Dalam sebuah wawancara kepada media lokal, Rabinyan mengatakan bahwa novelnya tersebut berlatar New York. Bukan di negara yang selama puluhan tahun berseteru tersebut.
"Keduanya menghabiskan waktu musim dingin di luar negeri untuk mengenal satu sama lain dengan detail. Ini sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan di tanah sengketa," ucapnya, Senin (4/1/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menganggap wajar jika Kementerian Pendidikan Israel melarang beredar novel yang rilis tahun 2014 lalu. Menurutnya, kemampuan dari dua karakter di bukunya bisa memberikan pengetahuan yang lebih luas.
"Mungkin apa yang saya ceritakan di buku bisa mengatasi konflik Timur Tengah yang berkepanjang dan mengacam pemerintah. Meski yang saya ceritakan hanya persoalan jatuh cinta sepasang kekasih dua negara," ungkap Rabinyan.
Media lokal setempat juga memperdebatkan bahwa buku 'Borderlife' masuk penghargaan sastra bergengsi Israel yang dikenal dengan 'Bernstein'. Karya-karya yang masuk penghargaan tersebut dianggap terbaik dan patut dibaca publik. Namun, pemerintah menganggap sebaliknya dan justru memberlakukan sensor.
Selain 'Borderlife', kurikulum Israel juga melarang buku-buku dengan isu panas beredar di sekolah. Seperti novel tentang pengusiran orang Arab dari sebuah desa fiktif yang terjadi di tahun 1949 karangan Khirbet Khizeh. Atau 'A Trumpet in the Wadi' tentang hubungan cinta antara pria Yahudi dengan wanita Arab Kristen, dan lain-lain.
(tia/mmu)