Sejak dipenjara dua tahun lalu, Fayadh telah menulis sebuah puisi berjudul 'Tense Times'. Puisi yang menceritakan tentang kesedihan atas meninggalnya sang ayah dan perasaan terisolasi di penjara kota Abha di bagian selatan negara tersebut.
Ayahnya Abdul-Satar Fayadh menderita serangan jantung pada November lalu saat mengetahui anaknya dijatuhi hukuman mati. Sang penyair pun tidak diizinkan untuk menghadiri pemakamannya. Puisi yang dirilis saat Hari Puisi Dunia, seperti dilansir dari Guardian, Selasa (22/3/2016), Fayadh teringat akan terakhir kali melihat ayahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penulis asal Palestina itu juga menyebutkan ia dikepung oleh tentara, sistem hukum, dan rezim pemerintahan. Seorang kawannya mengatakan kini ibunya yang kerap mengunjungi Fayadh selama dua kali seminggu. "Saya berharap saya akan bertahan dan orang-orang akan terus ingat saya. Saya takut untuk dilupakan," kata Fayadh.
Direktur Tate Modern, Chris Dercon yang pernah mengunjungi pameran Fayadh mengungkapkan puisinya seperti sebuah siklus tak berujung dan terowongan tanpa cahaya tiada akhir. "Dia tampaknya ingin menaklukkan kuburannya sendiri."
Penulis dan aktivis Mona Eltahawy mengatakan puisi itu membuatnya merinding. "Ini adalah pengingat bagaimana ketidakadilan rezim Saudi bisa memenjarakan warganya dan berdampak pada keluarga. Kata-kata Ashraf juga sebagai pengingat bahwa ia tidak akan bisa dibungkam," katanya.
Kasus yang terjadi pada Fayadh bermula pada 2008 lalu saat dia menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi yang berjudul 'Instructions Within'. Setelah bukunya rilis, terjadi forum diskusi bersama beberapa penulis dan pembaca di sebuah kafe. Salah seorang pria terlibat perdebatan dengan Fayadh lalu melaporkannya kepada kepolisian setempat.
(tia/tia)