Riuh Kekacauan di Lakon Teater Garasi 'Yang Fana Adalah Waktu'

Riuh Kekacauan di Lakon Teater Garasi 'Yang Fana Adalah Waktu'

Tia Agnes - detikHot
Sabtu, 30 Jul 2016 11:11 WIB
Foto: Tia Agnes
Jakarta - Seorang pria berambut plontos muncul ke atas panggung sambil membawa lakban. Dengan alat tersebut, dia membentuk kotak layaknya ring, lalu berlatih tinju. Tak lama, perempuan berpakaian merah hadir dengan wajah kebingungan.

"Ini potret keluarga saya. Lebaran tahun ini Rosnah mau pergi ke Jakarta. Katanya mau jadi artis yang tampil di tivi. Padahal dia baru pulang dari Hong Kong jadi TKW. Rasyid jual sawahnya, mau pergi ke Arab," ucap lirih perempuan itu dari atas panggung.

"Afganistan bukan Arab," ralat Rasyid.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sepotong adegan tersebut terus menerus diulang sampai ketiga kalinya di dalam pertunjukan 'Yang Fana Adalah Waktu. Kita Abadi' yang dipentaskan oleh Teater Garasi, semalam. Judul tersebut dipinjam Teater Garasi dari puisi karangan Sapardi Djoko Damono 'Yang Fana Adalah Waktu' (1978).

Adegan yang menjadi momen dramatik sebuah keluarga ketika Lebaran, sutradara sekaligus salah satu pendiri Teater Garasi Yudi Ahmad Tajudin ingin menampilkan contoh dari persoalan-persoalan yang tak selesai pasca 1998. Ada kekerasan seksual, terorisme, pengangguran, buruh migran, kemiskinan, kelaparan, pembunuhan, kekacauan politik, ketegangan karena agama, dan lain-lain. Permasalahan tersebut pula yang melatarbelakangi pembacaan tim Garasi tentang 'tatanan' dan 'berantakan' (order dan disorder).

"Kejadian yang dialami Rosnah hanya salah satu contoh, tapi kami juga sengaja tampilkan harapan yang kontradiksi dari kenyataan," ucap Yudi, usai gladi resik di Goethe-Institut Jakarta, Pusat Kebudayaan Jerman, Jakarta Pusat, Jumat (29/7/2016) malam.

Potret keluarga memajang karakter Rosnah si buruh migran, kakak laki-laki yang ke Afganistan, adik yang hobi mengumandangkan adzan setiap waktu, ibu yang pasrah, suami yang senang menembaki burung untuk mengisi waktu luang, binatang peliharaan yang memakan rendang saat Lebaran. Di luar rumah, ada rumor seorang pembunuh kucing yang berkeliaran.

Suatu ketika, di tengah hiruk pikuk Jakarta, sopir dan kenek mengendarai angkutannya untuk mencari penumpang. "Lihat Jakarta, kota urban dan impian semua orang. Lihat di sana, ada pasangan kekasih yang memadu cinta, orang yang buru-buru pergi ke kantor," ujar sang sopir. Desingan knalpot, abu jalanan, riuhnya suasana ibukota menambah semarak 'Yang Fana Adalah Waktu'.

Di antara adegan, Garasi juga menghadirkan bule berpakaian gaun putih. Bergeliat bak seorang perempuan gelisah, narasi-narasi mitologi tentang 'dionisos' dibacakan narator pertunjukan dalam bahasa Yunani. "Pembacaan Dionisos sama seperti konsep pertunjukan kami, kekacauan dan hal-hal yang tidak selesai," ungkap Yudi.

Simbol-simbol kekacauan diselipi dengan kebun taman kanak-kanak dengan dominasi warna hijau. Selain itu, boneka-boneka Teletubbies juga dihadirkan dalam pertunjukan. 'Yang Fana Adalah Waktu' adalah kunjungan yang riuh pada kenyataan sehari-hari di Indonesia abad 21. Persoalan yang saling beradu dan trauma kekerasan sejarah terus menghantui Indonesia.

Monumen patung sebagai simbol kota yang ditutup dengan terpal biru dan diikat sampai akhir pertunjukan sengaja tak dilepas, seakan menegaskan persoalan dan banyaknya kekacauan memang belum terselesaikan di negeri ini. Di tengah keriuhan tersebut, ada masyarakat yang menikmatinya dan menari.

Selain Yudi, pentas ini diciptakan bersama oleh Andreas Ari Dwianto, Arsita Iswardhani, Erythrina Baskoro, Gunawan Maryanto, Ignatius Sugiarto, Jompet Kuswidananto, Muhammad Nur Qomaruddin, Sri Qadariatin, Ugoran Prasad, Vassia Valkanioti, Yennu Ariendra.

Didukung oleh Badan Ekonomi Kreatif dan Bakti Budaya Djarum Foundation, pertunjukan 'Yang Fana Adalah Waktu' masih bisa disaksikan di Goethe-Institut Jakarta, Jalan Dr.Sam Ratulangi No 9-15, Menteng, Jakarta Pusat, pada 30-31 Juli pukul 20.00 WIB. Tiketnya dibanderol seharga Rp 150 ribu (kelas 1) dan Rp 200 ribu (kelas VIP). (tia/nu2)

Hide Ads