Karya tiga seniman yang dipamerkan menggunakan strategi fotografi yang berbeda untuk mempertanyakan realitas visual. Robert Zhao Renhui (Singapura) secara sengaja memprovokasi keraguan: apakah yang kita lihat dokumenter atau fiksi. Zhao Renhui kerap mengeksplorasi alam sebagai karyanya. Karya Robert Zhao Renhui di sini berhubungan dengan Tottori Sand Dunes di Jepang, dan memahami hubungan antara manusia dan hewan.
Seniman asal Yogyakarta Angki Purbandono menggambarkan kembali pelajaran sehari-hari melalui lensa tak biasa. Dia menggunakan metode skenografi di berbagai macam benda. Penggambar hiper-realistis ini memeriksa kembali prasangka kita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agan Harahap pun menampilkan gagasan tentang kekuatan kamera untuk merekonstuksi realitas. Dia menyandingkan tokoh-tokoh surealis dari berbagai konteks. Dalam 'When I Have to Fight Myself' petiju Amerika Rocky Marciano menobatkan Sylvester Stallone versi Hollywood. Lain lagi dengan Mark Justiniani (Filipina) yang bakal menghadiri Yokohama Triennale.
Dia menggunakan teori fenomenologis untuk menyelidiki pengalaman manusia dalam ruang dan waktu. Melalui media reflektif, Mark Justianiani membuat ilusi tanpa henti.
Indieguerillas yang digawangi oleh Santi Ariestyowanti dan Miko Bawono juga hadir dalam eksibisi ini. Mereka memadukan budaya pop dan logo merek kontemporer dengan estetika wayang kulit. Sedangkan Heri Dono adalah salah satu seniman kontemporer terkemuka Indonesia yang karier internasional selama tiga dekade tak redup.
"Pertumbuhan pesat Asia Tenggara baik secara ekonomi maupun sebagai pasar seni muncul di saat kondisi politik, ekonomi, dan sosial tidak stabil di masyarakat global. Namun dunia penuh gejolak, karena para seniman 'Jajak Masa Depan' mengingatkan kita, ekspresi kreatif menjadi kekuatan untuk perubahan positif," pungkas kurator pameran Hermanto Soerjanto.
(tia/dar)