bodoh sekali! Aku memang payah soal perempuan. Harusnya aku banyak belajar dari teman-temanku. Kubenamkan mukaku pada kedua telapak tangan dan tenggelam dalam lamunan panjang yang dibuyarkan oleh satu lengkingan histeris. Kusampirkan ranselku pada sebelah bahu, dan keluar menuju peron. Sepertinya ada keributan. Orang-orang berlarian menuju rel sambil berteriak-teriak.

"Ada yang mati! Bunuh diri! Ada yang bunuh diri!"

Susah payah aku merangsek maju ke tengah kerumunan. Seketika diriku terkesiap mendapati jepit berbentuk deretan mawar yang tidak lagi merah muda karena telah bercampur dengan merahnya merah darah.

Neneng Fatimah bermukim di Bekasi. Alumnus Universitas Gadjah Mada, hobi menulis di kala senggang

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com (mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads