'Second Chance Summer': Liburan Muram di Rumah Danau

'Second Chance Summer': Liburan Muram di Rumah Danau

Is Mujiarso - detikHot
Kamis, 15 Des 2016 13:12 WIB
Second Chance Summer: Liburan Muram di Rumah Danau
Foto: Is Mujiarso
Jakarta - Novel remaja dengan penokohan seorang yang merasa dirinya "pecundang" di antara suadara-saudaranya yang lebih berprestasi sudah sering ditulis. Lalu, apa istimewanya buku ini sehingga terjemahannya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama? 'Second Chance Summer' atau diterjemahkan menjadi 'Kesempatan Kedua' merupakan novel kedua Morgan Matson setelah debutnya yang menarik perhatian berjudul 'Amy & Roger's Epic Detour' (juga telah diterjemahkan oleh penerbit yang sama dengan judul 'Perjalanan Panjang'). Buku kedua dari seorang penulis yang berhasil biasanya akan dinanti dengan penuh rasa penasaran oleh penggemarnya. Demikian juga dengan novel ini. Dan, penantian itu rasanya tak sia-sia karena pembaca memperoleh apa yang diharapkannya. Matson memberikan sesuatu yang sama sekali berbeda dibanding buku pertamanya.

Namun, "sama sekali berbeda" bukan berarti tak punya benang merah. Justru, seorang penulis yang kuat biasanya punya "motif" yang mudah dikenali, dan pada karya Matson hal itu adalah hubungan hangat kekeluargaan, atau lebih spesifiknya lagi relasi emosional seorang anak dan ayah. Jika di 'Perjalanan Panjang' pembaca dipertemukan dengan sosok Amy Curry yang baru saja ditinggal pergi ayahnya untuk selama-lamanya karena kecelakaan mobil, di 'Kesempatan Kedua' ini tokoh kita adalah Taylor Edwards yang harus menghadapi kenyataan bahwa ayahnya baru saja divonis menderita kanker pankreas dan hidupnya tak akan lama lagi. Terasa melodramatik?

Suasana dibuka pada suatu pagi ketika keluarga Taylor bersiap untuk berangkat liburan musim panas di rumah danau mereka di luar kota, dan tokoh kita justru merencanakan untuk minggat. Ia mengendap-endap menghindari adik dan kakaknya, namun berakhir dengan tak sengaja kepergok oleh sang ayah. Minggat adalah hobi Taylor sejak kecil. Namun, kali ini, ketika telah menjadi gadis remaja 17 tahun, merasa enggan bergabung dalam liburan keluarga tentu ada alasan yang lebih besar. Sementara, dilema yang harus ia hadapi, liburan musim panas kali ini bisa jadi merupakan kebersamaan yang terakhir dengan ayahnya. Apa boleh buat. Taylor akhirnya tak bisa mengindar lagi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan tuturan yang tenang layaknya permukaan air danau di musim panas, novel ini memberikan semacam kehangatan yang tak menggebu-nggebu. Kalimat per kalimat mengalir segar, kadang sedih, kadang muram, tapi nyaris selalu memberi kebaruan. Tak ada deskripsi situasi maupun ungkapan perasaan tokoh-tokohnya yang disampaikan dengan klise. Selalu ada ungkapan baru, dan itulah kelebihannya, mengatasi alur yang terkesan lamban dan berpanjang-panjang.

Visualisasi tentang rumah musim panas keluarga yang habis disewa orang dan berantakan, perasaan tokoh kita yang terakhir kali mengunjunginya 12 tahun lalu, dermaga mungil di tepi danau, hutan yang bisa membuat orang tersesat, semuanya dilukiskan sedemikian rupa sehingga menghidupkan imajinasi di kepala. Pembaca bisa iri pada Taylor, padahal β€”sekali lagiβ€” dia pecundang, setidaknya begitulah dia memandang dirinya sendiri di antara dua saudaranya.

Pada akhirnya, yang paling menarik dan terasa "memberikan sesuatu" dari sebuah novel bukanlah ceritanya itu sendiri. Cerita bisa apa saja, bahkan bisa "itu-itu saja"; tentang anak muda yang merasa selalu kalah dan tersisih, bahkan "tak terlihat", dalam keluarga maupun pergaulan. Namun, bagaimana semua itu disampaikan, diungkapkan dalam adegan-adegan yang terasa hidup dan membangkitkan inspirasi. Muram, tapi lembut dan mengandung banyak ironi lainnya, termasuk musim panas namun dilukiskan dengan kehangatan yang membuat orang yang habis membacanya bisa tidur nyenyak dan mimpi indah.

Bagi remaja-remaja Indonesia, yang barangkali terbiasa dengan sinetron yang penuh teriakan tante jahat, novel ini barangkali akan terasa asing. Belum lagi soal budaya "bekerja" bagi anak-anak Amerika yang mulai menginjak usia remaja. Di novel ini, Taylor yang bahkan sedang "menikmati" liburan musim panasnya di rumah danau, tetap diingatkan oleh ayahnya untuk mengisi waktu dengan mencari pekerjaan. Budaya-budaya yang berbeda seperti ini bisa menjadi bahan pembelajaran tersendiri bagi pembaca di Tanah Air, di samping problem-problem remaja yang lebih "universal" seperti teman masa kecil dan pacar pertama.

Morgan Matson sebelumnya adalah seorang editor fiksi remaja, yang kemudian melahirkan karyanya sendiri. Novel pertamanya terasa sangat kekinian dengan berangkat dari budaya "playlist" dan "traveling", dan novel keduanya ini terinspirasi oleh kehidupan kota kecil di Amerika. Kota-kota kecil memang selalu menarik dan membangkitkan fantasi, seperti pernah disuguhkan oleh Twillight Saga, yang memperkenalkan kota Forks, yang digambarkan dengan fantastis sebagai kota yang selalu diguyur hujan dan diselimuti kabut. Rumah danau tempat keluarga Taylor berlibur terletak di Pocono Mountains, Pennsylvania. Di sini tak ada gedung bioskop (tapi memiliki perpustakaan umum), dengan pusat kota yang digambarkan "hanya punya satu jalan panjangnya…satu lampu lalu lintas, satu pom bensin dan beberapa toko."

Bagaimana rasanya liburan keluarga di tempat seperti itu, dengan 'beban' kondisi kesehatan sang ayah yang setiap saat bisa memburuk? Kadang-kadang ada saat pembaca akan merasa bahwa ini sebuah kisah yang malas. Adegan menangkap laba-laba atau mengusir anjing misalnya terasa menghambat laju plot. Namun, sang ayah dengan dengan penyakitnya menjadi motif bagi keseluruhan cerita, dan membuat pembaca menunggu-nunggu apa yang akan terjadi. Benarkah kebersamaan mereka di rumah danau akan menjadi saat terakhir bagi keluarga itu? Di sisi lain, sang protagonis yang hadir sebagai orang pertama berkali-kali hanya memberi fakta betapa dirinya adalah seorang yang tak tahu apa yang harus dilakukan, sementata dua saudaranya selalu memiliki sesuatu untuk ditekuni.

Taylor Edwards memang bukan karakter yang kuat. Dan secara keseluruhan, novel ini adalah sebuah "kisah rumahan" yang tak beranjak jauh kecuali hanya sampai ke tengah kota yang sepi. Yang menarik dari Taylor, dia tak berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Tentu saja, dia dari keluarga berada yang punya rumah di tepi danau untuk berlibur di musim panas. Tapi, apakah itu cukup? Sebagian dari perasaan-perasaan Taylor bisa jadi tidak punya relevansi dengan kehidupan pembaca. Tapi, karena digambarkan dengan begitu nyata, maka siapapun akan mudah merasa bersimpati, dan mengambil hikmah darinya. Tentang bagaimana menghadapi saat terbaik yang sekaligus saat terburuk.

'Kesempatan Kedua' adalah novel yang bagus tentang dunia remaja, dan perlu dibaca kaum dewasa kalau ingin memahaminya. Namun, ini bukan jenis bacaan yang menyenangkan dan menghibur, dalam arti, setiap kalimat terasa menekan, mewakili perasaan seorang anak muda yang "depresif" oleh cintanya pada kehidupan, dengan segala ketakutannya dan usahanya untuk belajar memahami banyak hal β€”dari soal persahabatan, cinta, hubungan keluarga hingga harapanβ€” dalam proses pendewasaannya. Ini adalah buku yang penuh perasaan, dan akan lebih mudah dihayati oleh mereka yang berjiwa melankolis.

Sebagai terjemahan, novel ini memang tak terlalu mulus. Ada frasa-frasa yang terasa kaku misalnya "mengendarai sepeda" (mengapa tak "naik sepeda" saja?), atau mengindonesiakan 'truth and dare' menjadi "kebenaran dan keberanian". Tapi, ya sudahlah, lewati saja. Satu 'kekurangan' lagi, dibanding 'Perjalanan Panjang' yang dibungkus dalam desain sampul yang membuat pengunjung toko buku akan menoleh dua kali lalu mengambilnya tanpa pikir panjang, apa boleh buat, cover 'Kesempatan Kedua' tidak se-catchy itu, walau tetap dalam warna yang cukup mencolok mata. Tapi, bukankah pepatah lama mengatakan, jangan menilai buku dari sampulnya?

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads