Proyek tersebut menjadi bagian dari program Retrospektif Sardono di Singapore International Festival of Arts (SIFA) 2016 yang berlangsung di Singapura pada 13 hingga 28 Agustus. Dokumentasi yang kemudian diberi judul 'Borobudur' itu merupakan satu dari sekian banyak rekaman yang diambil Sardono dalam rentang waktu 1968 hingga 1978.
Adalah Ong Keng Seng, seorang kreator festival seni yang memiliki reputasi internasional, dan kini menjadi direktur SIFA, orang yang pertama kali menyadari bahwa apa yang telah dilakukan Sardono di masa mudanya itu merupakan sesuatu yang penting dan berharga untuk menjadi bahan pembelajaran bagi generasi masa kini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Kini, Sardono sendiri pun merasa heran, bagaimana dulu dirinya terpikir untuk membawa kamera ke mana-mana dan merekam aktivitasnya. "Saya waktu itu 23 tahun, dan entah kenapa suka aja merekam. Mungkin karena sebelumnya saya lama di Amerika, jadi terbawa budaya itu," ujarnya saat ditemui di sela kesibukannya di SIFA.
Selama sembilan tahun Sardono menjadi penari di Amerika. "Saya menari kan dapat honor, ya lalu saya belikan kamera itu," kenang pria kelahiran Solo yang pernah menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta, dan telah melahirkan karya-karya tari seperti 'Passage Through the Gong', 'Nobody's Body' dan 'Opera Diponegoro' itu.
Keisengan Sardono tidak percuma. Selama 40 tahun ia menyimpan rekaman dokumentasi aktivitas itu, kini berbuah dan menjadi sebuah karya yang berharga. Panitia SIFA mengeluarkan dana besar untuk merestorasi rekaman-rekaman itu, dan menampilkannya kembali menjadi sebuah rangkaian film.
![]() |
Expanded Cinema Sardono diputar di galeri Malay Heritage Centre. Rangkaian film tersebut diputar secara serentak dalam 6 layar kecil, masing-masing 3 layar di sisi kanan dan kiri galeri. Lalu, Sardono menambahkan satu film lagi yang memang sejak awal diniatkan sebagai sebuah karya film, diproduksi pada 2015, diberi judul 'Raden Saleh After 200 Years'. Film ini diputar di layar besar utama.
Pemutaran dilakukan nonstop tanpa jadwal. Dari jam 10 pagi hingga sembilan malam, film diputar terus-menerus. Pengunjung datang, dan langsung melihat bagian film yang tengah berlangsung. Jika ada yang ketinggalan, bisa menunggu sampai film tersebut berulang dari awal. Film di layar utama berdurasi 1 jam 19 menit. Sedangkan film-film pada layar kecil bervariasi. Satu layar bisa berisi lebih dari satu film, dengan durasi antara 3 menit hingga setengah jam.
Pada layar-layar itu, selain bisa disaksikan kembali Sardono yang menari di puncak stupa Borobudur pada 1968, juta bisa dilihat kegiatan sang penari mengunjungi Nias, Bali hingga Menara Eiffel di Paris. Ada juga rekaman sosok pelukis Affandi. Selain Expanded Cinema, Retrospektif Sardono juga menampilkan karya tari terbarunya, berjudul 'Black Sun' yang dipentaskan pada Jumat dan Sabtu (26-27/8) akhir pekan ini.
Semua program dalam Retrospektif Sardono di SIFA 2016 didukung oleh Mandiri Art, sebuah unit dari Bank Mandiri yang berdedikasi pada upaya untuk memajukan dunia seni di Tanah Air, sekaligus mendorong karya seni dan seniman Indonesia agar lebih dikenal di ranah internasional. (mmu/kak)