Mereka menggali apa saja di kota. Sumur, kabel, gorong-gorong, menurunkan pasir dari truk-truk yang masuk kota, sampai menggali kuburan di pemakaman.
Kota baru saja dibenamkan senja. Halte di ujung jalan itu sepi. Orang-orang yang berdiri di sana sudah mendapatkan kendaraan. Ia berjongkok di tempatnya biasa menunggu, belasan meter dari halte itu.
Ia pertama kali datang dengan truk pengangkut pasir diajak dua orang kawannya yang sudah lama menggali, dari jalan-jalan yang berlubang hingga tiba di Pantura yang sibuk, lalu tiba di kota yang dilihatnya dari di kejauhan bagaikan seekor gurita raksasa yang bergerak di dasar lautan yang airnya hitam.
Tenang dan santai ia masih menunggu. Tatapannya hanya memperhatikan kendaraan yang lewat karena dengan sekali lambaian saja dari seseorang di truk atau mobil pribadi, maka dia harus segera menyergap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masih diingatnya jelas beberapa waktu lalu, beberapa orang memperhatikannya dari dalam mobil berwarna hitam, lalu salah seseorang melambaikan tangan memanggil, dan dia pun cepat melompat. Di mobil dia disambut sesosok tubuh yang ditutupi kertas koran bersimbah darah, sudah jadi mayat.
Si mayat, kata mereka, adalah orang yang keji. Mereka berutang lima puluh juta, bunganya tinggi berlipat, empatpuluh persen sebulan. Mayat lintah darat yang dijuluki manusia paling keji. Di kawasan yang dingin dan berkabut mobil berhenti. Di sebuah vila tua dia menggali sangat dalam, dan mayat dikuburkan di situ. Beberapa hari dia tak bisa memejamkan mata, tapi itulah pekerjaan yang didapat.
Ia setia menunggu di samping halte yang jarang dipakai itu, bergerak cepat menyergap rezekinya ketika ada tangan melambai dari truk, atau dari kendaraan bagus yang berhenti perlahan tapi mencurigakan.
***
Senja, sebuah mobil kelabu tua berhenti di seberang jalan. Ia cepat bangkit ketika tangan melambai. Tanpa kata mobil kembali melaju setelah ia naik, lalu membisu diselimuti dingin air conditioner. Tiba di sebuah rumah bagus berpagar tinggi ia dibawa masuk. Ia melihat ada sesosok tubuh lelaki berlumuran darah terjerembab di lantai, lalu mereka menyeretnya ke belakang. Darah memerah di lantai itu ketika mereka menarik mayat.
Ia menggali kubur dengan cepat, bahkan dengan suara yang nyaris tak terdengar. Itu adalah keahliannya. Tiba- tiba saja liang yang nyaman untuk mengubur mayat telah siap.
Mayat yang tenang itu lalu dimasukkan. Setelah tanah diurug ia membayangkan kantongnya akan segera penuh uang. Mereka tak perlu menyuruhnya tutup mulut menjaga rahasia. Mereka pasti sudah tahu, selain ahli menggali, orang-orang Sindang Laut juga orang yang pelit bicara.
"Marmer yang pecah ganti, rapikan lagi seperti biasa, ada semen di garasi." Ia mengikuti saja apa perintah mereka.
"Kami antar bapak keluar. Ini," kata seorang wanita berbusana hitam yang wangi, dan menyodorkan amplop berisi segepok uang yang sebagian ujung- ujungnya menjulur berwarna merah.
Ia menggenggam amplop itu dengan perasaan meletup gembira. Ia pasti bisa pulang kampung, memancing di waduk, dan minum tuak aren bersama kawan- kawannya.
***
Meringkuk lagi di samping halte ditemani berbatang-batang kretek dan gelas kopi yang kering dirubungi semut, belum ada satu pun pekerjaan menggali sejak dia kembali. Sebuah mobil berwarna hitam berhenti. Orang-orang dari dalam mobil memperhatikannya serius sehingga ia urung menyergap. Tapi, kemudian seseorang memberi kode panggilan.
"Kami akan merampok, membunuh dan menguburkannya sekaligus. Jika seminggu tidak ketahuan mayatnya, itu sudah bagus," kata salah seorang ketika ia telah menghenyakkan punggungnya di mobil.
Merampok? Ia segera ingin turun.
"Santai, Bung santai," peringati mereka tegas.
Ia mencoba tenang. Mungkin ini rezekinya setelah sebulan dia cuma menurunkan beberapa truk pasir dan batu koral.
"Cuma kakek tua. Malam ini dia sendiri di rumah. Anak dan cucu-cucunya pergi ke Singapura, seminggu mereka di sana."
Memasuki halaman rumah yang bagus, salah seorang dengan mudah membuka pintu gerbang. Dia tampak tak asing di rumah itu. Mereka lalu memakai topeng; topeng badut dan kera. Ia merasa jantungnya berdebar. Yang namanya merampok pasti tidak mudah.
Mereka turun. Tak lama kemudian terdengar keributan, dan beberapa kali suara letusan senjata. Lalu beberapa orang berlari ke mobil membawa kopor dan tas. Lalu, mereka balik lagi ke dalam, kemudian kembali dengan menyeret sesosok tubuh bersimbah darah. Lelaki bertopeng kera.
Mobil melaju meninggalkan lokasi. Makian dan sumpah serapah berhamburan karena ada yang tertembak, sedang lelaki tua itu terpaksa ditinggal, tak jadi dikuburkan di rumahnya sendiri sesuai rencana setelah ia jadi mayat. Tapi, kini mereka repot harus menguburkan kawan sendiri di luar rencana. Mobil berputar- putar di dalam kota, tak tahu tujuan.
"Kita ke luar kota, di tol yang baru diresmikan nanti mobil pura-pura rusak, masuk ke semak-semak. Waktu putar balik turunkan penggali sama si mayat, terus kita ke jalur lagi, dan pura-pura mogok," kata seseorang, dan mereka semua setuju.
Sampai di tol gelap, kecuali rambu-rambu yang berkilau dari kejauhan. Mobil zig-zag, menerobos alang-alang, masuk ke semak. Sebelum putar balik mereka berhenti. Ia membuka pintu, dan cepat melompat turun. Beberapa dari mereka mendorong mayat keluar.
Ia menggali cepat di dalam semak di bawah cahaya bulan. Tanah lembek dan gembur membuat ia makin cepat bekerja bagaikan binatang tanah. Lubang cukup agar bau mayat tidak keluar.
***
Kini ia tak lagi menunggu di samping halte, berpindah jauh ke sebuah jalan di deretan penjual tanaman bunga dan batu- batu alam. Di seberang jalan ada gedung tak terpakai yang jika malam gelap seperti rumah hantu, tapi di belakangnya ada toilet dan kran air yang bisa dipakai.
Sebuah mobil berhenti. Taksi hitam berbadan besar. Kaca mobil diturunkan. Dia memperhatikan wajah sopir taksi yang terlihat bingung dan pucat; melambaikan tangan. Tanpa pikir panjang ia melesat.
Taksi berjalan tak tahu tujuan, berputar-putar di dalam kota. Tiba-tiba sopir taksi terisak menangis. Ia mendiamkannya saja. Itu bukan urusannya. Dia hanya menggali, terserah untuk apa. Dia bangga merasa menjadi bagian penting orang-orang di kota ini.
"Istriku kedapatan selingkuh, aku membunuh selingkuhannya," isak sopir taksi itu. "Mayatnya ada di bagasi, aku tak tahu harus dicampakkan ke mana. Aku benci istriku, tapi aku sangat mencintainya…."
Ia mengusulkan ke luar kota, ke pinggir tol panjang yang gelap bersemak. Di sana tanahnya masih gembur. Sekejap saja bisa digali cukup dalam, dan dijamin mayat tak akan dikorek binatang.
Taksi hitam meluncur kencang. Sehabis mengubur mayat dengan berkeringat malam itu, mereka masuk lagi ke dalam kota, mampir di warung tepi jalan, menyeruput kopi, dan merokok dengan diam membisu.
***
Dia tak bisa pulang ke Sindang Laut walau sehari pun. Sopir taksi tak banyak memberinya uang. Ia setia meringkuk lagi di tepi jalan menunggu rezeki. Seseorang memanggilnya dari kendaraan berwarna putih bertuliskan klinik bersalin. Ia pun menyergap pekerjaannya dengan cepat.
Di mobil dia disambut seorang perempuan muda berpakaian suster. Ada bungkusan plastik di sampingnya. "Bantu kami," katanya.
Ia tak menjawab, tapi mencoba melirik bungkusan plastik.
Tak sampai setengah jam mobil memasuki bedeng bangunan berpagar seng, gelap dan suram, tampaknya bangunan terbengkalai. Suster menyerahkan bungkusan.
"Apa ini?" terasa dingin di tangannya.
"Mereka belum siap punya anak," jawab perempuan itu acuh. Ia merasa belum paham dan mau bertanya lagi. "Ng...."
"Beberapa janin beku," jawab perempuan itu terpaksa.
Ia nyaris tersedak.
"Tempat apa ini?"
"Kantor cabang yang lagi dibangun."
Ia pun mulai menggali dengan cepat, gesit tanpa banyak kata. Orang-orang kota telah lama percaya mereka semua. Kota yang terlihat dari kejauhan bagaikan gurita raksasa bergerak di dasar lautan yang airnya hitam.
Tak sampai satu jam pekerjaannya selesai.
Kemarin dia menguburkan mayat orang-orang kejam saling bunuh, malam ini dia tak menyangka menguburkan beberapa janin beku tak berdosa.
Ia hendak pulang kampung malam ini. Segepok uang sudah ada di tangan. Ia menunggu di pintu tol truk-truk kosong yang menuju Pantura untuk ditumpangi. Ia ingin cepat-cepat meninggalkan kota ini. Tapi, seseorang melambaikan tangan dari dalam mobil. Ia berpikir, ambil tidak, ambil tidak. Tiba-tiba saja dia melangkah menuju mobil itu.
Mobil melaju cepat, dengan sesosok mayat di dalamnya, yang terbujur kaku bersimbah darah segar….
Ganda Pekasih pernah bekerja menjadi editor Majalah Anita Cemerlang, pernah menjadi anggota PWI Jaya. Karya- karyanya dimuat Kompas, Republika, Jawa Pos. Saat ini berdomisili di Bogor
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)