Mayat di Jok Belakang

Cerita Pendek

Mayat di Jok Belakang

Ardi Kurniawan - detikHot
Minggu, 16 Des 2018 09:18 WIB
Mayat di Jok Belakang
Ilustrasi: Anggi Dimas Ramadhan/detikcom
Jakarta - Terang bulan malam ini. Jalanan sepi dan lengang. Sorot lampu mobil yang menyilaukan terlihat di kejauhan. Deru mesin mobil kian terdengar. Sebuah Corolla DX berwarna putih krem melaju kencang. Jarum speedometer menunjuk angka 60 kilometer per jam. Dari alat pemutar musik terdengar suara Julian Casablancas menyanyikan lagu berjudul 12:51. Seorang laki-laki berjaket kulit berada di balik kemudi. Namanya Rusdi. Ia baru pulang dari kerja. Mulutnya beraroma alkohol.

Malam ini Rusdi pulang terlambat. Ia harus menyelesaikan pekerjaan yang sudah tenggat. Larut malam pekerjaannya baru selesai. Ia tidak sendirian. Di kantornya yang berlantai dua puluh, beberapa lantai masih menyala. Di dalamnya ada banyak pekerja yang letih dan berharap bisa segera pulang. Tapi, kau tahu bukan, di kota ini pekerjaan seperti tidak pernah berhenti datang?

Kian malam, jalanan kian sepi. Hanya cahaya rembulan dan kesunyian yang menemani. Sesekali ada satu-dua mobil berpapasan. Rusdi betul-betul lelah dan mengantuk. Ia ingin segera sampai di rumah. Kadang-kadang ia tak sempat berganti baju dan tertidur di sofa. Televisi ia nyalakan sampai pagi. Sesekali di tengah malam ia menonton berita-berita politik yang ia pikir tak ada gunanya. Sejak kapan berita-berita itu berpengaruh kepada hidupnya?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rusdi menginjak pedal gas lebih dalam. Ia memacu mobil kian kencang hingga terdengar suara....

Brakkkkkk!!!!!

Kantuknya seketika hilang. Rusdi memundurkan sedikit mobilnya. Ia ingin sekali melihat apa yang ia tabrak. Campuran antara rasa takut dan kantuk membuatnya enggan keluar dari mobil. Sepanjang jalan tadi ia hanya melihat sedikit mobil. Apa mungkin ada manusia berjalan-jalan di tengah malam yang sepi? Apa kira-kira yang ditabrak mobilnya? Rusdi kembali menekan pedal kopling, memindahkan persneling ke gigi satu, dan menginjak pedal gas. Pelan-pelan ia pergi sambil sesekali melihat kaca spion. Rusdi tidak tahu ada sepasang mata manusia mengamati kejadian tadi. Sepasang mata itu menatap ke layar telepon genggam dan menghubungi salah satu nomor.

Belum sampai dua kilometer, Rusdi berbalik arah. Ia didera perasaan bersalah dan penasaran. Kali ini ia mengumpulkan sedikit keberanian. Sambil menenggak bir yang tersimpan di dashboard, ia keraskan volume pemutar musiknya. Lagu Hard to Explain dari The Strokes mengalun di telinganya. Keberaniannya sedikit bertambah.

Rusdi menghentikan mobilnya di tempat tabrakan tadi. Ia mengambil senter di dashboard. Pelan-pelan ia membuka pintu mobil. Senter diarahkan ke jalan. Ada darah berceceran. Sesosok laki-laki bertubuh agak gemuk sedang tergeletak. Bagaimana mungkin ada manusia di jalanan yang begitu sepi ini? Apa yang ia lakukan? Rusdi memeriksa nadi laki-laki itu dan memastikan kematiannya. Ia menggeledah pakaian laki-laki itu. Tidak ada dompet. Tidak ada kartu identitas. Tidak ada tanda pengenal. Tidak ada telepon genggam. Sungguh ganjil.

Keganjilan-keganjilan itulah yang membuat Rusdi mengurungkan niatnya untuk menelepon polisi. Dengan susah payah ia seret mayat laki-laki itu ke dalam mobil. Pada mulanya ia hendak meletakkan mayat itu di bagasi belakang. Tapi, ia khawatir di depan bertemu polisi. Jika bagasi mobilnya dibuka dan ada mayat di sana, ia bisa segera dituduh melakukan pembunuhan. Mayat itu akhirnya ia letakkan di jok belakang dalam posisi tertidur.

Mesin mobil kembali ia nyalakan. Untuk mengurangi rasa takut, Rusdi kembali mengeraskan suara pemutar musik di mobilnya. Kali ini suara Pete Doherty terdengar menyanyikan lagu Dont Look Back Into the Sun. Rusdi jelas tidak akan pulang ke rumah malam ini. Siapa yang cukup gila untuk pulang dengan membawa mayat orang tak dikenal?

Di antara kegelapan malam, sepasang mata kembali mengawasi gerak-gerik Rusdi. Setelah Rusdi pergi, pemilik sepasang mata itu mulai terlihat jelas. Seorang laki-laki berusia 30-an. Pakaiannya serba hitam. Terdengar suara dari telepon genggamnya. "Rencana pertama sudah beres." Tidak berselang lama, sebuah mobil berhenti di lokasi tabrakan tadi. Laki-laki tadi masuk ke dalamnya. Mobil segera pergi menembus malam. Entah apa yang sedang direncanakan orang-orang di dalamnya.

Rusdi mengarahkan mobilnya ke minimarket yang buka 24 jam. Ia membutuhkan sedikit rokok dan bir untuk mengurangi kecemasan. Mobil ia parkir di tempat yang agak gelap. Rusdi keluar dari mobil. Ia berjalan ke arah minimarket sambil menyapukan pandangan ke sekitar. Kalau-kalau ada yang mengawasi dan mengikuti. Rusdi membuka pintu minimarket. Hanya ada dua pegawai. Satu pegawai berada di kasir sedang menghitung uang. Pegawai yang lainnya sedang menata barang. Selain itu hanya ada dua pengunjung. Satu laki-laki yang sedang mengambil uang di ATM. Pengunjung lainnya sedang memasukkan dua kaleng minuman bersoda ke dalam keranjang belanja. Rusdi mengambil sekaleng bir di lemari pendingin dan pergi ke kasir. Tidak lama ia sudah keluar sambil membawa sebungkus rokok.

Rusdi mengambil sebatang rokok dari bungkusnya. Ia memantik korek gas. Api menyala membakar rokok. Rusdi menghisap dalam-dalam. Asap mengepul ke udara. Malam yang dingin jadi sedikit hangat. Mata Rusdi menatap ke sekitar. Tatapannya terhenti di satu baliho yang terpampang tidak jauh dari minimarket. Ukuran baliho itu cukup besar. Dari kejauhan sudah dapat terlihat. Baliho itu diterangi cahaya lampu yang cukup banyak. Gambarnya terlihat cukup jelas meski di kegelapan malam. Ada wajah seorang politisi yang tercetak di baliho. Lengkap dengan nama, gelar, nomor urut, logo partai, dan ajakan untuk memilihnya saat pemilihan umum.

Rusdi meyakinkan pandangannya. Wajah yang tercetak di baliho itu sama persis dengan wajah orang yang baru saja ia tabrak. Tidak salah lagi. Mayat yang ada di jok belakang mobilnya adalah mayat seorang politisi. Rusdi menyalakan telepon genggamnya. Mengetik nama politisi itu di mesin pencari Google. Rentetan berita muncul di laman pertama pencarian Google. Rusdi mengklik salah satu berita.

Jakarta - Sudah tiga hari politisi Partai Rakyat hilang. Terakhir ia terlihat melakukan kampanye di daerah pemilihannya. Setelah itu tidak ada yang melihatnya. Polisi masih mengumpulkan keterangan dari berbagai saksi. Ketua Partai Rakyat belum dapat dimintai keterangan mengenai kasus ini. Beredar dugaan politisi ini diculik lawan politiknya. (Adm)

"Bangsat!" umpat Rusdi berkali-kali di dalam mobil. "Orang ini pasti sudah mati sebelum aku menabraknya. Pembunuhnya sengaja melempar mayat itu saat aku lewat. Orang-orang akan mengira aku yang membunuhnya. Dan, para pembunuh sebenarnya bisa bebas. Benar-benar brengsek."

Rusdi mengarahkan mobilnya ke motel di pinggir kota. Tempat yang memungkinkan ia bersembunyi untuk sementara. Setidaknya sampai ditemukan jalan keluar dari masalah pelik ini. Tidak berapa lama, Rusdi tiba. Ia segera menemui resepsionis dan memesan satu kamar. Esok siang ia akan segera pergi lagi. Rusdi mendapat kunci kamar nomor delapan puluh. Ia mengucapkan terima kasih dan segera masuk ke kamar. Badannya segera rubuh di kasur. Kantuk tak tertahankan lagi.

Di luar motel ada satu mobil yang mengikuti Rusdi. Tidak jelas ada berapa orang di dalamnya. Kaca mobil begitu gelap. Mungkinkah mereka sedang merencanakan sesuatu? Apa hubungan mereka dengan mayat politisi itu?

Hari sudah cukup siang saat Rusdi terbangun. Ia meraih remote dan menyalakan televisi. Ia mencari siaran berita. Tidak ada berita yang dicarinya. Semua berita nyaris sama seperti kemarin. Semua berita tidak ada bedanya antarsatu televisi dengan yang lain. Televisi ia matikan lagi.

Rusdi beranjak keluar kamar. Ia memanaskan mesin mobilnya. Mayat politisi itu masih ada di jok belakang. Rusdi masih pikir-pikir untuk menyerahkan mayat ini ke polisi. Secara teknis, ia yakin menabrak politisi ini dalam keadaan sudah mati. Meski begitu, Rusdi juga berpikir bahwa hal itulah yang diinginkan pembunuh yang sebenarnya. Bagaimana kalau pembunuh itu menyiapkan saksi-saksi palsu? Belum lagi fakta yang nanti terungkap bahwa ia mampir ke bar sebelum tabrakan itu terjadi. Rusdi sendiri yakin ia tidak mabuk malam itu. Ia masih cukup mampu mengemudi setelah minum sebotol bir dingin di bar.

Rusdi menyerahkan kunci kamar ke resepsionis. Ia berencana membuang mayat politisi itu ke laut. Ia menyalakan GPS di telepon genggamnya. Mencari jalan ke pantai yang sepi. Nanti malam ia akan melempar mayat politisi itu ke laut. Setelah itu hidupnya akan kembali tenang. Pemutar musik dinyalakan. The End Has No End dimainkan The Strokes. Deru mesin mobil kian keras. Rusdi menginjak pedal gas dalam-dalam. Corolla DX berwarna putih krem itu melaju kencang. Sesekali Rusdi melirik ke kaca spion. Sejak keluar dari motel tadi ia memang merasa ada yang janggal. Ia merasa ada yang mengikutinya.

Rusdi kian kencang memacu mobilnya. Di belakang ada satu pengendara motor yang ia sadari mengikutinya terus. Dua kilometer di depan ada dua tikungan, Rusdi berencana mengecohnya. Ia kebut lagi mobilnya dengan kecepatan tinggi selepas tikungan pertama. Tidak berapa lama terdengar bunyi ledakan begitu keras. Mobil Rusdi terbakar. Asap hitam mengepul ke arah langit.

Ardi Kurniawan pengajar dan peneliti, menetap di Yogyakarta

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads