"Gus! Kenapa bengong?" Dulmain menghampirinya.
"Kamu. Ngagetin aja."
Suyut sedang memikirkan sesuatu di kepalanya. Bukan tentang Harmalah yang akan dibahasnya nanti ba'da isya. Suyut sedang memikirkan ucapan Abinya saat ia menyuapkan sepiring bubur di kamar.
"Tidak usah mengurusi Matlasan. Semua orang punya jalan hidup yang berbeda. Biarkan. Kalau mereka benar-benar ingin belajar, mereka tetap akan datang. Kita hidupkan surau dengan ikhlas dan lapang dada."
Suyut terbayang-bayang rumah Baitur yang nanti malam akan ramai dengan panggung lawak Matlasan. Ia belum bisa menerima sepenuhnya. Orang-orang pasti akan lebih terpikat nonton lawak daripada mendatangi majelis di suraunya. Baginya, Matlasan akan selalu mengganggu kegiatan di surau.
Malam itu, tabuhan gending mengikis suara-suara lain di sekitarnya. Kepak kelelawar menghilang. Gemeresik dedaunan dan gedebuk buah mangga yang jatuh tak lagi terdengar. Orang-orang berduyun-duyun menuju halaman rumah Baitur. Anak-anak kecil, ibu-ibu, bapak-bapak, dan remaja, semua berkumpul di depan panggung berterop. Pedagang kaki lima menjajakan aneka makanan dan minuman.
Tempo gending melambat. Seorang lelaki muncul dari balik panggung sesaat kemudian. Ia berjalan lunglai seperti orang tua yang kehilangan separuh ototnya. Ia berdiri di hadapan stand mic. Gigi emasnya selalu tampak saat melempar senyumnya yang utuh. Matlasan, pelawak Kondang Kraksan yang kerap berbahasa Jawa dengan dialek kental Madura muncul membawa segudang ide untuk membuat orang tertawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di surai Ki Sapraji baru saja mendirikan Salat Isya. Beberapa jamaah bangkit dari dzikirnya dan beranjak keluar. Mereka memakai sandalnya masing-asing dan berjalan ke arah timur. Ke rumah Baitur.
"Tidak ikut kajian?" tanya Suyut pada jamaah yang beranjak di sampingnya.
"Absen dulu, Gus. Mau ke Baitur."
Suyut terdiam. Ia menoleh ke belakang, melihat sisa jamaah yang masih ada di surau. Tidak sampai sepuluh orang. Akhirnya ia memutuskan menunda majelis taklim malam ini.
Suyut masuk ke rumah. Kitab Harmalah ditenteng di tangan kanannya. Pecinya dilepas dan dilempar ke sofa. Suyut menghela napas dan duduk malas sambil menatap kawanan ngengat yang mengitari lampu di langit-langit ruang tamu.
"Lho, nggak jadi kajian?" Abinya muncul dari balik koridor.
"
Nggak, Bi. Jamaah pada pulang. Benar kataku, bukan? Mereka lebih senang melihat pelawak kondang," jawab Suyut dingin. Matanya masih tetap awas pada lampu dan ngengat yang mengitarinya.
Ctek! Cahaya lampu di ruang tamu padam seketika. Suyut terperanjat dan menoleh ke sekitarnya.
"Abi, kenapa dimatikan?"
"Menurutmu, ke mana ngengat itu sekarang?"
"Entahlah. Hidupkan, Bi. Tidakkah Abi sudah mengganggu kesenangan ngengat-ngengat itu?"
"Tidak, Nak. Kau salah. Abi justru membantu mereka."
Suyut bingung dengan pernyataan Ki Sapraji. Ia tidak menjawab dan menunggu Abinya berbicara lagi.
"Para ngengat itu menggunakan bulan sebagai pedoman perjalanannya. Mereka menjadikan cahaya bulan sebagai navigasi. Mereka melakukan perjalanan dalam satu garis lurus dengan mempertahankan sudut konstan terhadap bulan."
"Jadi?" Suyut masih mencoba menerka.
"Jelas, ketika ngengat salah mengira cahaya lampu itu adalah cahaya bulan, mereka terus menjaga sudut konstan terhadap lampu itu. Dengan jarak sedekat itu, mereka akhirnya berputar-putar mengelilingi cahaya lampu. Mereka bingung. Bahkan mungkin mereka akan terbakar jika bersentuhan dengan lampu."
Suyut mencerna penjelasan Abinya dengan pelan. Kepalanya mengangguk perlahan. Sedikit demi sedikit ia mulai paham. Tidak semuanya bisa jelas hanya dengan pandangan mata. Apa yang Suyut perhatikan dari ngengat-ngengat itu adalah suatu kesenangan. Padahal, ngengat-ngengat itu sedang terancam.
"Nak, kamu harus tahu. Kita tidak bisa hanya menduga-duga dan berprasangka semata. Pastikan kau tidak berilusi. Kau harus tahu kenyataan. Apa yang terlihat belum tentu benar. Menurut kita baik, padahal tidak. Pun sebaliknya."
Suyut terdiam lagi. Sesaat, batuk Abinya kambuh lagi. Tangannya gemetar memegang tongkat kayu. Suyut bergegas menghampiri dan memapahnya sampai ke kamar. Ia membaringkan Abinya di atas kasur, lalu mengambilkan segelas air putih. Wajah Ki Sapraji sangat pucat. Matanya sayu dan redup.
***
Menjelang subuh, beberapa orang berjalan menuju surau. Wangi tubuh dan pakaian mereka menyeruak, berbaur dengan aroma embun yang menyelinap di tanah dan dedaunan. Mereka berjalan dengan penuh kenikmatan dan rasa syukur di tiap embusan napas.
Para jamaah menunggu adzan berkumandang. Mereka saling pandang, karena waktu subuh telah masuk, tapi tak ada seorang pun muadzin ataupun takmir di surau. Pak Saleh akhirnya bangkit dari silanya, dan berjalan menuju mic di samping mimbar.
"Bapak, Ibu. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un...." salah seorang takmir masuk ke surau dengan tergopoh-gopoh. Napasnya tersengal-sengal. "Ki Sapraji meninggal!"
Para jamaah terperanjat dan riuh. Mereka serta merta berdiri dan bergegas keluar, lantas menuju rumah Ki Sapraji yang terletak di samping surau. Seorang takmir mengumumkan kepulangan Ki Sapraji ke rahmatullah. Suyut yang dari tadi berada di samping jenazah Abinya tidak henti meneteskan air mata. Setelah Uminya meninggal dalam kecelakaan pesawat jamaah haji menuju Tanah Air dua tahun lalu, kini ia harus kehilangan Abinya juga.
Pagi itu, orang-orang kampung memenuhi rumah Ki Sapraji. Jenazah Ki Sapraji dimandikan dan dikafani dengan rapi. Suyut ikut memandikan Abinya. Ia berusaha menahan air matanya yang tak kunjung mereda.
Seseorang terlihat berjalan dari arah timur. Ia mengenakan peci, kemeja, dan sarung hitam. Tampak kilatan air mata mengiasi wajahnya yang tetap berusaha tersenyum. Matlasan, sang pelawak kondang itu datang ke rumah Ki Sapraji sendirian. Orang-orang menyalami dan mencium tangannya. Mereka mempersilakan Matlasan masuk.
Suyut memandangi Matlasan yang sedang berjalan ke arahnya. Ia masih sesenggukan dan menahan air matanya. Ia berdiri dan mencium tangan Matlasan. Ia diam dan tak mengatakan sepatah kata pun. Matlasan pun diam, duduk di sebelah Suyut sambil memejamkan mata. Ia berusaha tersenyum dan menyembunyikan gigi emasnya.
"Sapraji adalah orang baik. Bijaksana, pandai bergurau, dan cerdas juga. Aku kenal sangat baik dengannya. Aku tahu siapa dia, dan dia pun tahu siapa aku. Dan mungkin hanya dia kiai di kampung ini benar-benar tahu aku."
Suyut menoleh, menaptap mata Matlasan, dan kembali meratapi Abinya.
"Kau percaya, masih muda dulu, waktu Abimu masih bujang, kita sering melawak di satu panggung. Dia adalah partner yang sangat cocok denganku. Mungkin ia tak pernah bercerita ini padamu. Tapi percayalah, aku lebih tahu tentang Abimu. Kalau kau ke rumah, akan kutunjukkan album kami berdua saat masih bersama di panggung lawak dulu."
Suyut menoleh lagi. Kali ini ia menatap Matlasan lebih lama.
"Benarkah?"
"Tentu saja. Dan jujur, aku agak kurang suka kalau harus ikut turut berduka cita saat ini."
"Kenapa begitu?" tanya Suyut semakin heran.
"Bapakmu itu baru saja memulai keabadian. Tugas dia di bumi sudah selesai. Kini saatnya dia ngopi dengan Kanjeng Nabi dan Tuhan. Dia akan sangat bahagia, kenapa kita justru berduka?"
"Lalu, menurutmu kita harus bagaimana?"
"Entahlah. Yang jelas kita harus segera memakamkan jenazah Abimu. Kopi surga telah menunggu diseruput olehnya. Di makam nanti juga ada kopi untuk para tukang. Abimu sangat suka kopi, bukan? Jadi jangan sampai dia mencium wanginya. Jangan biarkan dia bangun dan hidup lagi di bumi yang fana."
Seketika, Suyut tertawa terpingkal-pingkal. Ia tidak bisa menahannya. Beberapa tamu ikut tertawa dan menepuk pundak kawannya.
"Seharusnya aku membayarmu lebih mahal daripada orang-orang yang mengundangmu itu, Mat," bisik Suyut sambil menyeka pelipisnya yang basah. Bibirnya terlihat menahan tawa.
Matlasan tersenyum pada anak semata wayang Ki Sapraji itu. Sepintas kemudian, ia memamerkan gigi emasnya sembari menepuk pundak Suyut. Suyut pun semakin terkekeh di samping air matanya.
Ajun Nimbara mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Bergiat di Komunitas Pelangi Sastra Malang. Cerpen-cerpennya tergabung dalam antologi Secangkir Kontradiksi (2015) dan Orang-orang dalam Menggelar Upacara (2015)
(mmu/mmu)