Perkawinan Harimau

Cerita Pendek

Perkawinan Harimau

Guntur Alam - detikHot
Sabtu, 01 Des 2018 10:00 WIB
Perkawinan Harimau
Ilustrasi: Nadia Permatasari/detikcom
Jakarta - "Lima puluh juta, Min. Kita bagi dua. Dua puluh lima juta lebih dari cukup untuk pesta pernikahanmu."

Itulah yang diucapkan Satam seminggu lalu, sebelum dia memutuskan untuk menerima tawaran mengerikan ini: Berburu harimau belang! Berburu puyang yang mereka keramatkan.

Astaga! Sampai detik ini pun Samin masih tak percaya bahwa dia sudah terjebak dalam hutan rimba bersama Satam, menyusuri lembah dan ngarai yang masih sedikit lembap dan gelap demi lima puluh juta yang berwujud hewan berkaki empat dengan cakar, taring, belang memesona, dan auman yang tentu saja mendirikan bulu roma.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semula bermula dari kebrengsekan calon mertuanya, ayahnya Murdia. Lelaki paruh baya berkulit gelap dan berotot liat itu tak ingin menurunkan harga atas mas kawin pernikahan putrinya. Uang sepuluh juta, emas satu suku (6.7 gram), juada berbentuk mie goreng seratus kardus -yang harus dibagikan kepada seluruh kerabat Murdia dan nantinya diganti dengan barang-barang oleh mereka-dan pastinya beras satu pikul (100 kilogram).

Tentu saja itu semua belum termasuk tetek bengek hajatan pernikahan yang harus digelar. Harus ada organ tunggal semalam suntuk yang memainkan musik-musik dangdut koplo dan remix yang penuh birahi. Jika dipikir-pikir, semua itu memang tergolong murah dibandingkan dengan pintaan-pintaan yang lazimnya berlaku di dusun mereka, Tanah Abang.

Sial! Kepala Samin terasa berpenyar. Sedikit berkunang-kunang. Dia tak punya banyak waktu untuk terus menunda-nunda pernikahannya. Perut Murdia akan terus membesar seiring minggu dan bulan yang berjalan. Kalau bukan perkara itu jua, dia belum siap berumah tangga.

Sebenarnya, dia pun hendak lari dari tanggung jawab, tapi ayah mertuanya itu menangkap basah ulahnya. Dan dia pun terkejut ketika Murdia mengatakan padanya seminggu silam bahwa perempuannya itu telah telat datang bulan.

Samin tak pernah menduga bila pagi itu, ayahnya Murdia memutar balik sepeda motor setelah sampai di kebun karet karena ketinggalan pisau sadap. Dan dia yang ketagihan pelukan Murdia, tak ingin membuang waktu dan kesempatan. Begitu melihat orangtua Murdia sudah pergi dan kondisi dusun yang melengang, dia bertandang ke teras rumah panggung gadis pujaannya itu. Mengobrol ala kadar sembari melihat situasi, saat merasa semua aman dan sepi, dia menarik tangan gadisnya ke dalam rumah dan semua ditumpahkan di sana.

Dia hampir saja mati ditikam ayah Murdia saat menemukan Samin yang telanjang dan menindih anak gadisnya, tetapi lelaki itu masih sayang dengan harga diri: Nikahi atau kau pilih membusuk di penjara! Dan Samin gentar.

***

Sebenarnya, ayah Samin sudah menjual sebidang kebun karetnya untuk membayar mas kawin yang dipinta besannya. Harga yang murah. Cuma tiga puluh juta dan semuanya sudah habis karena sisa dari mas kawin digunakan untuk biaya seserahan.

Dulu, saat perusahaan batubara hendak membuat jalan ke dermaga di Sungai Musi, kebun karet itu sudah ditawar, lebih dari empat puluh juta. Namun ayah Samin bersikukuh dengan harga delapan puluh juta. Sialnya, kebun karet sebelahnya mau dibayar dengan harga yang ditawarkan karena dia butuh menikahkan anak. Jadinya, jalan dermaga batubara itu sedikit berkelok dan berbelok, mengitari kebun karetnya. Orang perusahaan itu lebih memilih rugi beberapa tetes solar karena mobil yang berputar tinimbang membayar harga yang dia pinta untuk kebunnya.

Sejak mas kawin semakin mahal dan orang-orang dusunnya lebih memilih gengsi dan harga diri, kebun-kebun karet itu telah beralih fungsi menjadi kebun sawit, hutan tanaman industri untuk pabrik kertas dan tentu saja, menjelma kawah-kawah dan danau yang dalam setelah batubaranya dikeruk dan diangkut dengan berpuluh-puluh truk saban harinya. Sementara orang-orang dusunnya? Semakin tak tahu harus menyambung hidup dengan apa. Menjadi buruh di perkebunan sawit dan tambang batubara bukan perkara mudah. Sudah jadi tabiat orang dusunnya yang pemalas dan tak memiliki otot sekuat pendatang dari tanah seberang.

Sejatinya, Samin hilang akal. Dia tak tahu lagi harus mengumpulkan uang dari mana untuk pesta pernikahan. Mas kawin dan seserahan memang telah dibayar lunas, tapi menikah tanpa pesta bukanlah adat dan tradisi orang dusunnya. Sementara, ayahnya sudah memilih angkat tangan. Tak ada lagi yang bisa dia lakukan.

"Kita cuma punya sebidang lagi kebun karet. Itu pun cuma tiga ratus batang pohonnya. Kalau dijual juga untuk pesta kawinanmu. Mau makan apa kita?" ayahnya bersungut-sungut saat dia merengek-merengek lantaran pening memikirkan nasibnya dan Murdia.

***

"Apa tak ada cara lain, Bang?"

Murdia yang menyandarkan kepala di dadanya bertanya. Samin meremas-remas jemari perempuannya. Dia pun sesungguhnya gentar dan cemas, tapi apa dia punya pilihan? Tak ada yang dapat dia perbuat. Hanya tawaran Satam satu-satunya jalan keluar yang dia punya.

"Abang pikir tak ada, Dik." Samin menelan ludah, kesat.

"Aku takut abang terluka. Harimau binatang buas. Bagaimana jika dia menerkam abang?" Murdia bertanya sembari mendongak, manik mata mereka bertemu. Tangan Murdia terus menerus mengelus perutnya yang memang perlahan membuncit. Samin menelan ludah lagi.

"Aku janji akan kembali dengan selamat. Membawa kulit puyang dan tentu saja uang untuk pesta pernikahan kita." Samin mengelus-elus rambut Murdia. "Tak usah risau. Aku berburu tak seorang diri, ada Satam bersamaku. Kami juga membawa tombak dan senapan. Bila puyang itu hendak menerkam, kami akan lemparkan tombak dan tembakan."

"Bagaimana bila meleset?"

Samin menelan ludah kembali, kali ini rasanya pahit.

"Tak akan," dia buru-buru menepis risau. "Satam mahir dalam melempar tombak. Melempar tombak ke dalam air saja dia jitu. Kau kenal dia sejak kecil, sudah berkali-kali kau melihat dia dapat menembak ikan gabus di dalam air dan tepat. Sudah pasti dia tak akan meleset. Kalau masalah senapan. Aih, itu mudah. Menembak burung gereja dan tupai saja abang jitu, apalagi dengan puyang yang berbadan besar itu."

Degup di dada Samin berdebar lebih kencang dan keras. Dia berusaha meredamnya, tak ingin Murdia membaca kecemasan yang bertumbuh dalam dadanya.

"Pokoknya kau jangan risau. Abang janji pulang dengan selamat dan membawa uang untuk pesta kawinan kita. Peganglah janji abang. Abang bukan lelaki yang suka ingkar janji."

Murdia berusaha tersenyum, tetapi hambar. Manik-manik matanya terlihat semakin lembap dan memerah, lalu perlahan sepasang air hangat meluncur dari sudut matanya.

"Bukan cuma perkara abang tak kembali, tapi aku juga takut karma, Bang," desisnya di antara isak yang tak bisa ditahannya. "Abang tahu sendiri kan kalau harimau belang adalah puyang keramat. Bagaimana nasib kita kelak kalau abang sampai membunuh puyang. Mengulitinya dan menjualnya. Aku takut kita akan ditimpa kemalangan yang tak berujung sampai tua nanti."

Samin meremas jemari Murdia.

"Tak usah risau. Itu hanya mitos. Cerita orang-orang dulu untuk menakut-nakuti kita agar tak mengusik harimau belang."

Murdia kehilangan kata, Samin pun kehabisan bahasa. Mereka hanya berdekapan, menindih cemas yang tumbuh semakin liar. Di luar, malam merangkak menaiki langit bersama suara burung pungguk yang sengau.

***

Sudah dua hari dua malam, dia dan Satam terjebak dalam rimba ini. Namun belum ada tanda atau jejak kaki harimau belang yang mereka cari. Beberapa kali mereka menemukan jejak babi hutan, tapi itu bukan tujuan mereka. Bila malam datang, keduanya memanjat pohon dan tidur di atasnya. Jika hujan turun, keduanya memasang terpal untuk bernaung.

Ternyata berburu harimau belang tak semudah perkiraan Samin. Di dalam angannya, dia menggadang impian, harimau itu dia temukan dalam beberapa jam pencarian, lalu dia dan Satam beradu ketangkasan dan kegesitan untuk menaklukkan hewan buas itu. Terlebih saat Satam cerita bahwa rimba semakin menyempit dan harimau belang kian terjepit. Nyatanya? Sudah hari ketiga, jejak kaki harimau belang pun belum mereka temukan.

"Bila hari ini tak jua kita temukan, sebaiknya kita kembali ke dusun dulu," ucap Satam saat keduanya mengunyah mie rebus yang masih mengepulkan asap. Ketel kecil yang tergantung di atas perapian bergemuruh, memberi petunjuk bila air di dalamnya telah mendidih. "Bekal kita hampir habis. Hanya cukup untuk perjalanan pulang."

"Kita berburu kancil atau rusa saja. Tanggung pulang. Aku sudah janji pada Murdia untuk pulang membawa uang."

Satam ingin membantah, tetapi urung dilakukannya karena cupingnya mendengar ranting berderak di belakang mereka. Dengan sigap, dia menyambar tombak, tapi terlambat. Sesuatu tiba-tiba melayang di udara, menerkam Satam dan terdengar auman yang mendirikan bulu roma.

Samin gemetar, mie-nya tumpah, tangannya berusaha menarik senapan, tapi terlepas dan jatuh di ujung kakinya. Lututnya terasa goyah dan berat, terlebih saat dia melihat Satam dicabik-cabik tanpa belas kasihan. Seketika rerumputan dan semak memerah.

Sebelum Samin dapat melawan ketakutan dalam dirinya, harimau belang itu sudah melepaskan Satam dan menatapnya dengan kilatan tajam. Darah Satam menetes-netes dari taring dan kukunya. Harimau itu mengambil ancang-ancang. Nyawa Samin terasa melayang.

Kampung Muara - Pali - G59, 2016-2018.

Untuk Mbak Okky Madasari dan Mbak Sarasdewi

Guntur Alam buku kumpulan cerpennya Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang (Gramedia Pustaka Utama, 2015). Kini menetap di Pali, Sumatera Selatan. Bisa dihubungi di Twitter @AlamGuntur

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads