Menurut kurator seni Rizki A Zaelani yang di tahun 2015 lalu mengkurasi karya Joko Avianto di Frankfurt Book Fair kala itu, karya Joko memang 'agak tak umum' dipajang di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI).
"Agak nggak umum yah kalau dibandingkan dengan sepanjang jalan protokol itu. Kalau publik bereaksi lain wajar, memang agak tidak biasa, karena biasanya logam dan figuratif," tutur pria yang akrab disapa Kiki ketika dihubungi detikHOT, Kamis (16/8/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Jalan Sudirman ada patung Jenderal Sudirman yang berdiri dengan gagahnya. Kemudian ada patung Selamat Datang yang selama ini ikonik dan monumental. Lebih jauh lagi setelah Sarinah Thamrin, ada patung Nyoman Nuarta yang menghiasi jalan.
![]() |
"Kalau dibandingkan lainnya yang dalam satu lingkaran letaknya kurang strategis karena terlalu dekat dengan kawasan Bundaran HI. Jadi nampak kecil," ujar Kiki mengkritisi.
Selama ini patung yang berada di ruang publik Jakarta memang menampilkan figur-figur pahlawan dan terkesan berskala besar. "Karya Joko Avianto ditaruh di outdoor seperti itu disebut public sculpture karena berada di ruang umum, artinya suara publik akan lebih peka untuk bersuara. Selama ini kan yang jadi patung publik biasanya patung pahlawan," katanya.
"Karena semuanya dari logam, bambu jadi sesuatu yang tidak biasa. Di kasus ini, Joko Avianto terjepit di antara pendapat publik dan dia mewakili suara atau permintaan dari Pak Anies," pungkasnya.
(tia/doc)