Aku Menunggu Jodohku di Kebun Binatang

Cerita Pendek

Aku Menunggu Jodohku di Kebun Binatang

Hardiansyah Abdi Gunawan - detikHot
Sabtu, 19 Mei 2018 10:00 WIB
Ilustrasi: Nadia Permatasari/detikcom
Jakarta - Aku menunggu jodohku di kebun binatang. Kami telah berjodoh di beberapa kehidupan sebelumnya dan selalu berhasil saling menemukan di kehidupan berikutnya. Tiga tahun yang lalu, aku bermimpi bertemu dengannya. Dia berpesan akan lahir kembali dan menemuiku di suatu tempat. Tidak jelas tempatnya. Namun saat hendak pergi, dia dijemput oleh segerombolan orang yang berparuh dan bersayap. Hal itu tidak memberi jawaban, tapi sedikit memberi petunjuk.

Setelah mimpi itu, aku mendatangi beberapa kebun binatang, mungkin ia akan datang di antara burung-burung yang tidak bebas di sangkar. Aku selalu datang pagi-pagi sekali, bahkan menunggu di depan loket sebelum penjual karcisnya datang. Aku akan jadi pengunjung pertama dan terakhir di kebun binatang itu. Di saat hari-hari melelahkan itu, dia datang lagi di mimpiku. Aku menceritakan betapa aku tidak akan pernah putus asa menunggunya di kebun binatang.

Dia tertawa, lalu menyuruhku untuk berhenti mendatangi kebun binatang dan menunggunya di sana. Aku bertanya di mana harus menunggunya, dan dia hanya menjawab di tempat yang ramai. Lagi, dia pergi dan dijemput oleh segerombolan orang berparuh yang bersayap. Dan, suamiku membangunkanku dengan penis yang mengeras.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

***

Sumiku mulai jengkel dengan kebiasaanku yang pergi setiap pagi dan pulang larut malam. Dia mengomel sebab aku mengabaikan tugasku sebagai seorang istri. Aku mengatakan padanya bahwa aku tidak lagi mencintainya dan memang tidak pernah mencintainya, sebab aku memiliki jodoh yang telah ditakdirkan. Dia menatapku heran, dan menganggapku sudah sinting.

"Kau yang sinting! Kau memaksa orangtuamu untuk datang ke rumahku dan melamarku."

Dia tambah menganggapku sinting setelah mendengar kalimat itu keluar dari mulutku dan mengancam akan mengatakan ini pada orang tuaku dan menceraikanku.

"Silakan! Aku akan baik-baik saja tanpamu dan akan pergi mencari jodohku."

Dia membanting gelasnya yang berisi teh panas ke lantai, dan itu sedikit mengenai kakiku. Ia mengomel, mengumpat, dan mengucap sumpah serapah dengan berbagai macam bahasa yang dikuasainya, lalu keluar rumah sambil membanting pintu.

Aku bahagia lelaki sinting itu pergi, meski aku merasakan kakiku sedikit perih akibat teh panas tadi. Aku bersiap ke suatu tempat yang ramai dan menunggu jodohku.

***

Aku menunggu jodohku di pasar burung. Aku sudah siap menerima kenyataan kalau di kehidupan ini jodohku tidaklah dilahirkan dalam wujud manusia sama seperti aku. Toh, di beberapa kehidupan sebelumnya, kami pernah terlahir sebagai sepasang cacing tanah kembar dan kami bercinta habis-habisan dalam tanah. Bangsa cacing tanah mengutuk hubungan kami dan menyeret kami keluar dari tanah dan membiarkan kami diambil oleh anak-anak yang mencari umpan. Alhasil kami terpisah dan berakhir di tubuh ikan yang berbeda.

Setelah itu kami terlahir kembali dan butuh waktu ratusan tahun untuk saling mengenali, sebab aku terlahir sebagai pohon jati tua di tengah hutan dan jodohku sebagai sebatang korek api. Kami baru saling mengetahui setelah jodohku menjadi alasan kebakaran hutan terbesar di sebuah negeri dan apinya melalapku. Aku merasakan cumbuan panasnya menghanguskanku dan menjadikanku abu. Itu adalah kehidupan terlama kami harus saling mencari dan tersingkat kami berjumpa.

Kami juga pernah terlahir sebagai sepasang nyamuk yang sama-sama berjenis kelamin betina. Juga menjadi celana dalam dan kutang yang dipakai seorang lonte.

Terakhir, sebelum aku menjadi manusia yang memiliki lubang di antara pangkal pahaku, aku pernah menjadi seorang tokoh fiksi dalam sebuah novel dan jodohku adalah pengarangnya. Kami bercinta habis-habisan dalam pikiran jodohku. Jodohku tak pernah ikhlas menuliskanku, sebab ia tidak mau jika aku dinikmati oleh pera pembaca. Akhirnya, aku hanyalah tokoh fiksi yang hanya ada di pikiran jodohku dan jodohku hanyalah seorang penulis yang tidak pernah menyelesaikan tulisannya.

Hari-hari kulewati dengan aroma tahi burung yang aduhai sungguh tidak menggoda di hidung. Juga mataku telah terbiasa dengan warna-warni bulu burung-burung yang sudah tidak tampak indah karena terlalu sering kupandang. Pun telingaku sudah bisa membedakan mana cericit burung kuak-kuak, burung butbut, burung kenari, burung perkutut, juga burung-burung gereja liar yang mencuri makan di sekitar sangkar.

Aku juga sudah hampir hafal seluruh wajah-wajah murung para pedagang burung. Tapi, aku merasa tidak satu pun jodohku yang menyerupai mereka, juga burung-burung, serta kotorannya.

***

Suamiku mewujudkan ancamannya. Dia melaporkan tingkahku pada orangtuaku dan membawakanku segepok surat-surat perceraian. Masa bodoh dengan ceramah orangtuaku dan surat-surat tidak berguna itu.

Ibu dan ayah datang beberapa menit setelah suamiku memaki-maki. Tak berselang mertuaku pun datang juga.

Aku bersikeras mengatakan bahwa suamiku bukanlah jodohku, dan jodohku sesungguhnya sebentar lagi akan datang. Ibu mulai menganggapku gila, juga ayah, begitu pun mertuaku dan semua orang yang mengetahui sikapku akhir-akhir ini. Ibu mulai berpikir untuk membawaku ke rumah sakit jiwa. Tapi, aku bersikeras meyankinkannya bahwa aku baik-baik saja dan justru suamikulah yang gila.

"Lihat dia! Dia sudah tidak waras. Dia menganggap dirinya baik-baik saja dan kita semua ini gila," suamiku mencoba membuat lelucon.

Tidak ada yang tertawa. Wajah ayahku kelihatan memerah dan bersumpah akan menyumpal mulutnya dengan penyedot kloset kalau dia tidak menghentikan ocehannya. Mertuaku hanya geleng-geleng kepala.

"Sebaiknya dia sudah waras sebelum sidang perdana perceraian kami."

Ibuku berusaha meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Tapi, mertuaku yang juga datang sudah terlanjur menganggapku gila sama dengan anaknya. Mereka pun pergi, dan ibu mulai menangis. Sekali lagi aku mengatakan pada ibuku bahwa aku baik-baik saja.

"Perceraian ini akan baik, Bu. Dia bukan jodohku dan aku akan menemukan jodohku," kataku. "Kami telah berjanji untuk bertemu kembali. Tenang saja, kau masih akan memiliki menantu yang jauh lebih baik dari lelaki gila itu."

***

Aku menunggu jodohku di pinggir hutan. Di pinggir hutan juga ramai oleh binatang-binatang, juga burung-burung yang beraneka ragam. Aku yakin jodohku akan datang dari dalam hutan bersama seluruh gerombolan yang selalu menjemputnya di dalam mimpiku. Aku duduk sepanjang hari di bawah salah satu pohon yang rindang. Kadang aku mengantuk dan tidur sejenak dan bangun dengan tergesa ketika mendengar suara burung-burung.

Ketika senja menjelang dan segerombolan kelelawar terbang keluar dari dalam hutan, aku akan tetap menunggu hingga kelelawar terakhir muncul. Aku selalu berharap bahwa gerombolan kelelawar itulah yang akan membawa jodohku dari dalam hutan. Aku akan pulang dengan keyakinan yang masih sama.

Di perjalanan, aku berpapasan dengan seorang lelaki. Dia mengenakan penutup mulut dan menghampiriku.

"Apakah Anda sedang menunggu jodoh Anda?"

Aku heran.

Lelaki itu sekali lagi mengulang pertanyaannya, dan aku tetap tidak menjawab.

"Sudah berhari-hari saya melihat Anda berada di pinggir hutan dan tampaknya Anda sedang menunggu sesuatu."

Dia terus saja berbicara dan aku hanya mendengarnya. Lalu ia membuka penutup mulutnya dan aku melihat giginya serupa gigi buaya. Dia langsung meraihku dan mencumbuku di pinggir jalan yang gelap. Ia melucuti pakaianku dan menciumku dengan ganas. Dia seperti binatang. Aku berusaha untuk melawan, namun aku juga menikmati perlakuannya. Aku beradu napas dengannya nyaris sampai fajar menyingsing. Lalu lelaki itu pergi ke arah hutan.

***

Berkali-kali sidang perceraianku tidak pernah kuhadiri. Aku tidak tahu apa keputusan pengadilan. Mungkin sekarang aku sudah berstatus mantan istri buat suamiku. Masa bodoh. Sekarang yang menjadi kekhawatiranku adalah jodohku tidak pernah lagi datang di mimpiku dan sekarang aku mengandung anak dari lelaki bergigi buaya itu.

Suamiku datang bersama pacar barunya.

"Perempuan gila! Perempuan jalang!"

Itu adalah kalimat pertama yang dia katakan ketika melihat perutku yang mulai membesar.

"Sudah kuduga... tentu itu bukan anakku!"

Kalimat itu seolah ditujukan padaku, padahal itu hanya semacam pemberitahuan untuk pacar barunya.

"Sudah berapa bulan kau hamil? Empat bulan? Lima bulan? Bahkan kita sudah tidak pernah berhubungan nyaris setahun!"

***

Aku mendatangi semua tempat yang ramai dan menunggu jodohku. Pasar malam, kenduri pernikahan, pesta rakyat, turnamen olahraga, acara pemakaman seorang presiden, namun aku tidak menemukan jodohku. Aku tidak mendatangi rumah ibadah karena sepi. Kupastikan jodohku tidak di sana.

Akhirnya orangtuaku juga mengetahui kehamilanku. Ibu begitu panik setelah tahu bahwa usia kandunganku ternyata lebih muda dibanding usia perpisahanku dengan mantan suamiku. Ayah menamparku. Ibu menangis memelukku. Dan, aku merasa baik-baik saja.

"Jahanam! Anak siapa yang kau kandung?" ayah menggertakku.

"Bukan anak siapa-siapa."

Ayah sekali lagi menamparku. Bayi di perutku menendang-nendang. Kepalaku pusing. Dan, aku tidak sadarkan diri.

***

Setelah sekian lama, akhirnya jodohku mendatangiku di dalam mimpi. Sosoknya masih hitam. Aku menceritakan padanya bahwa seseorang bergigi buaya telah menggauliku. Dia berkata bahwa lelaki itu adalah dirinya yang lain. Anak yang kukandung adalah dirinya. Artinya, jodohku adalah ayah dari jodohku dan aku adalah ibu dari jodohku. Ini adalah titik terang, sekaligus kehidupan terumit yang harus kami jalani dan terima.

Setelah itu segerombolan makhluk bersayap dan berparuh itu datang lagi menjemput jodohku dan membawanya entah ke mana.

***

Setelah sadar, aku menceritakan kepada kedua orangtuaku bahwa aku mengandung jodohku sendiri.

Ayahnya adalah jodohku sendiri.

Ibu dan ayahku bingung. Mereka benar-benar menganggapku gila dan memutuskan memanggil ambulans yang mengantarku ke rumah sakit jiwa.

***

Aku bosan menunggu jodohku di kehidupan ini. Di rumah sakit ini, semua orang tampak baik-baik saja, selain beberapa orang yang sering membawa makanan dan lelaki berjubah putih yang begitu gila. Kamarku begitu sepi dan aku merindukan keramaian.

Aku tidak sabar menunggu jodohku muncul di antara kedua pahaku. Aku memutuskan memasukkan tanganku dan menariknya secara paksa, dan aku melihat jodohku yang merah dengan pandangan yang mulai hitam.

Hardiansyah Abdi Gunawan lahir di Siwa, Kab. Wajo. Saat ini bergiat di Masyarakat Literasi Wajo

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

(mmu/mmu)

Hide Ads