Dengan mengenakan beragam kostum, mulai dari pakaian adat Jawa hingga kostum pahlawan superhero lokal dan internasional mulai berbaris rapi dan mengikuti jalannya kirab yang mengambil start dekat panggung Lurah.
Tak hanya itu saja, sepanjang kirab tersebut terdengar suara tabuhan kaleng makanan dari blek (Kaleng), galon dan tong plastik yang dikombinasikan suara alat musik tiup seperti saxophone, terumpet dan sebagainya.
Setelah mengitari venue, rombongan kirab pun akhirnya sampai di panggung Jagabaya yang menjadi garis akhir dari kirab tersebut. Selanjutnya, salah seorang panitia yang mengenakan pakaian adat Jawa naik ke panggung dan membuka acara Ngayogjazz ke-12.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang beda hanya venue, memilih Gilangharjo karena Desa budaya dan untuk mengingatkan kita agar belajar kearifan lokal. Seperti ada pepatah jawa, 'desa mawa cara, negara mawa tata' dan dengan logika Ngayogjazz diplesetkan desa itu negara, sehingga jadi taglinenya 'negara mawa tata, jazz mawa cara," katanya saat ditemui di venue Ngayogjazz 2018, Sabtu (17/11/2018).
"Jadi ini salah satu usaha bagaimana kita belajar tentang kearifan lokal itu tadi, selain itu adanya Kota dan Negeara karena ada Desa," imbuhnya.
Ditambahkannya, kearifan lokal yang diterapkan pihaknya dalam Ngayogjazz tahun ini dapat dilihat dari tata artistiknya pada bangunan di venue.
"Aspek artistik seperti pada bangunan di venue yang disesuaiakan dengan kearifan lokal, jadi pengunjung nanti harus menunduk saat masuk ke venue. Itu untuk mengingatkan kita agar harus menunduk atau delosor ketika ketemu orang tua," ujarnya.
"Karena sekarang banyak yang melupakan etika sopan santun saat ketemu dengan orang tua," imbuhnya.
(nu2/nu2)