Norman Erikson dan Puisi yang Mengharukan

Norman Erikson dan Puisi yang Mengharukan

Is Mujiarso - detikHot
Senin, 25 Apr 2016 13:45 WIB
Norman Erikson dan Puisi yang Mengharukan
Jakarta -

Di panggung sastra Indonesia, nama Norman Erikson Pasaribu lebih dulu dikenal sebagai cerpenis. Namanya mencuat ketika karyanya yang berjudul ‘Sepasang Sosok yang Menunggu’ masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2012. Namun, pada Desember 2015 lalu, ia mengejutkan dengan muncul sebagai pemenang Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) lewat naskahnya yang berjudul ‘Sergius Mencari Bacchus’.

“Sebetulnya saya memang lebih dulu menulis puisi ketimbang cerpen,” ujar penulis yang sebelumnya juga telah menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul ‘Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu’ (2014) tersebut.

Norman kemudian mengenang, ketika duduk di bangku SMA ia telah menulis banyak sekali puisi. Sampai hari ini pun, ia lebih suka membaca puisi ketimbang cerpen ataupun npvel. Tapi, sejak kuliah ia mulai merasa pesimis dengan puisi-puisinya. Dan, karena itulah ia mulai menekuni cerpen meskipun juga masih tetap menulis puisi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Awal 2015 saya harus mulai mengerjakan skripsi. Saat itu saya merasa ingin kembali menulis puisi,” kenang pria kelahiran Jakarta, 26 tahun lalu itu. “Alasan pastinya nggak jelas, tapi barangkali waktu untuk saya sendiri ketika itu sangat sedikit dan saya bosan dengan banyak hal yang saya kerjakan saat itu,” sambungnya.

Dengan kata lain, naskah ‘Sergius Mencari Bacchus’ awalnya sekedar diniatkan untuk ditulis saja. Tapi, ketika mendengar pengumuman Sayembara Manuskrip Buku Puisi DKJ 2015, ia pun tertantang untuk menyelesaikan naskah tersebut.

“Beberapa puisi di naskah itu adalah rework dari naskah-naskah lama saya yang tak diselesaikan,” ujarnya. Hasilnya, seperti kemudian diketahui bersama, manuskrip ‘Sergius Mencari Bacchus’ terpilih sebagai Pemenang I, bersama dengan dua naskah lainnya, ‘Kawitan’ karya Ni Made Purnama Sari dan ‘Ibu Mendulang Anak Berlari’ karya Cyntha Hariadi masing-masing sebagai Pemenang II dan III.

Kini, ketiga manuskrip tersebut telah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, dan bisa dinikmati khalayak. Dengan terbitnya ‘Sergius Mencari Bacchus’, Norman mengukuhkan namanya sebagai penyair angkatan terkini yang telah menerbitkan karyanya, menyusul antara lain Aan Masyur, Mario F Lawi, dan Adimas Imanuel.

Sebagai bagian dari penulis-penulis muda yang kini tengah tumbuh, Norman pun cukup intens mengikuti perkembangan karya-karya mereka. “Saya sering terkesan dengan penulis-penulis seumuran saya. banyak yang sangat menarik baik dalam hal apa yang mereka tulis maupun cara mereka menuliskannya. Saya kira saya bisa membaca apapun yang ditulis oleh Dias Novita Wuri. Dan, tentu saja juga barisan nama penting ini: Leopold A. Surya Indrawan, Dea Anugrah, Frischa Aswarini, Ni Made Purnamasari, Rio Johan, Andina Dwifatma,” paparnya.

“Puisi pemenang ketiga sayembara DKJ, Cyntha Hariadi, juga memukau saya, tetapi umurnya sudah jauh mengungguli saya hehehe...” tambahnya.

Dalam catatan pertanggungjawaban yang dibacakan di Malam Penganugerahan, 22 Desember lalu, anggota dewan juri Mikael Johani mewakili dua juri lainnya yakni Joko Pinurbo dan Oka Rusmini menyebutkan bahwa manuskrip ‘Sergius Mencari Bacchus’ karya Norman Erikson yang mereka tetapkan sebagai Juara Pertama adalah naskah yang sangat mengharukan.

“Naskah ini menghadirkan tema yang jarang diolah secara demikian baik dalam puisi Indonesia, yakni kehidupan dan identitas homoseksual, termasuk identitas transgender, lewat narator yang kadang lelaki kadang perempuan,” ujar Mikael.

Lewat cara bertutur yang kaya, dari gaya pengakuan pseudo-memoir hingga kode-kode literer, puisi-puisi dalam ‘Sergius Mencari Bacchus’ melukiskan kegalauan batin tokoh yang sedang bertanya-jawab mengenai identitas dirinya, yang dianggap sebagai “liyan” oleh keluarga dan lingkungan masyarakat serta budayanya. “Mungkin bakal memerlukan detektif sastra untuk memecahkannya,” tambah Mikael dengan nada kelakar.

Selain itu, Norman juga dipuji piawai mencampuraduk berbagai macam referensi, alusi, dan gaya. Dari yang kuno sampai yang kekinian, dari high culture sampai ke pop culture. Berbagai referensi tersebut dinilai sebagai hasil pertimbangan yang matang untuk menjadi semacam hyperlink yang memberikan petunjuk sekaligus kedalaman lebih lanjut tentang tema kegalauan identitas homoseksual dan transgender yang diusungnya.

Mikael menunjuk, sebagai salah satu bukti pemilihan referensi yang matang tadi, dipakainya sosok Santo Sergius dan Bacchus, martir dari abad ke-4 yang karena persahabatan mereka yang erat sering diadopsi sebagai gay icons. Dengan itu semua, Norman telah menghadirkan satu problem dan situasi kontemporer yang pelik dan jarang disentuh oleh penyair lain lewat kemasan yang juga sangat kekinian dalam intertekstualitasnya.

“Sergius Mencari Bacchus paling menjawab keinginan kami untuk menemukan naskah yang menawarkan tema kuat, kebaruan, dan teknik penulisan yang segar dan mumpuni,” kata Mikael Johani.

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads