Ineh Beranak Batu

Cerita Pendek

Ineh Beranak Batu

Adam Yudhistira - detikHot
Sabtu, 17 Nov 2018 10:50 WIB
Ineh Beranak Batu
Ilustrasi: Anggi Dimas Ramadhan
Jakarta - Kabar menggemparkan itu datang pada suatu pagi. Ineh, anak gadis Hasim Limpo hilang. Pencarian pun serentak dilakukan di setiap lekuk kampung Tanjung Jati. Dari rumah tak berpenghuni, kebun kosong, sampai ke hilir sungai Batang Meranti. Tapi, gadis itu tak juga ditemukan. Setelah berjam-jam kemudian, ba'da Asar akhirnya gadis itu pun ditemukan. Ia meringkuk di bawah pohon ketapang tua, di puncak bukit Mategelung dalam keadaan pingsan dan tak berbusana.

"Anakku hendak dikawini oleh penunggu bukit ini," ucap Hasim Limpo saat tubuh Ineh dibaringkan ke atas tandu untuk dibawa pulang. "Tak akan syak lagi, sesuai dengan petunjuk yang kudapat di dalam mimpi."

Orang-orang saling berpandangan ketika mendengar pernyataan Hasim Limpo. Memang, sudah sejak lama bukit itu dianggap sebagai bukit keramat. Selama ini tak pernah ada orang yang berani menyambanginya, lantaran gentar dengan kisah-kisah mistis yang membungkusnya. Ada kisah tentang harimau hitam sebesar kuda, juga kisah ular sebesar pohon kelapa, dan banyak lagi kisah-kisah yang bisa mendirikan bulu roma. Saat Hasim Limpo mengatakan penunggu bukit itu hendak mengawini anaknya, orang-orang itu sulit menyangkalnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Syahdan, satu bulan sejak gadis berumur empat belas tahun itu ditemukan, tubuh dan tingkah lakunya mengalami banyak perubahan. Jika sebelumnya ia dikenal sebagai gadis yang periang, sekarang dirinya lebih banyak melamun dan diam. Ineh juga tak bisa lagi mengenali orang-orang di sekitarnya. Kelakuannya persis seperti orang yang lupa ingatan.

Perut Ineh juga semakin hari semakin membesar. Tanda-tanda yang ia tunjukkan persis seperti perempuan dalam masa kehamilan. Rasa iba di hati orang-orang kampung Tanjung Jati pada nasib Ineh semakin tebal lantaran peristiwa tak masuk akal yang telah menimpanya itu.

Ineh menjadi yatim piatu sejak usianya satu tahun. Ia dipungut oleh Hasim Limpo dan Wiku Ambar yang kebetulan tak memiliki anak. Pasangan suami-istri itu juga masih terhitung kerabat dekat bagi Ineh. Ayah kandung Ineh adalah adik kandung Wiku Ambar. Namun, sejak Wiku Ambar meninggal dunia, Hasim Limpo-lah yang merawat dan membesarkan Ineh sampai sekarang.

Perkataan tak masuk akal Hasim Limpo perihal keangkeran bukit Mategelung saat Ineh ditemukan mungkin bisa dipercaya. Namun, jika penyebab kehamilan Ineh dikatakan ulah penunggu bukit itu, orang-orang sulit untuk percaya. Kasak-kusuk dan tudingan pun merebak diam-diam bahwa pelaku yang menghamili Ineh pastilah manusia, bukan sebangsa jin apalagi sesosok hantu seperti yang didengung-dengungkan Hasim Limpo selama ini.

Orang-orang kampung Tanjung Jati memang patut mencurigai lelaki itu, sebab dirasa dirinyalah yang memiliki kesempatan dan kemampuan untuk menodai Ineh. Lagi pula, sejak kematian istrinya, Hasim Limpo dan Ineh hanya tinggal berdua saja di gubuknya. Namun, untuk terang-terangan mengadilinya mereka tak memiliki bukti sama sekali.

Gunjingan-gunjingan itu merebak di kepala orang-orang dan akhirnya sampai juga ke telinga Hasim Limpo. Malam itu, saat Ineh melahirkan, Hasim Limpo menjawab semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya dengan cara yang sulit dinalar. Tengah malam, ia membangunkan orang-orang untuk menyampaikan kabar mengerikan; Ineh telah melahirkan sebongkah batu.

"Sudah kubilang, makhluk jahanam itulah yang menghamilinya. Ini buktinya. Kalau aku pelakunya, pastilah isi perutnya anak manusia. Bukan benda terkutuk seperti ini!" seru Hasim Limpo sambil melemparkan sebongkah batu penuh darah ke hadapan orang-orang yang berkerumun di halaman gubuknya.

Orang-orang mundur dan berseru tertahan melihat benda yang tergeletak di atas tanah itu. Sebagian lagi masuk ke gubuk Hasim Limpo untuk memastikan keadaan Ineh. Di atas lantai papan, Ineh tergolek pingsan. Darah berceceran di mana-mana, merembes hingga menembus ke lantai. Tak ada bayi di dekatnya, tak ada juga potongan tembuni. Orang-orang tak bisa berkata apa-apa, tak bisa pula menyangkal ucapan Hasim Limpo, karena memang tak ada bayi di sana.

Wajah lelaki tua itu menyiratkan kemarahan. Di tangan kanannya tergenggam sebilah parang dan di tangan kiri satu derijen berisi minyak tanah. Melihat wajah angkernya, tak ada lagi yang berani buka suara. Meski sulit percaya bahwa Ineh beranak batu, namun apa yang mereka saksikan malam itu sama sekali tak bisa dibantah kebenarannya.

"Sekarang akan kubakar bukit itu," ucap Hasim Limpo dengan suara bergetar tertahan-tahan. "Semua ini harus segera diakhiri. Cepat atau lambat, anak-anak kalian juga bisa menjadi korban."

Orang-orang mulai tergerak untuk mengikuti jalan pikiran lelaki tua itu. Mereka mengikuti langkahnya menuju bukit Mategelung. Niat mereka datang hanya untuk melihat apa yang akan diperbuatnya. Mereka juga mulai termakan perkataan Hasim Limpo, terlebih jika mengingat peristiwa tiga tahun yang lalu, ketika Jailani anak lelaki Darsun yang hilang di bukit itu, juga Marsalim anak bungsu Mat Boneh yang menyusul kemudian. Bocah-bocah itu tak pernah ditemukan sampai sekarang.

"Makhluk itu membenci kampung ini," ucap Hasim Limpo pada orang-orang yang mengiringi langkahnya di belakang. "Apa pun yang terkait dengan kampung ini pasti akan diganggunya, atau bila perlu dibunuhnya. Anakku bukan yang terakhir, jika tidak dihentikan sekarang, maka akan ada lagi yang jadi korban."

Sekarang, rasa percaya orang-orang pada Hasim Limpo telah kembali sepenuhnya. Batu berlumur darah yang keluar dari rahim Ineh dan kata-kata yang tadi diucapkan lelaki tua itu membuat mereka ketakutan. Mereka mulai meneriakkan kemarahan. Mencaci maki dan bersepakat akan membabat habis hutan kecil di puncak bukit Mategelung itu bersama Hasim Limpo.

Malam itu, bukit Mategelung menjadi lautan api. Hutan dan semak belukar terbakar habis tanpa tersisa. Saat api mulai padam dan kerumunan orang-orang satu per satu beranjak pulang, Hasim Limpo duduk diam di onggokan pohon ketapang. Mata lelaki tua itu menerawang. Benaknya dipenuhi peristiwa yang terjadi setahun silam, tepat di tempat duduknya sekarang.

***

Ineh sedang mencabuti akar kemangi saat hantaman keras itu menerjang kuduknya. Gadis itu langsung jatuh dan tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, didapatinya dirinya terbaring di atas rerumputan, tepat di bawah pohon ketapang. Dengan susah payah gadis itu mencoba duduk. Lidahnya tercekat dan tak mampu mengeluarkan suara sewaktu menyadari bahwa ia tidak lagi mengenakan apa-apa. Sekujur tubuhnya telanjang dengan bilur-bilur kemerahan seperti bekas gigitan.

Siapa yang melakukannya? Siapa yang mengambil pakaiannya? Memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu membuat tubuh Ineh bergetar dan wajahnya memerah jengah. Gadis itu memandang berkeliling sambil menutupi payudara mungil dan selangkangannya yang terasa perih. Ia meringis dan tiba-tiba ingin menangis. Perih yang ia rasa membuatnya tak kuat lagi berdiri.

Saat itulah ia melihat di sampingnya, di atas sehelai daun talas, beberapa macam buah-buahan. Ada jambu air, jambu kelutuk, dan manggis hutan. Di sebelah buah-buahan itu tergeletak batang bambu yang dipotong pendek demikian rupa seperti cangkir yang di dalamnya berisi air.

Sesaat Ineh masih terheran-heran dengan apa yang baru saja menimpanya. Namun, rasa lapar serta dahaga mendorongnya untuk segera melahap buah-buahan itu lalu meneguk air di dalam bambu. Ketika ia meletakkan bambu itu ke atas rumput, saat itulah ia ingat orang yang membawanya ke bukit itu.

Pagi tadi Hasim Limpo mengajaknya pergi ke bukit Mategelung. Ia ingin Ineh menemaninya mencari akar kemangi untuk obat sakit gigi. Lelaki tua itu menyuruh Ineh pergi lebih dulu dan ia akan menyusul kemudian. Pohon ketapang di puncak bukit itu menjadi tempat Ineh menunggu kedatangan ayah angkatnya, sesuai dengan perintahnya sebelum pergi.

"Ayah, di mana kau?" teriak gadis itu sambil memutar lehernya ke kiri dan ke kanan. Tak ada sahutan. Hanya kicau prenjak dan kelepak sayap belalang di semak-semak, selebihnya hanya keheningan.

"Ayah, tolong aku!" Ineh memanggil kembali, kali ini dengan suara lebih keras dan putus asa.

Terdengar suara berdesir aneh yang membuat Ineh cepat berpaling ke belakang. Di balik gerumbul pohon perdu berdaun rimbun, berjalan lamban satu sosok tubuh yang langsung tegak di hadapannya.

"Ayah!" seru gadis itu gembira. Sesaat ia menatap paras Hasim Limpo dengan matanya yang bening lugu. Ineh beringsut maju dan memeluk pinggang lelaki itu. "Ayah, kaukah yang mengambil pakaianku? Kaukah yang menyediakan buah-buahan serta air minum itu?"

Ineh mendongak dan melihat Hasim Limpo menganggukkan kepala dengan gerakan ragu-ragu. Di belakang punggungnya, tergenggam erat sepotong dahan kayu saga sepanjang satu depa. Ketakutan-ketakutan mulai menjelma di kepala gadis itu. Pada wajah dan mata Hasim Limpo ia melihat kilat bengis yang membuat sekujur tubuhnya merinding.

Kayu di tangan lelaki tua itu menderu cepat, menghantam keras ke tempurung kepala Ineh. Gadis itu terkapar tak berdaya. Hasim Limpo pergi dengan setumpuk cerita yang telah ia rencanakan matang sebelumnya. Namun, lelaki tua itu tak pernah mengira bahwa Ineh masih bernyawa. Gadis itu mengandung janin dari benih yang ia tanam paksa beberapa jam sebelumnya. Janin itu ia kubur di belakang gubuknya, berderet dengan kuburan Jailani anak lelaki Darsun, juga Marsalim anak bungsu Mat Boneh yang tak pernah ditemukan sampai sekarang.

Adam Yudhistira bermukim di Muara Enim, Sumatera Selatan; mengelola Taman Baca Masyarakat untuk anak-anak, dan aktif di komunitas sastra Pondok Cerita. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Ocehan Semut Merah dan Bangkai Seekor Tawon (Basabasi, 2017)

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads