Sebotol Air dan Sebuah Perjalanan

Cerita Pendek

Sebotol Air dan Sebuah Perjalanan

Ongky Arista UA - detikHot
Sabtu, 24 Nov 2018 10:46 WIB
Sebotol Air dan Sebuah Perjalanan
Ilustrasi: Nadia Permatasari/detikcom
Jakarta - Perjalanan itu akan ia mulai pagi ini. Sebongkah cahaya di kaki langit timur telah naik sejengkal. Sebuah tas hitam yang agak lusuh telah melekat di punggungnya. Tak ada apa pun yang perlu dipersiapkan lebih lanjut sebab tak akan ada apa pun yang benar-benar penting untuk dibawa selain sebotol air minum. Selebihnya adalah kekuatan mental, itu pun telah berangsur ia persiapkan sejak beberapa hari sebelumnya.

"Air minum ini tidak boleh diminum sebelum kau mendapati keberuntungan." Ia mengerti apa yang dimaksud istrinya. Tapi soal keberuntungan, ia belum benar-benar mengerti seperti apa wujudnya, terlebih soal air minum yang tidak boleh diminum.

Ia berdiri tegak, memandang ke arah rumahnya. Segenap kenangan seperti runtuh di matanya. Beberapa langkah kaki mengantarnya ke depan agak jauh. Ia berbalik, memandangi lagi rumahnya, berupaya memindai segala kenangan dari rumah ke otaknya setelah beberapa langkah kian memastikan betapa jarak antara dirinya dan rumah itu kian jauh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jangan sampai bernafsu pada perempuan cantik!" juga kata istrinya.

Soal bagaimana caranya agar tidak bernafsu pada perempuan cantik, ia tentu perlu berpikir panjang. Sampai pun tubuhnya terlempar ke badan jalan raya dan akhirnya tersuruk ke dalam bus tua yang melayani tujuan antarkota, ia masih berpikir, bukankah kecantikan itu makanan terlezat bagi nafsu? Bagaimana untuk tidak? Apalagi, telah bertahun-tahun lamanya ia menahan nafsu untuk yang semacam itu.

Dalam bus kepalanya menempel pada jendela yang buram oleh goresan-goresan tak beraturan. Kendaraan-kendaraan terekam melintas, seolah bergesekan dengan tubuhnya sendiri. Disaksikannya kendaraan yang melaju cepat, juga pelan-pelan. Ke mana orang-orang sedang berjalan, apa saja urusan orang-orang itu, dan berapa lama orang-orang akan melakukan perjalanan. Ditariknya tubuh yang mulai teramat miring ke jendela untuk kembali tegak. Matanya masih tertuju ke hamparan jalan yang dilumuri misteri perjalanan. Terlihat matahari mulai menaiki atap bus. Ia memandang penumpang di dekatnya, dan ia merasa sedang memandang dirinya sendiri.

Dalam perjalanan, ia bukan milik siapa-siapa, bahkan bukan milik dirinya sendiri, begitu ia menyadari. Segala hal bisa terjadi dalam setiap jengkal perjalanan. Ia bisa tersesat, kecelakaan, kehabisan bekal mental, tersangkut tubuh seorang perempuan, dan seterusnya. Ia telah berpasrah diri. Istrinya tentu juga telah mempertimbangkan hal yang semacam ini. Dan, jika ia nantinya tak kembali ke pintu rumahnya, dalam arti kembali ke pintu lain, itu sudah hukum.

Ia turun di sebuah persimpangan setelah dua terminal dilewati berurutan dari arah barat. Cukup sampai di situ saja uang yang dipunyainya sebagai ongkos perjalanan, kata tukang tarik ongkos bus yang ditumpanginya. Maksud perjalanan adalah pertaruhan. Perjalanan ini, atas nama murninya maksud perjalanan, haruslah berlanjut walau ongkos atau bekal sama sekali habis.

Ia segera mengambil langkah setelah duduk sebentar di sebuah gardu pinggiran jalan. Sebisanya ia meyakini bahwa arah selatan di persimpangan yang kini diambil kakinya adalah benar, dan nanti, di arah yang diyakininya ini ia berpikir akan bertemu keberuntungan, walau sebetulnya ia tidaklah yakin, hanyalah menebak-nebak, hanyalah berharap asal-asalan.

Matanya menyorot jalan yang panjang ke depan, yang meliuk sedikit dan lurus. Betapa perjalanan bisa teramat panjang, sebagaimana hidup, yang juga adalah perjalanan. Di manakah akan ditemui sebuah keberuntungan? Apakah keberuntungan adalah sebuah pengakhiran? Ia terus-menerus berjalan, memenuhi jurusan-jurusan keyakinan, memenuhi jurusan-jurusan pikiran, yang asal-asalan. Hampir diteguknya sebotol air minum yang tak sengaja dikeluarkan dari tasnya, namun ia ingat, tidaklah boleh untuk diminum sebelum didapatinya sebuah keberuntungan.

"Apakah itu masuk akal? Maksudku, mimpimu untuk dituruti?" tanyanya pada suatu pagi, seminggu sebelumnya, ia teringat.

"Siapa tahu mimpi ini benar," jawab istrinya.

"Apa ada kebenaran untuk mimpi?" tanyanya, dan istrinya menjawab, "Tak ada salahnya mencoba!"

Pada malam itu, sekitar seminggu sebelum kemudian ia melakukan perjalanan pada hari ini, istrinya didatangi seseorang di dalam mimpi. Seorang lelaki berjubah putih. Lelaki itu berkata-kata. Istrinya tak menjelaskan panjang lebar dan teramat jelas soal isi kata-kata itu. Tapi, istrinya cukup meyakini bahwa mimpi itu adalah pesan langit sebab mimpi semacam itu adalah yang pertama datang kepadanya dan jubah putih ialah pertanda kesucian yang turun dari langit.

"Kamu mesti melakukan perjalanan, mencari lelaki berjubah putih. Berdasarkan petunjuk, itulah keberuntungan," tutur istrinya pada pagi harinya. Kopi yang hampir ia sesap menumpahi muka lantai. Lelaki berjubah putih seperti apa yang dimaksud? Ia bisa saja meminta teman-temannya memakai jubah putih lalu menunjukkan itu kepada istrinya tanpa perlu berjalan jauh. Apakah sebuah perjalanan ataukah lelaki berjubah putih yang menjadi pokoknya?

Telah bertahun-tahun istrinya memohon kaya kepada Tuhan agar kemudian dapat bersiap diri untuk mempunyai seorang anak, dan agar tak lebih banyak lagi bertengkar. Seorang anak membutuhkan penghidupan, dan tentu butuh kesiapan materi untuk membesarkan. Dan, untuk tidak bertengkar dalam rumah tangga juga memerlukan ongkos materi yang cukup besar. Semua itu, pikir istrinya, tak cukup dipenuhi dengan hanya menjadi tukang sol. Setiap pekerjaan yang ditekuni selalu punya masa depan, hanya saja istrinya selalu merasa kurang.

Sebelum kaya, istrinya itu bukan hanya menolak untuk mempunyai seorang anak, tapi juga menolak untuk diajak tidur bersama, walau berulang kali ia telah berucap janji tidak akan membenamkan benih anak itu di kedalaman sana. Selama seminggu ia membujuk istrinya, dimulai sejak malam pertama. Gagal, dan mencoba membujuknya lagi pada minggu berikutnya, dan lanjut pada bulan berikut, dan kembali gagal hingga bertahun-tahun. Saat itulah ia sadar betapa istrinya tidak menyukai dirinya. Saat itu pula hidupnya menjadi benar-benar hancur, mendapati istri hanya membuat dirinya membenci segala hal di dunia, membenci dirinya, terlebih membenci istrinya itu, ibarat sebotol air minum yang tidak boleh diminum.

Teramat sering ia memungut pisau di dapur, akan menusuk istrinya di kamar mandi atau di dapur dan paling sering terpikirkan ialah saat di kamar tidur, tapi ia tahu, betapa pernikahan adalah amanah dan bagaimana pun bentuk nasibnya haruslah dijaga dan ia hanya memupuk kesabaran dari tahun ke tahun. Pernah pula ia ingin memperkosa istrinya, suatu tindakan yang lebih halus, tapi ia menyadari, berdamai dengan dirinya sendiri masih lebih pantas dilakukan oleh seorang lelaki.

Ia telah sampai di sebuah perkampungan ketika hari mulai petang. Perutnya mulai dirasa lapar. Ia hendak duduk di tepian jalan setelah tubuhnya sedikit gemetar. Seorang perempuan dari dalam kampung menghampirinya dengan membawa semangkuk makanan. "Sedekah kami," kata perempuan itu. Ia terkejut dan memandang perempuan itu dengan cukup teliti. Pikirannya berangsur hidup dan bibirnya lamban memulai senyum. Di perjalanan, soal makan pun telah tidak menjadi urusannya. Perempuan itu segera pergi. Ia tidak boleh bernafsu pada seorang perempuan dan lebih buruk dari itu ketika ia tidak boleh bernafsu pada istrinya sendiri.

Ia menguap lalu terseret lelap setelah makan. Ketika ia terbangun beberapa jam kemudian, ia telah berada di sebuah kamar. Ia tak tahu-menahu. Pagi hari ia tahu bahwa rumah yang ditidurinya adalah rumah salah seorang warga, rumah seorang perempuan yang memberinya semangkuk makanan. Segera ia melanjutkan perjalanan setelah berucap terima kasih berkali-kali. Betapa baik perempuan itu. Kakinya melewati kerikil-kerikil yang menyembul di antara jalan yang panjang, dan kini ia berbelok ke arah timur, dan berbelok ke utara, lalu ke timur, ke utara dan seterusnya ke timur. Jika lelah datang, ia akan berhenti, akan bangkit lagi dari duduknya dan menyusuri jalan-jalan yang entah ke mana menuju.

Ia memandangi langit, bertanya-tanya soal kebenaran mimpi istrinya. Apakah mimpi itu memang petunjuk langit, walau betapa bodohnya pertanyaan itu diajukan. Di antara benar dan tidaknya mimpi istrinya, ia telah menemukan celah untuk melepaskan diri dengan perjalanan yang diminta istrinya, perjalanan melepas yang tidak lahir dari rasa yang tidak bertanggung jawab.

Ia teramat gembira telah mampu menghindar dari istri yang semacam istrinya, dengan cara terhormat semacam ini. Tetapi, bagaimana pun ia menyadari betapa salah telah tidak mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk meyakinkan istrinya tentang keluarga yang kelak akan bahagia. Tapi, ini sungguh omong kosong. Segalanya telah lewat dan kini yang ada hanyalah perjalanan dan ia harus menikmati selangkah demi selangkah yang tengah kakinya tempuh. Sekali-dua ia berpikir untuk mencari lelaki berjubah dan kembali ke rumah. Ia tahu istrinya tengah menunggu, tapi apakah istrinya tahu bahwa dirinya adalah yang jauh lebih dahulu menunggu?

Setelah beberapa hari, ia berpikir dan akhirnya memutuskan untuk berjalan di sepanjang waktu tanpa peduli pada lelaki berjubah putih yang dimaksud istrinya. Perjalanan tetaplah perjalan, berjalan tanpa mengenal berhenti, termasuk kembali ke rumah. Perjalanan tanpa kembali inilah yang sebenarnya adalah sebuah keberuntungan bagi dirinya. Sebotol air minum yang tidak boleh diminum itu akhirnya ia minum untuk mengusir dahaga. Tak berselang lama, ia merasakan tubuhnya berangsur kaku. Ia terkulai dan akhirnya tak bernapas lagi.

Ongky Arista UA lahir 24 tahun yang lalu di Desa Banbaru, Giliraje-Sumenep. Aktif sebagai Ketua Marga di Komunitas Menulis Cerpen Ponpes Nurul Islam Karangcempaka-Sumenep

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads