Wajah Politik dan Fashion dalam 'Landscape Anomaly' Eko Nugroho

Wajah Politik dan Fashion dalam 'Landscape Anomaly' Eko Nugroho

Tia Agnes - detikHot
Selasa, 24 Nov 2015 08:55 WIB
Foto: Tia Agnes
Jakarta - Tiga lukisan bordir dengan sulaman tangan menyapa pengunjung ketika pintu Galeri Salihara terbuka. Bertuliskan 'Share Shrink Heart Hurt', 'Cash of Clash' dan 'I Love You Really Love You', dua pria bertubrukan dengan dominasi warna merah membuat kesan karya menakutkan.

Namun, ketika masuk lebih dalam lagi, suasana sarat politik dan fashion lebih kental terasa dalam pameran tunggal Eko Nugroho 'Landscape Anomaly'. Khususnya ketika gas tabung berwarna biru seukuran 12 kilogram tersusun seperti anak tangga berada di bagian tengah galeri. Ada mata yang tampak menonton para pengunjung.

Ya, mata yang terselip di antara susunan gas tabung setinggi lebih dari 3 meter tersebut. Tampaknya seniman asal Yogyakarta Eko Nugroho benar-benar membuat Galeri Salihara seperti laboratorium bermainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana tidak, pameran tunggal pertamanya setelah 4 tahun vakum tidak berpameran di Tanah Air, sengaja dibuatnya di galeri. Karya-karyanya pun tetap menampilkan simbol-simbol yang selama ini dilakoninya. Sarat kritik sosial, politik, dan bercampur dengan aroma fashion yang baru-baru ini digeluti Eko.

Tiga tahun lalu, Eko Nugroho memang pernah mendesain scarf untuk brand ternama dunia, Louis Vuitton. Kini, dirinya bekerja sama dengan label Tanah Air MajorMinor yang sudah masuk ke pasar Inggris dan Jepang serta berkolaborasi dengan mereka di Jakarta Fashion Week tahun ini.

Ditemui di sela-sela pembukaan pamerannya, Eko mengungkapkan pamerannya kali ini bukanlah retrospektif.

"Saya tetap mengkritisi fenomena sosial dan mulai sadar tentang politik saat semester 2 di tahun 1998. Dari situ saya mulai berkarier di rupa," katanya, Sabtu (21/11/2015).



Simbol 'mata' pun digunakan Eko sebagai perlambang dirinya yang berasal dari generasi sekarang. "Lewat bahasa visual mata, saya berbicara tentang kejadian yang terjadi sekarang ini. Tidak melulu persoalan politik dan kebijakan pemerintah tapi juga apa yang terjadi sekarang ini," ungkapnya.

Karya-karya yang dipamerkan Eko tak hanya mural 'Landscape Anomaly' sepanjang 1,5 sentimeter x 373 sentimeter saja, tapi ada patung dan seni instalasi. Seperti 'Prosperity Like Junkfood, Junkfood is Prosperity' yang menjadi fenomena sekaligus kritik sosial.

Kurator Nirwan Dewanto mengatakan Eko Nugroho adalah 'angkatan ketiga' dari khazanah seni rupa pop di Yogyakarta. Seni rupa pop merangkum seni rupa bawah atau budaya massa yang terdiri dari komik, kartun, dan seterusnya. "Eko tidak hanya mengadopsi istilah ini tapi juga bekerja sama dengan pembordir untuk menghasilkan aneka lukisan-bordir," katanya.

Eko Nugroho adalah salah satu seniman Tanah Air yang memiliki karier internasional. Ia mulai dikenal publik dengan seni rupa Dagingtumbuh yang muncul sejak awal dekade 2000-an dan menjadi seniman setelah generasi Reformasi 1998.

Salah satu lukisannya 'Republik Tropis' dipilih diproduksi untuk menjadi scarf oleh rumah mode Louis Vuitton. Di tahun yang sama, ia juga tampil dalam Paviliun Indonesia di ajang 55th International Art Exhibition di Venice Biennale, Italia. Di tahun ini, Eko telah menampilkan karyanya di Art Gallery of South Australia, Adelaide untuk OzAsia Festival, pameran Roots di Kunstverein, Frankfurt. Indonesia saat itu menjadi tamu kehormatan di pameran buku terbesar dunia, Frankfurt Book Fair 2015.


(tia/tia)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads