Sebutlah namanya Gus Falih, putra dari pengasuh pondok pesantren An-Nur Pegandon. Dari sekian tabiat yang tidak lazim untuk dilakukan, salah satunya menghitung bulu domba. Ia kerap melakukannya pada petang hari yang kian gamang dengan ditemani Gus Fitrah dan Hafid, dua orang karibnya di pesantren.
Bagi siapa pun yang tidak mengenalnya, barangkali akan berpikir bahwa ia aneh dan ganjil dan gila. Namun hal-hal semacam itu sudah sangat biasa bagi Gus Fitrah sehingga tidak ada keraguan apa pun yang perlu disangsikan dari Gus Falih.
"Lho, sudah malam."
"Bukannya dari tadi memang sudah malam?"
"Oh iya, ya."
"Sudah dapat berapa hitungannya?"
"Dua ribu delapan ratus tujuh puluh tiga."
"Sudah banyak."
"Tapi yang belum dihitung juga masih banyak. Hahaha."
Gus Falih tertawa terbungkuk-bungkuk sambil menepuk punggung Gus Fitrah berkali-kali, hingga tawa itu hilang dengan sendirinya. Seperti sebuah kereta yang memang harus tiba-tiba berhenti di stasiun, tanpa terjadi apa-apa sebelumnya.
Sepanjang malam, obrolan mereka akan selalu banyak tidak seriusnya, banyak gilanya.
"Sudah berapa?"
"Tiga ribu sembilan ratus delapan puluh empat."
"Masih banyak?"
"Nih, lihat saja sendiri. Dombanya sampai sudah mengantuk begitu. Hahaha."
Sampai subuh menjelang, dengan langit masih dilintasi sepotong rembulan yang rumpang, dengan warna kabut biru, mata Gus Falih tidak juga diserang rasa kantuk.
***
Pada sebuah hari yang dipenuhi warna-warna cerah, Gus Falih, Gus Fitrah, dan Hafid merencanakan sebuah perjalanan--yang sebenarnya tidak direncana.
"Ke mana, Gus?"
"Ke arah mana kaki ingin melangkah."
Hafid memandang Gus Fitrah. Begitu pun sebaliknya. Mereka saling berpandangan dengan gerakan tertentu yang menimbulkan pertanyaan: bagaimana? Lantas keduanya mengangguk bersamaan.
Di dalam sebuah bus kota, ketiganya duduk berdampingan di kursi paling belakang, dekat jendela sebelah kanan.
Belum lama sopir menginjak pedal gas, seorang kondektur meminta ongkos bagi tiap-tiap penumpang. Ajaibnya, hanya Gus Fitrah dan Hafid saja yang dimintai ongkos. Gus Falih yang saat itu berada di tengah-tengah antara keduanya, terlewat begitu saja seolah memang tidak ada.
Saat memutuskan untuk berhenti dan turun di depan sebuah jalan tepi pasar, Hafid menyudutkan lengannya ke arah Gus Fitrah. Matanya melirik ke arah Gus Falih yang masih melangkah dengan tegak tetapi terkesan slengekan. Ia yang saat itu mengenakan kemeja kotak-kotak lengan pendek dengan celana jins biru dan tas slempang menyilang ke kanan, tiba-tiba berhenti.
"Ada apa?"
"Gus Falih, tadi kondektur itu..."
"Sudah kok, sudah. Tidak ada apa-apa," Gus Fitrah menengahi, sehingga mereka melanjutkan perjalanan.
Rasa penasaran Hafid berputar-putar di kepala, namun diam-diam ia seolah mendapat bisikan tentang perkiraan Gus Falih bisa menghilang. Dan ia memilih menyimpan dugaan dalam kepalanya sendiri.
"Akan ke mana kita, Gus?"
"Ke masjid."
Di tengah perjalanan, Gus Falih melihat seorang tua yang tengah duduk dengan kaki terlipat. Bajunya kumuh dan berwarna tanah. Peminta-minta. Suaranya serupa sayatan yang panjang, matanya terkatup, menyimpan air mata. Tangan kirinya menopang tubuh, sementara tangan kanannya menyangga sebuah kaleng susu bayi berkarat. Gus Falih melongok kaleng itu, berisi beberapa pecahan uang koin dan sedikit uang kertas.
Prang!
Gus Falih menendang kaleng hingga seluruh isinya tumpah, selanjutnya tangannya dengan sigap menjatuhkan lelaki peminta-minta itu hingga tersungkur. Lelaki tua itu menangis sejadi-jadinya.
Hafid yang terkejut segera berlari hendak menolong lelaki peminta-minta, namun Gus Fitrah mencegahnya dengan disertai gelengan kepala. Sementara Gus Falih telah berjalan jauh di depan.
"Tapi kenapa, Kang?"
"Kelak kau akan tahu, seiring berjalannya waktu."
"Tapi aku benar-benar tidak mengerti, Kang. Gus Falih yang selama ini aku kenal adalah pemuda yang baik, ramah, dan mengerti tata krama. Apa lagi kepada orang tua,"
"Hush, jangan terlalu keras."
"Bagaimana jika kelak Abah Yazid tahu? Bukankah Abah tidak pernah mengajarkan sedikit pun untuk berlaku kasar terhadap siapa pun?"
"Kelak kau akan tahu kenapa kau mesti menyaksikan yang seperti itu."
"Sudahlah, Kang. Aku benar-benar tidak tahu."
"Tidak tahu atau belum tahu? Hehehe."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langit masih berwarna sama, ketika tiba-tiba area pesantren An-Nur bagai telah dijatuhi hujan api.
Entah dongeng entah kenyataan. Hujan-hujan api itu dengan cepat menjalari daun-daun kering. Abah Yazid diceritakan terlibat perasaan dengan Ilma, salah seorang santri putri yang menjabat sebagai lurah pondok. Pada akhirnya cerita itu memang tidak pernah benar-benar naik ke permukaan, namun juga tak pernah benar-benar terlupakan.
Abah Yazid memang pernah dipergoki mengutus Ilma ke ndalem, secara pribadi. Mulanya tidak seorang pun yang tahu alasan Abah.
Di sebuah ruang tamu yang hanya digelari karpet, Ilma duduk dengan di sampingnya Inayah, salah seorang pengurus pondok putri lain yang menemani. Dadanya berdegup. Ada apa gerangan? Ia menebak-nebak segala kemungkinan.
"Punten, Abah. Ada perlu apa Abah memanggil saya?"
"Saya kira kamu gadis yang baik, Nduk. Jadi begini, apakah kamu bersedia jika saya nikahkan dengan Falih? Saya ingin ngepek kamu sebagai mantu. Demi kelangsungan masa depan pesantren ini kelak."
Perjodohan di dalam pesantren barangkali sudah menjadi sesuatu yang lazim, bahkan terus berlangsung dari waktu ke waktu. Tetapi Gus Falih? Ilma seperti baru saja mendapati gajah-gajah terbang yang dijatuhkan dari langit. Siapa yang tidak mengenal kemasyhuran putra Abah Yazid itu?
"Maaf, Abah?"
Gadis itu memastikan dawuh Abah. Apakah ia sedang bermimpi atau salah menangkap suara.
"Kamu tidak sedang salah menangkap ucapan saya, Nduk. Ini sungguh-sungguh datang dari hati dan pikiran saya. Sebagai orangtua para santri di pesantren ini, saya tentu mengenal anak-anak yang saya asuh."
Begitulah rupanya akhir dari cerita miring yang beredar di kalangan pesantren. Dan serupa kabar-kabar sebelumnya, tentang Abah Yazid yang hendak ngepek Ilma sebagai mantu pun, cepat sekali menyambar telinga-telinga yang melintas.
***
Gus Falih sedang memberi makan kucing ketika tiba-tiba seseorang datang. Tentu saja tamu itu disambut baik.
"Gus, saya mau minta tolong untuk anak saya yang saat ini sedang sakit,"
"Anak Bapak sakit apa memangnya?"
"Sekujur tubuhnya gatal dan penuh koreng. Entah sebab apa. Kulitnya serupa dipenuhi mata ikan yang sangat banyak. Ia selalu tak tahan untuk menggaruknya. Meski telah saya bawa ia ke laut untuk dimandikan, bahkan ke salah seorang dokter spesialis kulit, tetap saja tidak sembuh,"
"Mana anaknya?"
Lantas dipanggil si anak oleh sang bapak, dipersilakan masuk.
Gus Falih berdiri tanpa berkata apa-apa, pergi ke dalam, lantas kembali dengan secobek sambal dengan biji cabai berwarna merah terang.
"Balurkan sambal ini ke tubuh anak Bapak."
Sang Bapak menelan ludah. Bagaimana mungkin? Luka yang dibaluri cabai bukankah akan semakin menyakitkan? Tetapi tentu saja, meskipun dengan berat hati, ia tetap melakukan anjuran Gus Falih. Seketika si anak berteriak-teriak, menangis meraung-raung. Dan entah apa yang ada si dalam benak sang Bapak, ia buru-buru pergi, dengan perasaan cemas meskipun tidak lupa mengucap terima kasih dengan meninggalkan sebuah amplop berisi imbalan, dan tetap meletakkan amplop itu meski sebelumnya Gus Falih bersikeras menolak.
Di hari lain ketika ia duduk dengan sebatang rokok lintingan di tangan, pandangannya menerawang jauh ke angkasa, ketika seorang lelaki tua datang mengunjunginnya.
Pemuda itu tersenyum, melihat siapa yang datang. Hafid yang saat itu sedang bersama Gus Falih merasa terlongong-longong. Ia tahu bahwa yang datang ialah pak tua peminta-minta.
Lelaki tua itu segera mencium tangan Gus Falih, namun segera ditepis. Kali ini sangat lembut. Ucapan terima kasih berkali-kali dilontarkan lelaki tua.
"Sejak sebelas tahun yang lalu, kedua kaki saya lumpuh. Saya menjadi peminta-minta karena tidak ingin merepotkan anak-anak yang sudah berkeluarga. Nang telah menolong saya tanpa peduli perbedaan. Sebab saya sering menyaksikan, bahwa seseorang tidak menolong saudaranya hanya karena adanya ketidaksepahaman. Saat terjengkang, hati saya memang sangat terluka, tapi kemudian saya menyadari kaki saya telah bergerak."
"Negara ini tidak cuma sebatas milik saya, Pak. Lagi pula, saya tidak melakukan apa-apa. Berterima kasihlah pada Tuhan. Hanya Dia sebaik-baik pemberi kuasa."
***
Waktu masihlah delapan puluh enam ribu empat ratus detik dalam sehari. Di malam-malam yang berwarna cokelat, di antara angin lembut sunyi yang tak kasat mata, di antara mata-mata yang menyusup lorong mimpi, menghitung bulu domba akan terus dan selalu ada. Dalam hitungan helai demi helai itu, di antara bicara yang ngawur dan ngelantur, hitungan-hitungan dzikir tersimpan di dalamnya, menyebut-nyebut asma Allah-nya.
Fina Lanahdiana partikel pemimpi yang menyukai biru dan minum kopi
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)