Seni Perlawanan Ibu-ibu Bumi

Seni Perlawanan Ibu-ibu Bumi

Is Mujiarso - detikHot
Kamis, 14 Apr 2016 13:46 WIB
Jakarta -

“Yu, kae lho ana pelangi!

Dhyta Caturani berusaha mengalihkan perhatian Yu Sukinah. Perempuan yang tengah menangis sesunggukan itu menoleh ke belakang, ke arah Tugu Monas yang dipunggunginya, tegak menjulang di tengah petang, jauh di sebelah Timur sana. Dhyta tidak bohong. Di pucuk tugu itu, selarik pelangi menjuntai di cakrawala. Beberapa jam sebelumnya, hujan rintik-rintik memang sempat turun, tapi urung menjadi deras.

Sesaat Yu Sukinah tersenyum sambil menyeka matanya dengan ujung selendangnya. “Perjuangan kita diberkati Gusti Allah!” seru Yu Sukinah, nyaris tertelan lagi oleh isak yang kembali. Tapi, ia tak mau berlama-lama terlena dengan keindahan lukisan Tuhan di langit itu. Ia kembali menatap kakinya, yang tampak lebam. Selubung gips putih masih membungkus telapak kaki itu. Telapak kaki kasar seorang petani. Kaki yang sejak Selasa (12/4) dicor dengan semen di dalam bak kayu, sebagai aksi protes terhadap rencana pembangunan pabrik semen di desanya, di Rembang, Jawa Tengah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana rasanya kaki dicor semen? “Dingin, kaku,” kata Yu Sukinah. Bersama 8 perempuan lainnya dari desa-desa di Kawasan Pegunungan Kendeng (Rembang, Blora, Pati), Yu Sukinah menggelar aksi yang diberi nama “Petani Terbelenggu Semen”. Mereka duduk di kursi lipat dengan kaki terpasung, berjajar memunggungi Monas, menghadap ujung Jalan Medan Merdeka Barat, tepat di depan Istana Merdeka.

Rabu (13/4) menjelang petang itu, cor dibuka dengan cara dihancurkan. Aksi pembongkaran kembali cor semen yang membelenggu kaki 9 perempuan petani Kendeng Yu itu mungkin lebih cepat dari yang direncanakan. Hal itu dilakukan setelah pagi harinya mereka ditemui oleh Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki yang intinya menyampaikan bahwa Presiden Jokowi masih berusaha untuk bisa menemui para petani. Hari itu Presiden masih berada di Padang.

Sorenya, mereka mendapat kabar bahwa Presiden akan mengirim utusan seorang menteri untuk menemui para pelaku aksi. “Kita bongkar semen ini sekarang bukan berarti kita kalah, tapi ini bentuk kepercayaan kita pada Pak Jokowi,” tutur Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, Gunretno. Tangis keharuan langsung menyelimuti suasana begitu kotak cor semen yang membelenggu kaki itu dibuka satu per satu. Tangis itu menjadi tanda semakin terbakarnya semangat, dan masih adanya harapan.

Kelompok band punk Marjinal yang datang untuk memberikan dukungan, melantunkan lagu 'Darah Juang'. Dhyta, aktivis Reformasi yang hingga kini masih rajin mengkoordinasi dan mendampingi berbagai aksi perlawanan itu, mengepuk-ngepuk pundak Yu Sukinah. Para simpatisan menghampiri satu per satu sembilan ibu yang masih duduk di kursinya masing-masing, sambil perlahan mulai meluruskan dan menggerak-nggerakkan kaki mereka. Mereka memberikan pelukan dukungan, menyalami dan menunduk takzim sambil mencium tangan para ibu itu. Yang lain ikut merubung dan bertanya, bagaimana rasanya setelah cor semen dilepas?

“Ya lega…lagi-lagi ini mukjizat Gusti Allah, tidak sakit, tidak kram, kesemutan pun tidak. Padahal biasanya kalau duduk naik bis agak lama saja kaki pasti sudah bengkak-bengkak,” ujar Yu Sukinah.

