Terlihat banyak tertawa, perempuan kelahiran tahun 1989 yang biasa dipanggil Purnama itu tampil santai dengan polo shirt hitam dan celana jins biru. Rambut dikuncir ekor kuda, membuatnya tampak mungil, ceria dan masih berada di akhir masa remajanya. Tampak sebagai sosok yang irit bicara, sekali bersuara, ia membuat hadirin takjub dengan jawaban-jawabannya yang tak terduga.
Di masa lalu yang belum lama berlalu, penyair-penyair perempuan seusianya barangkali akan membuat pendengarnya bosan dengan jargon-jargon tentang keagungan puisi. Tapi Purnama, sebagai bagian dari generasi baru yang tumbuh dalam riuhnya dunia digital, dengan santai bicara tentang peluang dan tantangan yang berbeda bagi penulis dalam generasinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, penyair Pemenang II sayembara DKJ lewat manuskripnya yang berjudul ‘Kawitan’ yang kemudian diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama bersama dua pemenang lainnya itu mencontohkan puisinya sendiri, ‘Semangka di Semanggi’ yang terhimpun dalam buku tersebut.
Air mata rumputan/ menumbuh subur sebiji benih/ bagai keluh ganti musim // Semangka ranum/ matang di kebun, santap juga di kebun/ manisnya leleh kembali ke tanah/ semut dan ulat berebut mencecap // Akhir minggu, awal minggu/ buah-buah rekah dalam poster iklan/ mengangan yang sungguh, namun tiada.
“Betapa kita anak-anak sekarang kehilangan memori kultural misalnya budaya menanam, makan semangka langsung di kebunnya sambil melihat pohonnya. Memori itu nggak didapat lagi sekarang, semangka hanya ada di poster iklan. Kondisi-kondisi paradoks seperti ini yang saya ungkap dalam buku puisi ini,” tutur Purnama.
Secara umum, dunia tempat Purnama berpijak tidaklah asing bagi pembacanya, mungkin dekat atau bahkan mewakili. Uniknya, dan yang membuat puisi-puisi Purnama terasa memberikan suara yang baru dan segar, ia mengolah dunia dan kenyataan yang tak asing itu dalam idiom-idiom dan metafora yang mengejutkan.
Simak misalnya puisi ‘Paskah di Benhil’. Bagi pembaca Jakarta tentu tahu belaka bahwa Benhil adalah nama sebuah lokasi populer di tengah kota. Purnama melukiskannya lewat deskripsi detail pada “toko fotokopi langganan yang tutup/ warung ketupt sayur juga tutup/ Jiwa kami bagai kaleng minuman bekas/ tanda dilindas hampa/ Dipungut pemulung barang loakan.
Di situ juga ada “tukang parkir”, dan bau asam ketingat orang miskin dengan keluh beras mahal/ cicilan rumah mahal/ dikulum senyum pasrah. Miniatur dunia yang kacau di Benhil seperti itu membuat sang “aku” dalam puisi tersebut menjadi bertanya-tanya, masih perlukah melanjutkan langkah ke gereja, yang menjadi tujuannya sejak awal di hari paskah itu?
Dewan juri sayembara manuskrip buku puisi DKJ 2015 menyebut kepekaan Purnama pada realitas yang kontradiktif seperti itu sebagai “empati sosial” yang muncul di sana-sini dalam puisi dan dideskripsikan dengan lembut. Tentu saja ini bukan hal baru dalam puisi Indonesia kontemporer. Namun, kelebihan yang dilihat oleh tim juri, Purnama melakukannya dengan pengendapan emosi, intensitas dan kesubliman yang matang, yang dibungkus dengan kemampuan berbahasa yang baik.
Sesuatu yang tampak lumrah dan menjadi santapan sehari-hari via media, di “mata penyair” Purnama bisa menjadi pertanyaan yang perih. Misalnya ketika ia melihat iklan toko kue baru dibuka/ Aneka croissant ditawar setengah harga/…di halaman lain/ Ratusan pengungsi melarikan diri/ Laparnya memuncak sampai ke bulan mati (puisi ‘Doa Natal Keluarga Poyk’).
“Tragedi dan suka cita bisa datang bersamaan. Kita menganggapnya biasa saja. Tapi bagi saya itu memunculkan pertanyaan yang juga bisa dibaca sebagai gugatan. Banyak pertanyaan berlalu begitu saja karena memang saya tak tahu jawabannya,” ujar penyair kelahiran Bali yang dalam tiga tahun terakhir menetap di Jakarta itu.
“Buku ini saya beri judul Kawitan yang artinya the beginning. Ini pemaknaan saya atas pertanyaan asal muasal segala hal, baik tentang penciptaan, tempat, keluarga, tradisi, kebudayaan. Bagian pertama pengalaman saya di luar Bali, ada perenungan atas berbagai hal yang bikin saya mempertanyakan kembali jati diri saya. Bagian kedua pengalaman di Bali sendiri,” tuturnya.
Di luar Bali, Purnama telah menjelajah dari "Weltevreden" hingga Rotterdam, berdialog dengan Marco, Hatta hingga Sitor. Sedangkan di tanah kelahirannya sendiri ia menyisir kembali jalan-jalan dan tempat-tempat yang pernah ia lalui dan akrabi, dan merasakan “seolah kita saling asing di rumah sendiri ini” (puisi ‘Kuta’) dan “di sinilah kita tersesat dalam diri” (puisi ‘Jalan Gajah Mada Denpasar).
“Dalam perjalanan puisinya, Purnama berkomunikasi dengan hantu-hantu penyair lama. Kalau ada pengaruh, misalnya dari Sitor maka ya disebutin Sitornya. Artinya, ia menawarkan cara terbuka dan asyik untuk mengolah pengaruh-pengaruh penyair klasik Indonesia itu lewat intertektualitas yang bukan sekedar pamer tapi benar-benar jadi dialog tentang pengaruh itu sendiri. Maka, judul Kawitan terasa sangat pas, asal muasal, leluhur….” puji anggota dewan juri sayembara manuskrip buku puisi DKJ 2015 Mikael Johani.
(mmu/mmu)