Pengumuman itu pun memunculkan pro dan kontra. Banyak yang menganggap karyanya layak mendapatkan penghargaan seumur hidup, ada lagi yang merasa dia tidak layak. Jika ditelisik, novel 'Tarantula' yang rilis secara sembunyi-sembunyi di pertengahan era 1960-an, lalu diterbitkan secara resmi pada 1971, bisa dianggap sebagai bukti pertama.
Dylan pun menjadi anggota pertama dari Rock and Roll Hall of Fame di Hollywood. Pada dasarnya karya-karya Dylan tidak bisa dipisahkan antara musik dan kata-kata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di hari yang sama saat pengumuman berlangsung, Dylan tengah menggelar pertunjukan di Las Vegas. Lalu, apa yang membuat seorang pria yang baru menulis tiga buku, masuk sebagai pemenangnya?
Seorang kritikus musik Colin Paterson mengatakan lirik-lirik yang ditulis oleh Dylan menampilkan persoalan politik, eksplorasi tentang banyak hal, dan hak-hak asasi manusia yang sudah terangkum lebih dari 50 tahun lamanya. Hasilnya, adalah sepanjang 112 tahun penyelenggaraan Hadiah Nobel tidak ada penulis lagu yang pernah memenangkannya.
Keputusan ini sekaligus mengangkat lirik lagu setara dengan sastra maupun puisi serta naskah drama. Serta langkah besar dari pengabdian intelektualitas.
Di tengah hiruk pikuk obrolan di sosial media, penulis Salman Rushdie justru memuji kemenangan Dylan. "Dari Orpheus Faiz, lagu dan puisinya telah dikaitkan erat. Dylan adalah pewaris brilian dari tradisi bardic," ujarnya.
Namun, penulis Irvine Welsh juga mengungkapkan ketidaksukaan atas kemenangan Dylan. "Aku penggemar Dylan tapi ini adalah penghargaan ini membuat sakit dan seperti seorang hippies yang meracau," pungkasnya.
(tia/mmu)