Ketika Tiga Perempuan Bicara Tentang Masa Depan Kaum Perempuan

Ketika Tiga Perempuan Bicara Tentang Masa Depan Kaum Perempuan

Dyah Paramita Saraswati - detikHot
Minggu, 06 Agu 2017 17:12 WIB
Foto: Asean Literary Festival (Saras/detikhot)
Jakarta -

Di hari keempat dari gelaran sastra ASEAN Literary Festival 2017, berlangsung sebuah diskusi bertajuk 'The Future is Feminist'. Diskusi tersebut berlangsung di Gedung Tjipta Niaga, Kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Minggu (6/8/2017).

Diskusi 'The Future is Feminist' diisi oleh 3 orang penulis perempuan yang berasal dari 3 negara berbeda, serta dipandu oleh seorang moderator.

Mereka adalah Alanda Kariza dari Indonesia, Clara Chow dari Singapura, dan Tra Nguyen dari Vietnam. Sedangkan seorang aktivis feminisme Kate Walton menjadi moderator dari diskusi tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di awal, diskusi ini membicarakan bagaimana kondisi dan posisi perempuan di negara masing-masing. Meski berada di rumpun yang sama, nyatanya kondisi berbeda kerap dirasakan di setiap negara.

"Di Singapura, perempuan memiliki lingkungan yang baik. Sangat aman untuk perempuan untuk berjalan sendirian di malam hari di Singapura, hanya saja, dalam beberapa hal, tetap saja ada kondisi dasar di mana perempuan terpinggirkan," ungkap Clara Chow dalam diskusi tersebut.

"Contohnya ketika dulu paman saya sering meledek ayah saya karena belum juga memiliki anak laki-laki. Dalam sebuah sekolah Katolik misalnya, murid juga diajarkan budaya konvensional dimana perempuan dididik untuk menjadi istri dan ibu yang baik," tambahnya lagi.

Clara juga menuturkan, perempuan seharusnya tidak menjadi budak biologis yang dapat memilih untuk menikah atau pun tidak, untuk memiliki anak atau pun tidak.

Berbeda dengan kondisi di Vietnam. Menurut Tra Nguyen, perempuan Vietnam menjalani peran ganda dan kekuatan untuk melakukan keduanya, baik mengurus keluarga dan juga bekerja. Terdapat juga beberapa diskusi terbuka mengenai pengaruh perempuan di dunia bisnis.

Sejumlah perempuan Vietnam bahkan bisa maju ke muka sebagai aktivis perdagangan manusia dan isu-isu lainnya.

Namun ada hal lain yang cukup unik. Menurutnya, di Vietnam nyaris tidak ada perempuan yang menjadi aktivis untuk sebuah gerakan perempuan.

"Entah mungkin karena meraka merasa sudah mengerti mengenai peranan perempuan," ungkap Tra Nguyen.

Ketika Tiga Perempuan Bicara Tentang Masa Depan Kaum PerempuanFoto: Asean Literary Festival (Agnes/detikhot)



Sedangkan Alanda Kariza mengungkapkan pandangannya mengenai kondisi perempuan di Indonesia. Alanda melihat, perempuan Indonesia masa kini berada dalam sebuah dilema.

Menurut Alanda, beberapa perempuan masih tidak percaya diri untuk melakukan apa yang mereka inginkan.

"Sebagai contohnya ketika mereka memilih untuk bekerja, timbul pertanyaan siapa yang akan mengurus anak. Sedangkan ketika seorang perempuan yang memiliki pendidikan tinggi memutuskan untuk tidak bekerja, kembali timbul pertanyaan juga sekolah tinggi tapi hanya tinggal di rumah," jelas Alanda.

Menurut Alanda Kariza, ia memandang yang diperjuangkan oleh feminisme adalah bagaimana memberikan akses kepada perempuan untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan.

Meski demikian, Alanda memandang apa yang terjadi di Indonesia dengan kacamata yang optimis. "Ada sebuah harapan dari Indonesia, orang mulai sadar pentingnya membangun kesadaran tentang feminisme," ungkapnya.

Kalimat bernada optimis serupa juga keluar dari mulut dua pembicara lainnya. Clara Chow mengungkapkan, di Singapura posisi perempuan di kabinet sudah diperhitungkan.

"Bahkan kami akan memiliki presiden perempuan pertama jika Halimah Yacob (politikus Singapura) bisa maju ke bursa pemilahan calon presiden dan memenangkannya," ungkap Clara Chow.

(srs/doc)

Hide Ads