“Saya sendiri sebenarnya tidak mentolo, tidak tega, melakukan aksi seperti ini untuk meminta perhatian pemerintah, tapi ya mau bagaimana lagi?” ujar Yu Ginem dari Pati.

“Kami ini petani, yang kami punya hanya sepetak tanah, kalau musim kering air harus beli, kalau di desa kami didirikan pabrik semen, lingkungan akan rusak, bagaimana kami bisa mengolah sawah menghidupi keluarga?” ujar Yu Deni, yang termuda di antara sembilan “Kartini” itu.

“Kami tidak bisa banyak berkata-kata, kami tidak pintar menyampaikan aspirasi, makanya kami pakai cara ini (menyemen kaki), semen dijawab dengan semen,” lanjut Deni.

Aksi di depan istana selama dua hari itu merupakan rangkaian dari perjuangan panjang para petani pegunungan Kendeng melawan rencana pendirian pabrik semen oleh pengusaha yang telah mendekati para kepala desa, yang juga mereka nilai telah memanipulasi amdal (analisis dampak lingkungan). Namun, aksi kali ini memang seolah menjadi cerita baru, menyentak perhatian publik.

Ide untuk menyemen kaki itu datang dari 9 perempuan itu sendiri, dan itu mengejutkan bagi banyak kalangan. Di malam hari, mereka digotong ke dalam mobil untuk dibawa ke Kantor LBH Jakarta. Mereka istirahat, makan dan tidur dengan belenggu semen di kaki. Ini adalah sebuah bentuk seni perlawanan yang ekstrem, jika dibandingkan misalnya dengan aksi mogok makan yang biasa dilakukan dalam aksi-aksi melawan ketidakadilan. Lebih repotnya lagi, mereka bukanlah perempuan-perempuan yang berpenampilan modern; mereka adalah perempuan-perempuan desa yang berkain dan kebaya, sehinga geraknya tentu tak seleluasa dibandingkan dengan mereka yang mengenakan rok atau celana panjang dan baju kasual.

Aksi mengecor kaki dengan semen ini begitu teatrikal, sekaligus bisa dilihat sebagai seni instalasi yang langsung menggunakan tubuh sendiri sebagai medianya. Mereka memang bukan seniman. Mereka juga menampilkan diri apa adanya, tanpa atribut “seni”, kecuali benda-benda yang memang menjadi bagian dari keseharian mereka, seperti topi caping. Mereka para perempuan, petani, ibu bagi anak-anaknya sekaligus bagi bumi ini, yang memberikan pangan bagi umat manusia. Tapi, dengan caranya yang mengejutkan, mereka telah menjadikan diri masing-masing sebagai subjek sekaligus objek seni mereka.

Ini mengingatkan orang pada penyair Wiji Thukul (yang hilang di tengah huru-hara Reformasi) yang “mempersembahkan” matanya sendiri secara konkret untuk menyuarakan puisi-puisi perlawanannya. Tak pelak, banyak orang tidak tega menyaksikannya. Teten Masduki pun, yang menemui mereka di Kantor LBH, berusaha membujuk agar aksi tak dilanjutkan. Para aktivis yang mendampingi mereka juga menyarankan hal yang sama.

Bagi pengamat dan kurator seni Alia Swastika, aksi perlawanan yang dilakukan 9 perempuan petani Kendeng itu telah menciptakan cerita dan citra yang akan terus menghantui hari-hari depan bangsa ini. Alia menilai, aksi para ibu itu adalah sebuah keberanian yang menggetarkan. “Saya tidak bisa tidur membayangkan epik keberanian yang sangat menyentuh itu. Semua ini melampaui bahasa. Semoga masih ada ruang untuk perjuangan panjang mencari keadilan,” tutur Alia.

(mmu/mmu)

Hide Ads