Sebagai sesama pelukis yang bernaung di bawah Sanggar Bumi Tarung (SBT), yang kemudian diberangus pemerintah pasca 1965, Djoko Pekik punya banyak kenangan bersama Misbach Tamrin, yang kini tengah menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional, Jakarta.
“Dia itu dulu borjuis kecil, anak orang kaya yang datang dari Kalimantan untuk kuliah di Jogja,” ujar Djoko blak-blakan, ketika diminta memberikan sambutan di malam pembukaan pameran bertajuk ’Arus Balik’ dari rekannya itu.
“Tapi, setelah masuk Sanggar Bumi Tarung, ia digembleng oleh Amrus Natalsya dan tidak lagi menjadi borjuis kecil,” sambungnya dengan nada berseloroh, sembari menyebut nama pendiri SBT, yang juga hadir untuk mengantarkan pameran lukisan anak didiknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ketika dipenjara itulah, Misbach menggembleng dirinya sendiri, untuk bangkit,” ujar Djoko yang terkenal dengan lukisan-lukisan celeng berharga miliaran itu.
Kini, sebagaimana karya-karya Djoko dan Amrus, lukisan-lukisan Misbach telah menjadi koleksi para kolektor kakap di negeri ini. Tak kurang dari 55 lukisan Misbach saat ini bisa disaksikan oleh publik di ruang pamer utama Galeri Nasional, Jakarta di seberang Stasiun Gambir, hingga 30 November.
Lukisan-lukisan Misbach bergaya realis, dan banyak mengangkat dunia rakyat kecil. Dalam istilah salah seorang kolektornya, EZ Halim, lukisan Misbach adalah salah satu wajah realisme revolusioner sejati. Petani, nelayan, pedagang, TKW adalah subjek-subjek utama di banyak kanvas Misbach. Di antara mereka ada yang digambarkan tengah melawan para tentara dalam sebuah peristiwa penggusuran.
Suasana pasar dan warung yang penuh obrolan orang-orang yang tengah minum kopi juga mewarnai pameran tunggal Misbach. Melihat sisi ini, lukisan Misbach memang tampak cerah dan menyenangkan. Namun, ada juga sisi lain, seperti yang terekam dalam lukisan berjudul ‘Eksekusi di Tepi Jurang’, sebuah lukisan cat minyak dalam bingkai berukuran 100 kali 150 cm, berangka tahun 2011.
Tujuh orang lelaki berdiri dalam deret lurus di depan bibir jurang yang menganga. Di hadapan mereka para tentara yang menodongkan senjata. Itu adalah salah satu memori kelam yang hadir kembali lewat goresan tangan Misbach.
“Dia berkarya dalam luka, tapi tanpa memupuk dendam sejarah. Dia tetap menggoreskan kanvas dengan hati walau airmata telah kering di usia senja,” ujar EZ Halim puitis seperti tampak dalam pengantarnya di katalog pameran.
(mmu/mmu)